Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2006

Puisi pendek Iggoy el Fitra

Sajak-sajak Iggoy el Fitra Lovapalooza Aku ingin menciummu berulang-ulang Setelah badai tidak lagi mampu menerobos derasnya air mata Setelah petir tidak lagi mungkin menggelegarkan rimbun tawamu Selalu ingin menciummu berulang-ulang Hingga warna-warna menjadi biru Plot Abadi Perjalanan ini lekat di punggungku, Neng Kaupandang dan kaukerok     Menjejakkan rindu yang berkelok Masih Terlalu Awal untuk Tidur Masih terlalu awal untuk tidur Bila bantal yang kan kautiduri belum bersarung Juga seprai yang kautenun belum juga rampung Di sini aku menyiapkan tubuh sebagai ranjang Kepada Perempuan Keluarkan aku dari perutmu, sebagaimana aku melahirkanmu dari pinggangku Bintang yang Jatuh Tengah Malam Buta Aku seperti perumpamaan Hidup yang direka-reka sebagai kunang-kunang Bernapas pada malam Hilang bersama siraman matahari paling ganas Keringat dan aku Sama-sama mesti dihancurkan Diperas, lebur, dan disekap pasir-pasir Malioboro Cangkir kopiku tergun...

Sehabis Hujan Semalam

Sehabis Hujan Semalam   tak kutemukan bulir-bulir senyum disini mungkin ia terhapus oleh basah semalam tawa renyah pun membusuk sudah diantara patahan hati dan beku darah kurindu belai dan genggam tangan pagi inikah kau akan bangunkan kutidur bawakan secangkir teh manis dan sepiring nasi goreng   di kota ini bayangmu kembali memenuhi pelataran pucuk-pucuk wangian teh hingga katup bola mata enggan kerja tak kutemukan wajah bulat itu disini bahkan kabut tipis kegirangan selimuti tubuh dempo      : pagi ini ada dan atau tanpa kau        aku tetap kelelahan   Pagaralam, 16/09/2006  

Aku Datang Ke Kota

Aku Datang ke Kota   aku datang ke kota bukan untuk temukan siapa yang datang untuk siapa atau siapa yang pergi untuk datang atau sekedar setor wajah pada lidah-lidah basah itu   aku datang ke kota tidak juga untuk nantikan jawaban siapa menunggu siapa dan siapa yang paling setia bukan juga sepotong cake coklat untuk mulut-mulut kelaparan itu   aku datang ke kota bukan tidak mungkin untuk merampas dongeng yang dulu tercatat di pinggiran Cikini   aku datang ke kota bukan untukmu -  bukan untukku pula tapi untuk kita    : besok - esok - esok      dan esok begitu punya nilai   Pintu A4, 20/09/2006  

Putus Asa

Ada hati tertancap di tanah merah Tegak menantang nasib yang membunuh waktu demi detik lalu meninggalkan bau anyir kepalsuan pd setetes hujan di dalam kaleng kelambu hidupku Hati ini bukan milikku lagi Sudah dirampas melalui tontonan tirani yang gamblang dan darah yang berceceran di jalan jalan Aku cuma ingin pulang Masuk lagi dalam rahim ibuku dan minta terlahir kembali tidak di jaman ini ! tidak di negeri ini !!

Di Ambang Senja

Di titik ini aku bersimpuh Luruh mengaduh batin pada Mu Menanti senja yg segera menjelang Merindukan fajar yg entah kapan datang Kepada rintik embun yg menyisir bebatuan itu Kutitipkan sejumput asa yg masih tergenggam Mencoba menabur harap Mengais sisa-sisa nurani Masih adakah terselip di sudut hati...? Kepada sang wibawa di singgasana istana Kutitipkan cita cita rakyat merdeka Kami ini cuma debu bagi kalian Jadi dasar ribuan alasan sang tuan Kami tak lebih dari hitungan angka angka Bahan rapat utk mencari utangan Tuan tuan sekalian Sudilah tuan sejenak bersamadi Selami hati renungi diri Mentari sedang pergi Tinggalkan kita sendiri Akankah ia kembali?

WONG TAI SIN ( II )

Pandita… ketika kau berkeras hati demi kebenaran tak berbentuk diantara wujud tak terbahasakan tentang pekerja dan perhambaannya kini, kulahirkan benih-benih amarah yang kutanamkan di tanah kemunafikan pada waktu keindahannya, menjeritkan derita! Kebenaran apa yang disetubuhi oleh perbudakan diantara pekerja? Oh, tentang mimpi keabadian… sebuah karma diantara ketidakadilan tentangnya… tentang mimpi yang terhambur Jangan! jangan kau basahi kemunafikan dengan doa dan berkat di Wong Tai Sin Rangsanglah kisah tawaku, berpilukan dendam tentang mimpi dibelah ketidakadilan karma yang tiadalah kau tilik Pandita Hong… September 2006, Leonowens SP       

WONG TAI SIN

Pandita Hong… ketika kebenaranmu menyentuh mimpi keabadian di ujung segala kebajikan, luruhkan hariku yang kau semaikan di pelupuk derita tentang terberainya anak manusia lihatlah, kaum pekerja di tanah yang tak dikuasainya! hancurkan segala sakitnya, dicurahan derita yang menajam oh… semua ditahankan, terlalu erat pergumulan itu Pandita… kau membisu diantara kesaksianku walau kebenaranmu tiada menyentuh kebencianku yang kutumpahkan di tanah pergumulan, tiadakan rindu! ya, tentang sebuah kebenaran yang terbagi membisulah, diantara para budak… walau sang tuan membanjiri Wong Tai Sin oleh segala doa dan persembahan, oh… kemunafikan! diantara perbudakan, sempurnakan hari para tuan Pandita Hong… lihatlah, kaum pekerja merintih di tanah tak dimilikinya bungkamkan segala kisahnya, di pelupuk mimpi yang berlaksa oh… terlalu jauh mimpi itu, ‘tuk diraih diantara para tuan kini, apa yang kau semaikan diantara keabadian?   September 2006,...

