Berikut pemaparan dari pembicara dan beserta beberapa pertanyaan dan tanggapan.
Bonari Nabonenar :
Berbicara masalah sastra Etnik, sebetulnya saya sudah selipkan beberapa gagasan saya dalam beberapa tulisan. Sebagian besar sudah dimuat di Jawa Pos, termasuk yang terakhir kali meski agak emosional yang berjudul "Jadi Pemakalah di Kongres Bahasa Jawa IV
Walikota Bambang DH mau Bilang Apa? " tapi ternyata kabarnya beliau tidak hadir. Ternyata banyak penguasa lokal (Bupati & Walikota) yang diplot sebagai pemakalah dan tidak hadir. Karena itu pula di Semarang itu sesi ketika para Bupati dan Walikota harus bicara disebabkan ketidakhadiran mereka dan peminatnya juga sedikit kemudian diurungkan kemudian peserta berpindah ke sesi yang lain.
Kenapa saya awali dengan menyinggung para penguasa lokal karena seiring dengan desentralisasi (otonomi daerah) yang konon para politikus menganggap otonomi daerah itu tidak berjalan pada relnya, salah satunya di wilayah kebudayaan. Para politisi itu menterjemahkan otonomi itu pada tataran politis. Jadi kita melihat demokrasi di daerah pada saat Pilkada, atau pada saat eprebutan aset. Semangat otonomi ini begitu kental. Akan tetapi kalau sudah bicara soal wilayah kebudayaan, mereka lupa. Jadi sekali lagi saya membuat contoh pada zaman Pak Harto dulu ada lembaga penerbitan yang dianggap penerbitan nasional bernama "Balai Pustaka", yang masih secara berkala walau jumlahnya tidak banyak memperhatikan kebudayaan-kebudayaan lokal nusantara dengan bukti antara lain terbitnya nuku seperti Tunggak-Tunggak Jati. Persoalannya, sekarang begitu otonomi meluncur tampaknya pemerintah nasional tidak perlu lagi melayani kepentingan khas lokal itu, sehingga seharusnya ada oper alih yang cepat mengenai persoalan lokalitas itu dan etrnyata ini kurang tanggap. memang ada beberapa orang kreatif, misalnya seperti yang saya jumpai , seorang Kasubdin kebudayaan di Kabupaten Pasuruan ketika di forum MGMP Bahasa Jawa, misalnya saja para guru berteriak etriak kekurangan materi bacaan penunjang . Pak Kasubdin tadi dengan bijaknya memancing para guru di wilayahnya untuk menulis tembang yang isinya disesuaikan dengan kondisi geografis dimana mereka berada, misalnya yang di pesisir pantai berbicara persoalan terkait. Permasalahan itu kemudian diungkap, ditulis dan kemudian dicetak walau jumlahnya terbatas tetapi itu menurut saya sangat bagus.
Dalam kaitannya dengan sastra etnik Jawa , para kreator sastra Jawa jumlahnya cukup banyak dan etrsebar di banyak wilayah. Artinya jika tiap subkultur mau menerbitkan karya sastra ebrbahasa Etnik setempat maka SDMnya sangat banyak. CUma sayangnya persoalannya belum diberdayakan dengan baik. Ada satu hal persoalan tentang penguasa lokal , dimana saya merasa tersindir ketika membaca sebuah surat pembaca di koran terbitan Surabaya, ia mengatakan sepertinya seniman itu hanya bisa merengak, meminta pada pemerintah , cermin bahwa seniman itu tidak kreatif, dan lain-lain. Ini sebenarnya persoalan yang perlu kita bongkar, karena apa , kita perlu semacam penyadaran ke masyarakat bahwa ada hak-hak rakyat yang ahrus dipenuhi oleh pemerintah. Kita menuntut bukan meminta atau merengek. Kita bisa berkarya sendiri,pengarang bisa menulis, pelukis bisa melukis walau pemerintah tidak ada kebijakan apa-apa tapi kita menunggu-nunggu tidak kunjung ada orang atau tokoh yang bisa mengkomunikasikan persoalan-persoalan ini kepada penguasa. Karena itu kemudian peran itu kita ambil seperti halnya kalau seni itu kan orang yang kadang-kadang semuanya bisa di kreatifkan, tidak nganggur, misalnya seorang cerpenis, ketika tidak ada yang menulis kritik ia menulis kritik sendiri misalnya . Ini sebenarnya persoalan-persoalan yang bisa saja kita anggap bukan tugas kita sebagai seniman tapi kita tunggu-tunggu tidak ada. Nah apa salahnya jika suatu saat kita mengingatkan seperti yang tercermin dalam beberapa tulisan saya itu. Sebetulnya pada saat forum kongres bahasa Jawa itu kalau penguasa lokal itu datang dan kemudian membeberkan masalah atau bercerita apa yang mereka lakukan di wilayah mereka masing-masing, saya fikir itu akan menjadi diskusi yang sangat menarik, yang menurut saya lebih menarik daripada , misalnya mendatangkan orang Suriname, walaupun secara emosional layak berita dan dijual oleh media massa .Pada tataran emosional ini sangat bagus tapi untuk perbandingan dan saling belajar justru penguasa lokal di Jawa itu yang harusnya bertemu atau apa yang harus dilakukan. Persoalannya akan jauh berbeda apalagi menyangkut kemampuan dana dan lain sebagainya. Misalnya pendidikan, misalnya 20 % dari Belanja Negara misalnya. Di Suriname ada radio-radio berbahasa Jawa kita pun juga ada bahkan siaran TV yang menggunakan bahasa lokal kemudian itu justru menimbulkan persoalan