UNTUK TIBO DKK..

Untuk sebuah keadilan… dimanakah kematian akan dituai? tidak! tidaklah demikian keadilan itu ketika kematian hanyalah sepenggal hasrat demi mencari serpihan jerit keadilan Untuk sebuah kebenaran… dimanakah kemunafikan ditabur? oh, kebenaran yang tergenggam kemunafikan sangatlah erat! hingga kemunafikan adalah bahasa demi mengubur sejatinya kisah kematian Untuk sebuah kebajikan… dimanakah kisah dusta terlahir? ya, kebajikan yang dirahimi oleh dusta dipersembahkan demi keangkuhan sang malapetaka hingga kebajikan itu lumat, tiada berjejak… Oh… ketika jeritmu kepada keadilan! merintih pilu di malam yang sarat kepedihan untuk sebuah kematian yang bukanlah kau penentunya demikian dengan takdirmu, tergores dalam, sangatlah dalam… oleh kuku-kuku sang penguasa, menancap kokoh di bumi yang celaka dan segala luka rasamu, diperihkan oleh tawa penjunjung dusta kini, kau di sebuah malam penantian… akan kulukis jeritan ‘tuk penuhi segala serapahku...

Sastra Etnik : Diskusi Dewan Kesenian Jawa Timur

Hari Kamis , 21 September 2006 jam 14.00 WIB diadakan Diskusi Sastra Etnik di Dewan Kesenian Jawa Timur. Diskusi ini melibatkan sejumlah nama seperti Bonari Nabonenar, Widodo Basuki, W Haryanto, Aming Aminudin, Sugeng Wiyadi, Hadi Setyowati, Oktarano Sazano dan lainnya. Diskusi yang bertajuk Sastra Etnik ini merupakan langkah awal dari acara besar Festival Sastra Etnik yang semoga bisa diwujudkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dalam acara ini Bonari Nabonenar dan Widodo Basuki di daulat menjadi pembicara, sementara itu yang menjadi moderator adalah W Haryanto. Berikut pemaparan dari pembicara dan beserta beberapa pertanyaan dan tanggapan. Bonari Nabonenar : Berbicara masalah sastra Etnik, sebetulnya saya sudah selipkan beberapa gagasan saya dalam beberapa tulisan. Sebagian besar sudah dimuat di Jawa Pos, termasuk yang terakhir kali meski agak emosional yang berjudul "Jadi Pemakalah di Kongres Bahasa Jawa IV Walikota Bambang DH mau Bilang Apa? " tapi ternyata kabarnya b...

Kehilangan yang Sama

bunga tak kubawa saat datang menyapa bersimpuh di ruangmu wangi melati masih tersisa di situ retak tanah jalan setapak kulalui dalam perih kembali lagi aku ke sini dalam duka yang beda kehilangan yang sama bunga jiwaku tak berubah selalu buatmu mekar di tengah kemarau tersirami rindu padamu kutaburkan bunga itu lalu berlalu lbpagi,220906

Kami dan Jakarta Sore Ini

  terjebak sudah sekumpulan imaji pada riuh ibu kota ditimang-timang asap knalpot dan dinyanyikan dendang anak jalanan kami dan Jakarta sore ini menyusuri patahan-patahan teriakan teman sejawat diantara air mancur dan bundaran memunguti remah-remah semangat yang tergeletak di pagar berduri dan blokade gas air mata   kami dan Jakarta sore ini mengulang sejarah tanpa darah sobekan kulit ataupun letusan disini hanya ada butir kalimat dari sekumpulan otak yang tersiksa akan sebuah bangsa tercabik Kwitang, 03/08/2006

Kami dan Jakarta Pagi Ini

  para pemimpi tlah dikumpulkn otak mereka ditelanjangi sementara mulut - lidah dibiarkan berlari bebas di karpet buldru dan kaki-kaki dibiarkan tanpa telapak melukai belukar senayan <!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--> kami dan jakarta pagi ini tak kan lupa bilang tidak pada mu biar basah hari menyekap jiwa dalam selimut tebal dan wangian tubuh lalu apa yang mampu kau katakan pada kami. <!--[if !supportEmptyParas]--> <!--[endif]--> Soekarno Hatta, 20/09/2006

Launching "Patung Matahari" Karya S Yoga di DKJ

Launching buku antologi puisi S Yoga "Patung Matahari" hari Jum'at, 06 Oktober 2006 di DKJ. Acara dilaksanakan pukul 16.00-18.00 WIB. Acara ini bertajuk Lampion Sastra dengan tema "Buku Baru". Acara ini berisikan pembacaan sastra dari buku-buku sastra terbaru. Selain S Yoga akan hadir pula Ucu Agustin beserta kumpulan cerpen terbarunya dan Badri Aqt, Liza Mutiara sebagai pembicara tamu. S Yoga juga akan meluncurkan novelnya berjudul "Dalam gelap Tanpa Cahaya Bulan dan BIntang".

Lomba Geguritan : Banyak Yang Terjebak Kostum

{mosimage}Peserta lomba geguritan yang diselenggarakan Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur di Museum Seni Mpu Tantular Surabaya (20/9) banyak yang terjebak kostum. Mereka lebih sibuk dengan persiapan kostum berupa busana Jawa ketimbang menampilkan puisi atau geguritan sebaik-baiknya. Meski demikian, rata-rata penampilan mereka cukup bagus. Lomba yang diikuti 66 peserta dari 33 kota/kabupaten itu akhirnya menetapkan lima penyaji unggulan, masing-masing putra dan putri. Sedangkan penulisan naskah ditetapkan dua penulis naskah terbaik. Semuanya tanpa urutan (nonrangking). Penyaji unggulan Pria adalah : Deny Eko Setiawan (Tulungagung. Dengan geguritan berjudul "Layang Kapang"), Ganjar Asti Sudrajat (Kabupaten Nganjuk, "Kanyatan"), M. Samsuding (Kota Batu, "Pisungsung"), Rahmad Mahaputra (Kabupaten Pamekasan, "Carok") dan Nur Muhammad (Kabupaten Kediri, "Elinga"). Penyaji Unggulan Putri adalah : Lussy Setyo Sudarmi (Lamongan, "Tresna Iku...

Puisi Bulan Ini Edisi Juli 2006!

Setelah kurang lebih tiga belas hari masa voting puisi, tibalah bagi Puitika.net untuk mengumumkan pemenang sayembara Puisi Bulan Ini edisi Juli 2006 versi Puitika.net! Seperti yang telah kami tetapkan bahwa pemenang Puisi Bulan Ini dipilih atas dasar jumlah dukungan yang masuk ke e-mail votingpuisi@puitika.net. Untuk sayembara kali ini kami menerima sedikit e-mail berisi dukungan atas masing-masing puisi yang difavoritkan. Kami menyayangkan jumlah email dukungan yang masuk. Hal ini berbeda sekali dengan jumlah puisi yang masuk kepada kami untuk diseleksi menjadi nominasi. Akan tetapi untuk menjaga aturan main dan transparansi kami tetap melanjutkan gagasan ini dan tidak melakukan kecurangan terhadap hasil voting. Berikut distribusi dukungan terhadap masing-masing nominasi La Gundah : 0 dukungan 1095 Hari Aku Membujukmu : 1 dukungan Kata-Katamu : 1 dukungan Kembali Pulang : 3 dukungan Dengan demikian secara aklamasi puisi : KEMBALI PULANG karya Juwairiyah Mawardy dinobatkan menjadi ...

Puisi-Puisi Chairan Hafzan Yurma

prolog ranah   di depan surau tanah masih basah bendera mengibar angka aksara saling bertawar, luka berkaca   dua nyala lampion pecah-redup ragu yang bersapa pada sesuatu yang hendak tiba dan sempat tertahan seperti hujan kuyup pengajaran lepas di mimbar bait petuah saling berkejar   2006   epilog ranah   bundo kanduang melipat hari sedih sendiri di sudut negri   2005 memasuki puisi   o pengembara, kini syair berharap kau pulang pada puisi malam bertarik-balas memuja dendam   di sini tuhan tak lagi memetakan makna suatu tanda bagi arah serta keraguan para peziarah yang tak pernah meninggalkan jejak menutup “amin” liang yang bukan lagi petang   tubir pasir renggang ke tepian bebatang ombak tegar lalu telungkup kuyup sebelum angin lebih lengang di akhir tikungan   aku menanya aksara pagi tentang jauh hujan berkabar doa meski harus hilang baris demi baris   kita jelmakan esok yang barangkali tak lagi datang serta penadah ma...

Neither Here or Elsewhere

Cloudy sky today depicts my feeling Flocks of birds are lazy to fly I myself trap in a silence    Freezing and chilling had pass However my heart remains unchanged My dream, my emotion, my longing Sky suddenly changes it colours From blue sea into dark land Neither here or elsewhere I straight myself to be sensitive Cloudy sky could you away for a while Noisy around me but i feel the opposite

Bernarda Cavani ( IV )

Oh, Barcelona… tumbuhkanlah kisah kerisauanku bersama untaian keindahan dibaliknya tentang Bernarda dan kekuatan di sisi hatinya telah kunikmati malapetaka di kesepian rasanya Tegarmu, “tiada kucerca kesendirianku untuk kemuraman langit takdirku” Bernarda membelah bahasa kesedihannya bersama salju yang meluruh dipergantian hari Oh, Bernarda Cavani yang gemulai sisakan kecantikan untuk kesendiriannya bersama kenangan beruntai menggurat dalam hanyalah tangis kesedihannya di kegelapan malam sesalkan romansa tanpa berjarak dengan waktu namun kau selalu setia menghadirkannya! Kini, Barcelona  adalah penyesalanku di ujung musim dingin yang menawan… walau kau berjuang tajam marangkul kasihku yang terbuang lama tergerus sebuah kekejaman…   September 2006, Leonowens SP  

Bernarda Cavani ( III )

Apa yang kau cintai? oh, ketika cintamu sarat oleh celaka tiada pernah kau minta disaat kesendirianmu namun tiada kuasa kau menolaknya hingga, kau sesali cintamu kau serapahkan harimu karenanya Dimanakah kerinduanmu? oh, ketika kau terpedaya olehnya hingga kau tak kuasa menikmatinya terkadang, sesaat kau hujat kerinduanmu hingga, kau hancurkan sesalmu di saat kerinduan membuai tangismu Bernarda… kau serahkan dirimu ya, bersama hiasan senyummu telah kau lukai segala kesepianmu untuk tuan De Rivera… hingga, kutanamkan rayuan sesalku di bumi yang tak kuinginkan kau berada atau telah kau rangsang segala pencarianku? September 2006, Leonowens SP

Bernarda Cavani ( II )

Ya, kini Bercelona tiada menggubris bahkan menyentuh sepimu, Bernarda! Hari-harimu, adalah kemenangan semangatmu yang terindah, yang kau persembahkan diantara kekejaman yang menusuk harimu oleh sang diktator… Oh, kesepianmu… adalah keindahan Barcelona yang terlalu angkuh di ufuk impian di saat aku mulai menyentuh hatimu! Bernarda, persembahkanlah kesendirianmu diantara sepimu yang merajam seluruh hariku! tentang sebuah kisah, ya… sebuah kisah pergulatanmu di hamparan kehidupanmu dan masa romansa sang diktator merajamkan kuasanya di tanah jeritanku… September 2006, Leonowens SP  

Bernarda Cavani

Kini, Barcelona yang gemulai di ujung musim dingin yang menawan… lalu, Bernarda Cavani yang bersahaja sisa kecantikannya menyemaikan hari setelah De Rivera sang diktator terguling oh, Bernarda… kau bertahan di kesepianmu! dan, kau bertahan seorang diri berpeluk mesra dengan sepi diantara matahari dan kepahitannya oh… terlalu menggumulimu liar! hingga, tiada pernah kumengerti tentang kesepianmu, Bernarda… yang menusuk segala anganku di Barcelona yang menawan September 2006, Leonowens SP

Takbir

purnama yang sama ayat dalam gema takbir kerinduan dalam zikir berulang setiap masa adakah yang berubah pada diri manusia ketika tiba ramadhan ketika bedug terasa beda ketika subuh tidak sama masihkah tidak lengkap shalat hanya berdoa jika ingat sering alpa dengan alasan sedang waktu tak pernah pelan kapan akan berakhir segala tanya segala tingkah lupa sementara lantunan takbir terus memanggil untuk berzikir tpsiang,08 09 06

Peluncuran Buku JOGJA 5,9 SKALA RICHTER

{mosimage}Memperingati 100 hari peristiwa gempa Jogja dan Jateng Komunitas Sastra Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Bentang Pustaka dan XL Care, mengundang anda dan pers dalam acara peluncuran buku: JOGJA 5,9 SKALA RICHTER Berisi 100 puisi dari 100 penyair Hari Sabtu tanggal 16 September 2006, jam 19.00 WIB Acara berlangsung di MP Book Point Jalan Puri Mutiara Raya 72, Cipete, Jakarta Selatan Untuk contact person, hubungi Hikmat Darmawan di (021) 75910212 Pembacaan puisi dari para penyair Jakarta dan Musikalisasi puisi bersama Deavis Sanggar Matahari disertai lelang buku puisi untuk korban gempa Jogja Kami undang para penyair Jakarta (dan yang sedang berada di Jakarta) untuk membacakan karya: - Eka Budianta - Sihar Ramses Simatupang - Chavchay Syaifullah - Dino F. Umahuk - Ibnu Wahyudi - Medy Loekito - Zen Hae - Zai Lawanglangit - Dani Wardhani Soedjono - Setiyo Bardono - Diah Hadaning - ...

Sahabatku Hilang

Batas-batas yang telah dilampaui Semestinya bisa menjelaskan Mengapa kaca yang seyogyanya utuh kini retak atas bawah? Sobat mengertikah kau akan dirimu sendiri Tahukah kau bahwa sahabat sejatiku adalah diriku sendiri.   Riak ombak kecil akhir tahun itu menjawab semuanya. Tampar keras mukaku kalau aku bohong. Sudah lama kumencari teman yang bisa bersedih kala aku berduka Lalu ikut gembira kala aku tertawa   Sayang sekali, sejatinya hati manusia selalu dengki Mengapa mesti gembira? Tak layak mereka begitu Seharusnya mereka menangis saja, begitulah kita   Naïf, banyak teman disudut rumah makan Tapi sedikit sekali yang datang saat aku terkulai lemah dirumah sakit Otakku terus saja berputar, kemanakah sifat Abu Bakar sahabat Rosul mereka campakkan? Ah aku lupa.. Aku dan kalian bukan manusia pilihan seperti beliau   Sahabat, sederhana tapi tinggal sejarah Sahabat harus kemanakah lagi kau kutemukan.

Dua Mata

ini puisi pertama saya yang saya kirimkan pada web ini, tentang pengalamanku dengan seorang wanita akhir-akhir ini, saya harap bisa dibaca dan diapresiasi editor web ini dan teman-teman yang lain.... Matur nuwun     Dua Mata                      buat Keka   Pada dua mata miliknya, aku terhenti, Kedua mata bundar yang bermuara pada samudera   pada kedua mata itu, aku buat rakit kecil dari kata-kata, bermimpi mengarungi samudera   pada kedua mata itu, aku tahu kata-kata tak lagi berguna tapi, bukankah semuanya berawal dan berakhir pada kata ?

Tentang Cinta 3

Waktu yang gesit tak lagi dapat dikejar Dunia yang buas tak pernah mudah ditaklukan Jiwa yang sunyi tak jua kunjung terisi Hati yang jauh tak pernah kunjung mendekat Waktu membunuhku   ...sekarang...     .....disini..... dalam peluk bayangmu

Tentang Cinta 2

Ada cinta kecil terselip Jatuh diantara rerumputan tengah padang Dihimpit ilalang Didesak sesak napas kehidupan Aku datang menebas ilalang dengan tangan dan hati telanjang Memungut cinta kecil yang penat terluka lantas  menyimpannya di sudut hati yg sama

Patung Matahari

                               buat budi darma sudah  berapa lama kau dipeluk salju sedang tahun semakin beruban hingga hati membeku dan sayu berkelok memanjang di antara jurang dan burung burung salju sambil mengenang udara tropis sambil menanti warna pelangi setiap pagi di bulan baru kau selalu sempatkan membakar darah dengan seteguk martini agar kalbu hangat lalu kau melalmun di sepanjang boulevard berharap di musim yang bebal dengan mantel panas dan rambut api adakah cuaca cerah di kota mati setegas matahari kau berpesan pada yang pergi jangan lewat jalan licin bersalju karena musim dingin akan menjebak pakailah jaket tebal ketabahan menghadapi hidup dalam pengembaraan karena setiap saat kau harus siap diselimuti maut dan bulan yang gemetar dalam keterasingan hidup yang kau terima sebagai berkah kau sihir butir butir salju menjadi...

Ingatku

puisi sejati takkan pernah lepas dari ruh kalimat:   Ashadu allailahaillah wa ashaduanna Muhammadarasulullah , Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad"   hai kawan yang beriman kebanyakan kita lupa kenapa.....?   hai kawan yang ber iman tujuan hidip kita redup kenapa.....?   hai kawan yang beriman tiba musibah tanpa sangka kenapa...... .?   tidakkah kita bertanya lupakah kita berkaca bahwa kita sngatlah lemah dan lemah   ya.... kita lemah

Merunduk Padi

Bahkan Padi pun melahap mie instan semakin merunduk tak semakin berisi   Tertunduk malu si gemah ripah meratap nyanyian perut lapar   Terkantuk anak-anak bangsa terbuai mimpi menjadi bintang   Terbungkuk punggung orang tua sendirian menyangga berbagai persoalan   Jerih yang selalu payah Jerit yang berakhir tangis   Setiyo Bardono, 13 September 2006 Menulis puisi sebisa-bisanya

Yang Tertunda

  tak ada pernah kabut ragu diantara telaga maya kita airnya tenang, sejuk nan damai selalu mampu melepaskan dahagaku dan dahagamu yang menghantui mimpi tidurmu, adalah kepastian didunia realitas walau sesungguhnya hanya dengan telaga maya itupun aku yakin dan tak akan pernah surut kecewa namun dunia realitasmu penuh timbang rasa penuh himpitan kesepian yang kau sendiri tahu bahasanya dan kini ketika kepastian itu harus tertunda basah matamu membanjiri sepiku disini, sampai menyeret membenamkanku kedalam lautan ketakutan lorong panjang yang semula terang oleh kilau genggaman permatamu semakin memanjang dan sesekali aku tergugah habis nafas, terkesiap oleh menjauhnya suaramu sayup sayup aku berlari mengejar tak hiraukan diri yang tertinggal berlari terus menjaga jangan mengecil kerdip kilaumu hingga masih sanggup kudengar suara melirih hingga tak tahu lagi kemana wujud bersisa Hiroshima, Tuesday.2006.08.29.16:25

Dijalan Pulang Nanti

  apalagi yang tersisa nanti ? andai ketika harus menyusuri jalan berlubang berdebu mahoni dengan daunnya menghitam sampai pada pagar hijau kusam berkarat depan rumah lalu menjumpai pintu masuk yang tak lagi tersenyum menyapa seperti biasa langit-langit menatap muram digelayuti jerat nestapa memar yang tergurat didinding masih mengumbar duka lama gema jerit riang anak-anak berlarian tak lagi terdengar ruang tengah tak lagi menggugah canda semua ditelan sepi, sepi dan pahit kenang didalam enggan tuk berpindah sepi ketika pergi dan masih sepi ketika kembali jika ada lalu lalang tatap tajam mata yang menghampiri sepi ini menjelma hanya jadi resah membayang semua itu dijalan pulang memberat langkah dengan beban bimbang tak ada lagi harapan disitu tak ada lagi yang tersisa  walaupuna akhirnya terkubur waktu dan musnah Hirokosaten Kure Hiroshima, Monday.2006.09.04.00:22

Pada Angin

lengas nafas lepas terbawa angin meriuh digelap pulang lunglai tulang berkejar-kejaran direranting dan dedaun semusim berbisik-bisik dibelukar punggung bukit mengusik tidur batu-batu sampai pupus terjerumus tanpa jejak didebu-debu angin yang menebal nakal menghampiri liar menempel diraut-raut wajah pucat memutih lalu lalang pada saat senja merebak mengantarkan malam debu anginlah yang merekam ingatan serta guratan demi guratan menjadikannya gurindam bisik belukar dan mimpi batu-batu walau sering sebelumnya terhempas pergi ditepis percuma dan terbang mengikuti tarian luruh dedaun kering atau hanyut bersama bening aliran hujanberulang, bersiklus, berlingkar lingkar tak henti namun anginlah yang menghidupi siklus ini pada angin lengas nafas ini menitipkan gundah rindu untukmu Hirokosaten Kure Hiroshima, Woensdag.2006.08.16.0:08

Menumpuk Sedih

desah lirih suaramu yang kutunggu kau titipkan tanpa ragu lalu kusematkan semuanya pada jendela hasrat sampai ketika usai sudah maka jarum jam berputar melambat namun rinduku didada mendidih tanpa pernah bisa kuredakan pelukku pada bayangmu menumpuk sedih membasahi sisa tidurku tanpa bisa kuelakkan sendiriku terdiam disini pedih mengiris hati menanti, menanti, menanti dan menanti hingga kau ada dan pasti Hirokosaten Kure Hiroshima, Zondag.2006.08.27.23:34  

Launching "Perempuan Bersayap" Karya Milla Duchlun

Melepas PEREMPUAN BERSAYAP Terbang ke Langit Kata-kata. Merayakan 81 puisi karya Mila Duchlun ditemani oleh Kurnia Effendi. Acara dilaksanakan pada hari Kamis, 14 September 2006, Jam 19.30 WIB Di Wapress (Warung Apresiasi) Bulungan Blok M – Jakarta Selatan. Mengundang ke panggung untuk membaca puisi: -Sihar Ramses Simatupang -Wayan Sunarta (jika ada di Jakarta) -Henny Purnamasari -Dino F. Umahuk -Yonathan Rahardjo -Chavchay Syaifullah -Medy Loekito dan lainnya

Kategori Baru di Puitika : Puisi Terjemahan

Pembaca yang budiman, puitika menyediakan ruang baru bagi anda yang ingin mengirimkan karya terjemahan dari puisi berbahasa asing. Tentunya anda harus mencantumkan nama penulis aslinya dan jika memungkinkan mengirimkan juga teks aslinya. Kualitas dari karya terjemahan adalah murni tanggung jawab dari pengirim bukan dari penulis dengan bahasa aslinya. Gunakan fasilitas (lihat : Galeri Puisi - Puisi Terjemahan ) ini untuk berbagi cerita dari belahan dunia lainnya melalui puisi terjemahan di puitika.

Buju' Tamuni

Buju' Tamuni* pohon pohon bernyanyi yang hidup dan yang mati mendengar tanpa telinga melihat tanpa mata sungai, jurang, gunung dan hutan dalam diri telah asing pada pangkalan sembunyi ke dalams epi suaranya telah purba terpencil terpercik darah bumi batu batu telah lari dari mimpi terpacak ke permukaan ruhani timbul tenggelam di antara gelombang dan harga diri mencari gua garba, mencari kebenaran tempat asal muasal dzat yang agung ini bukan darah dan tanah tapi nanah yang tercipta sebelum kalimat taklit selesai bahasku hanya mantra ketika menciptakanmu bukan kelahiran yang kumau namun kematian yang kuajarkan hingga kau menjadi diri di bumi kau dilahirkan karena perjanjian pohon pohon itu saksinya hingga ia minta kendi dagingmu digantung di dahan hiduo seolah bayanganmu sendiri di dunia yang tak terlihat penuh belatung, bau busuk usus, daging, darah dan udara kuburan itu kini sepi menanti kedatanganmu yang bukan bayang bayang Sumenep, 2006 Berarti kuburan ari-ari, terdapat di batuan...

Ziarah Batu Batu

setelah kutemui kau yang lain yang bukan bayang bayang diri yang bermula dari apsir, kerikil dan batu ternyata bumi bukan satu setelah berbulan bulan kucari kutemukan kau yang murni di bening telaga cahaya yang merambat di bunga teratai yang memancar dari jiwa yang luka melumuri dingin dinding hati inikah jalan yang kau janjikan jalur matahari dari tubuhmu yang panas dari kawah gunung berapi tempat samadi menyemburkan asap dan kenangan hidup yang debu kembali debu yang batu melelh ke bumi hanya angin yang mengekalkan kesunyian adakah yang akan menemukan batu hitam dalam diri, yang tertahan di gelap malam karena warna biru yang selalu kau kenakan hanyalah sunyi ladang tak tergarap Batuan- Sumenep, 2006

Sihir Menhir

bila hidup hanya batu apa yang bisa diucapkan langit apa yang bisa diserap bumi apa yang bisa dibasahi hujan panas hanya melapukan jejak yang terhapus waktu yang lalu hanyalah batu-batu tempat pemujaan para leluhur jangan menangis batu batu jangan tertawa batu batu jangan mengeluh batu batu jangan bahagia batu batu kecuali milikmu hanyalah batu karena batu adalah roh paling inti di hatimu yang dia, dari gejolak dunia tahan diterpa badai, lahar, hujan panas dan hawa nafsu sebelum semua usai sebelum semua musnah tinggalah firmanmu dalam tamsil waktu yang menetas di kalbu Surabaya, 2006

Cemara Udang

Cemara Udang* buat d zawawi imron kau telah renta dengan suara parau lukisan lukisan di dinding semua berbentuk abstrak yang kulihat hanya sebaris huruf alif saban kau hanya mengikat diri sendiri tak jauh dan tak dekat tak tinggi dan tak pendek duniamu kini hanya ada sekitar bonsai kata kata kata kata yang kau ambil dari alams emesta kau bayangkan kata kata adalah rumahmu sendiri yang penuh dengan cemara udang yang kau tanam dalam pot porselin kau siram, kau rawat dan kau potong suatu hari daun daun kata kata tumbuh ke segala arah namun kau luruskan lagi ke arah kiblatmu yang indah dan bersahaja seindah suara gadis remaja mengaji di surau senja hari ayat ayatmu mengalun dari lembah ke lembah hati ke hati di pagi hari cemara udang yang kau bonsai tumbuh dengan dahan dahan yang lebat dan liar seperti berkelebatannya kata-kata dalam pikiranmu yang tak tertuang dalam alifmu kini di senja hari kau tunggui daun kata katamu yang mulai berguguran ke bumi Gapura, Sumenep, 2005 Cemara yang berbe...

Balada Carok

Balada Carok* datanglah padaku di langit lazuardi sudah kunanti berhari-hari sudah lama kuduga musuh ternyata bayangan diri yang resah sudah lama ingin kulupakan semua namun telah terhunus nafsu dunia pada pengkhianatan pertama hanya karena bisik bisik tetangga telah kupercayakan hinaan diri telah kuyakini kebenaran hati lebih baik berputih tulang daripada berputih mata permainan memang seimbang dengan jantan telah kutantang dia bawa clurit panjang aku bawa hati murni yang tenang dia lari tunggang langgang malu pada diri yang gamang sama sama masih merasa nikmat dunia sama sama masih luka oleh derita pewaris tahta kekerasan para leluhur di kalbu tanah tandus berkapur sejak raja raja, penjajah hingga merdeka namun merdeka dari kekerasan hanya dongeng pelipur lara muaranya hanya di hati Sumenep, 2005 Penyelesaian masalah dengan bertarung menggunakan clurit karena harga diri terinjak-injak

Asta Tenggi

Asta Tenggi* kuburan itu seperti pasar karnaval para peziarah pelancong dan pencari berkah tak kutemukan tempat keramat yang dulu ada hanya ada pohon mengkudu tak berharga kecuali pohon nangger dengan kalong bergelantungan seolah mayat yang terbungkus kain hitam digantung di bumbungan jejakmu kini tinggal fosil cerita lama yang tak dipercaya anak cucu begitu pula aku yang ragu akan kenangan kesempurnaan hidup yang terbayang hanya selir selir dan dayang dayang cantik yang selalu kau keloni sebelum berperang dimana kini rohmu berada hanya kekosong warna senja dan lelawar berterbangan dari gua hidupmu gua malammu gua pohonmu tempat para malaikat mengintip kehidupan di malam gelap bagiku malam adalah maut yang menjemput sebelum neraka pagi meminta untuk berkorban pada nafsu duniawi jadi hidup membosankan bukan lebih baik menghapal kitab dan menunggu mati berbaring bersamamu Sumenep, 2005 makam para adipati Sumenep

Clurit Bulan Sabit

Clurit Bulan Sabit* hanya bayangan bulan yang murni ditimpali deburan ombak di pantai yang meminta perhatian dan sumarah agar perjalanan ini tak bersisik landai pada butiran pasir yang membisik kesunyian memang tersebar bagai serbuk hanya ada tanah merah yang berapi yang tak kunjung dipadamkan dalam hati kau adalah raja hitam yang sembunyi karena hukum adalah harga diri bermula dari rumah, tanah dan ladang itulah yang harus kau pertahankan hingga mati dengan segenap isi, anak anak dan istri atau seluk beluk malapetaka akan tiba gelap mata yang datang tanpa kembali hasrat hati tertimbun kitab purba budaya atau agama berpihak pada para santri dipondok hatimu atau bulan sabit yang runcing waktu terselip di pinggangmu Sumenep, 2005 *Senjata tajam khas Madura yang berbentuk bulan sabit.

Pandai Besi

sebentuk ujud telah kau pesan sejak kau dilahirkan cahaya meski tak kau kenali dari apa ia terbuat meski kau tak mengerti untuk apa kau dibuat dunia malam telah meminjam tubuhmu sehingga kau selalu gagal memaknai harga diri yang selalu kau bawa dalam perjalanan tanpa jasmani yang abadi telah kau palu kehidupan dalam besi hingga menyala dalam hembusan ububan padahal kau sentuh hanya jiwa berkarat tanpa sesaji kau hancurkan dalam api diri yang rombeng penuh luka kau bentuk ujud baru namun tak mau kembali seperti semula hanya sebentuk bayangan yang tercipta membentuk cahaya maya yang tak berpijak ujud yang bagus dalam penyamaran diri sebelum melebur dalam api kuasamu Pandean-Sumenep, 2006

Bulan Sepotong Di Kauman

       Pada kedalaman matamu    Yang seperti bercerita    Tentang sungai-sungai    Pada bukit, lembah, ngarai    Langkah-langkahmu seperti datang dari jauh    Menyeruak dari balik kegelapan    Seperti gelombang yang tergesa    Menjemput mimpi    Untuk diceritakan sebelum    Tiba dini hari      Pada kaca jendela yang buram    Wajahmu sepotong timbul-tenggelam    Seperti awan yang mendudukimu    Seperti hujan yang menyembunyikanmu    Tangismu tak bersuara    Dan airmatamu sulur-sulur yang mabuk      Sepanjang jalan kauman    Bulan sepotong tinggal    Menggarisi tepi-tepi malam    Dan bola matamu meredup    Meninggalkan nafasmu    Yang berpacu dengan udara dan    Waktu      2006

Dua Puisi Fernando Pessoa

Berikut adalah dua buah puisi karya salah seorang penyair besar Portugal, Fernando Pessoa, hasil terjemahan sekunder (bukan dari bahasa aslinya). Semoga cukup mendapat tempat di Puitika dan di hati pembaca:) OTOPSIKOGRAFI Penyair adalah peniru ahli Yang amat canggih di bidangnya. Ia mampu memalsu nyeri Dari perih di dalam dadanya. Dan mereka yang membaca Kata-katanya yang terjalin Tak mendapati kedua derita Selain satu kepedihan lain. Maka di sekeliling lintasannya Berpuntirlah pegas nurani, Sebuah kereta api mainan Untuk menghibur pikiran. (Fernando Pessoa; terjemahan TQ)  TIDAKLAH CUKUP JENDELA TERBUKA Untuk memandang padang dan sungai Tidaklah cukup jendela terbuka. Untuk melihat pohon dan bunga Tidaklah cukup memiliki mata. Sebab penting juga tak berfilsafat Agar pohon bukan ide semata. Hanya ada satu dari setiap kita, seperti halnya masing-masing gua. Hanya ada satu jendela tertutup, dan di luar sana: seutuh dunia serta mimpi tentang apa yang tampak seandainya jendela itu terkuak,...

5 W & 1 H

I lost my soul   When I have to be stronger   I blame myself   But why I have to do it   Dissappear from sunshine   Because my world is too dark   What’s happening? My eyes is blind   Can you show me a way out, please?   Who try harder, a better you get   Till I am weak, I’ll never give up to breath   Where are you guys   I am alone without you   Stand by me, like we just wake up, then we smell the coffe….   I have to find   I must run and run   From a scary moment   Wait for me   I don’t know how   But I’ll try….  

Bunga 7 Rupa

Salamku untukmu masih berlaku matahari   Tak perlu sungkan, aku kedinginan   Sederetan jejak langkah dilangit-langit   Membekas karena sinarmu   Awalnya begini…………..   Belaian kelembutan mulanya indah   Bahkan semakin indah, penuh bunga   Maklum aku tak faham wanginya bunga   Sampai kau mandikan aku dengan bunga 7 rupa   Lalu aku coba menggapai langit dipagi buta   Nyata kamu nyata   Akhirnya begini………   Tak satupun wangi itu kucium   Bahkan air bunga 7 rupa itu lama sudah mengering   Yang terjadi air itu berubah hangat   Karena tergenang bendungan air mata yang meluap   Kemanakah embun pagi pergi   Bibirku, mataku, akan selalu ceria   Namun, beginikah akhirnya   Mata hatiku, terus menangis darah.  

Adaku

Aku bicara lewat angin, diam !   Aku hentikan seluruh angan, putus !   Aku berpijak dengan asa, harapan!   Aku berada disepertiga bumi, langit!   Aku bernafas,bercinta, berhenti, berat!   Aku lamunkan sesaat harus kuberbuat, heran!   Aku hanya berbakti,bukan pembenci!   Aku kan caci maki mimpi, setan!   Aku ingin selembar masa bersamamu, rindu!   Aku ini malam yang hampir pagi, dingin!   Aku tak lama sehijau daun rumput, hujan!   Aku berlari dan terus saja, lelah!   Aku telah ditinggalkan jalang lain, pergi!   Aku berlalu dalam benak-benak berkarat, bohong!   Aku kembali untuk sekedar membagi, tahu!   Aku tak ingin bibir tipismu bisu, bungkam!   Aku terus bersyukur adaku, lengkap!   Bagaimana denganmu?  

Puisi-Puisi Chairan Hafzan

Semalam Februari lancar layar tegak melambai marilah duhai ombak dan kau masih anakku yang pernah hilang bersama angin petang dan saat wangi pala di negri seberang adalah luka pada bianglala kota selepas mantra menjalar pucuk batang kapas menetas sementara igau yang memanjang diam, berkaca di telaga 2006 Obituary kubang kandang babi kasib usia tenggelam remuklah lembar lelangit dan kayon malam dari perempuan yang telanjang atau puisi tak lagi berbunyi? 2006   Ode Surga Kedua ingatkah hawa pekat khuldi? aku bukan laut yang tawar dari pantai yang bertukar kabar seru waktu, “hei! pulang ke kandang, sayang.” o manis asmara bergelak saling desah musim miris selagu dan masihkah tak sudah? ah, lidah ini ular yang haus bibirmu duhai kupu-kupu yang tak siang tak malam 2006   Ode Peretas Petang gagak petang menakik angkaangka awan lebam ukir kawatkawat langit hijrah setubuhi basah tanah dini terlebih awal meretas selepas hymne berhentakka...

Natalya Kavkazskiy ( III )

  Di Kaukasus, rangsanglah pemberontakanku untuk sebuah kerinduan dan kebebasan… diantara serpihan jeritan jiwa-jiwa yang membisu dibalik jeruji! Oh, Natalya Kavkazskiy… yang bergelimang pilu dan lamunan yang merapatkan dirinya di dinding harapan yang menitikkan air matanya di tanah malapetaka kini, kusumpahkan hari-hariku, terbuang dan ditawan! apa yang menyentuh ruang hatimu? kau palingkan wajahmu dari manusia terbuang… Namun kau selalu diam di ujung sebuah penantian yang tiada pernah kau cari dan kau ketahui akhirnya Tetapi kau selalu berharap, ya… matamu yang berlinang! yang tiada pernah kau sadari, matamu membahasakan hatimu membelah seluruh kisahmu, membaginya di sudut keindahanmu Oh, Natalya Kavkazskiy… yang tiada pernah ku sentuh rahasia hatimu yang tiada kutemukan senyum tentang kepedihanmu yang tiada kurajut kisah antara kau dan manusia terbuang  Siapa yang melukiskan rahasia hatimu? hanya dialah seorang… sang panglima milik ...