yang saya beber dalam tulisan saya. Tapi masyarakat dibiarkan bertengkar sendiri , penguasa tidak mengambil perannya di sana, kita butuh kamus misalnya, tapi siapa yang mendanai jika kamus ini dibuat misalnya. Salah satu diskusi sastra di Balai Bahasa tentang Kamus Jawa dimana JTV atau lainnya yang membantu , saya segera berteriak ini pemerintah yang seharusnya membiayai bukan JTV atau lainnya tapi bila bicara soal kebijakan maka pemerintah yang punya kekuatan untuk berbuat bukan pengusaha tersebut. Mereka cukup sebagai sponsor namun pilar utama dan harus dituntut adalah pemerintah. Dan dalam hal ini jika bicara tentang bahasa etnis, sastra etnis, lokalitas adalah penguasa lokal itu yang seharusnya bertanggungjawab . Persoalannya sekarang bagaimana kita membahasakan menurut Arswendo Atmowiloto , sebenarnya proyek kita bagus bagus tapi kita salah membahasakannya. Contohnya, PPSJS membuat acara meminta bantuan Pemda dengan tajuk Ulang Tahun , walaupun di Ulang Tahun di PPSJS ada mata-mata acara yang sangat bagus di pandangd ari proyek kebudayaan. Tapi karena tajuknya Ulang Tahun maka bahasa proyeknya tidak "berbunyi". Juga mengenai cakupannya dengan penguasa lokal , saya melihat sejak saat berakhirnya Periode Soeharto, pada saat itu tokoh-tokoh menemui tokoh lokal, ini cermin ketika penguasa selama itu tidak perhatian dan tidak memahami aspirasi , jati diri siapa yang dipimpin itu. Mediatornya misalnya Kiai atau lainnya. Bagaimana kita bisa mengolah pola instan tadi kemudian menjadi kebijakan yang sesuai dengan kita harapkan .Bukannya kita mengenyampingkan tugas Kiai dan lainnya karena mereka adalah bagian. Tetapi pemangku komunitas kecil atau sekian banyak lainnya, mereka adalah sumber titik-titik yang bisa dimanfaatkan dan bekerjasama dengan penguasa lokal untuk berbagi untuk apa yang diinginkan oleh masyarakat dan sebagainya. Saya pikir bila mekanisme itu berjalan jadi tidak ada pola instan seperti tadi. Salah satu contoh, ketika saya di kirim ke Singapura, sebuah sanggar seni Melayu berulangtahun di sebuah Hotel seorang menteri datang. Nah sanggar seni itu kalau di kita ya ada PPSJS atau lainnya. Persoalan mungkin Singapura sempit, akan tetapi jika ada cara komunitas akankah Walikota datang? Selama ini jarang etrjadi. Mungkin sebagai pengantar saya ingin mengajak teman-teman untuk menuntut penguasa lokal memperhatikan khasanah budaya lokal dimana mereka berkuasa.
Widodo Basuki selanjutnya membuka sisi-sisi idealisasi dan penciptaan.
Ada beberapa hal yang mungkin di benak saya. Saya lebih pada hal yang saaya sangat bangg
akan sebagai seorang petani, misalnya orangtua saya kepala sekolah SD tapi 75 % adalah petani. Dalam kaitannya dengan budaya Jawa makanya saya katakan masalah seorang petani, karena bekal seorang petani adalah ilmu Tiban . Ada beberapa hal yang mungkin bisa kita cermati dalam beberapa dekade ini ketika bencana mulai luar biasa ada kesadaran pada hal yang sifatnya lokal. Mungkin bapak-bapak tahu bahwa Kidarmodipuro, kepala Museum Radio Pustoko sangat membenci SBY karena SBY itu mengatakan budaya Jawa yang mengkaitkan dengan perhitungan Jawa itu adalah klenik , takhayul dan lain sebagainya. Ternyata teman saya yang paranormal lainnya sangat luarbiasa membenci SBY "Dikutuk Dewo"itu dari sisi-sisi yang menarik. Ada satu hal lagi misalnya masalah kesadaran lokal dari masalah lokal . Beberapa saat yang lalu saya ikut teman-teman di Trawas mereka menyadari betapa bencana itu karena kurangnya kesadaran lokalitas kita. Misalnya di Trawas, berapa ribu liter air yang disedot tapi kenyataannya orang Prigen sendiri akan beli karena sumber-sumber di sana tidak dilestarikan. Makanya mereka membuat lokakarya melestarikan alam dengan budaya desa. Cara -cara orang dulu misalnya ditanamin pohon Kemado yang gatal-gatal agar orang lain tidak mengganggu sumber itu dll. Pada intinya mereka sadar bahwa keterkaitan seseorang dengan alam sekitarnya terkait erat. Kesadaran lokal itu kembali ketika bencana berkali menerpa Indonesia termasuk Lapindo . Jadi sisi lain yang mesti dipahami apa benar karena kesalahan kita pada leluhur kalau perlu diruwat dengan bahasa-bahasa "Dewa". Pada sisi lain yang terkait sastra etnik Jawa saya tidak bisa melihat ada hal hal yang mengagetkan dari kelahiran sastra Jawa dulu dari zamannya Pak Sw, pak Suparto Brata, zaman era sekarang. tidak ada perubahan mengangetkan sebenarnya tapi yang menarik lebih pada polemiknya. Mungkin ini sebuah kenyataan, mungkin karena saya di media dan mengamati perkembangannya atau mungkin bersentuhan dengan teman-teman di lapangan. Ada pendapat pada waktu di Dinas Kodya , saya tanyakan apakah ini tidak juga menggunakan guritan suroboyoan karena di Surabaya. Tiba-tiba ia ketakutan karena image Surabaya yang kasar lain-lain. Terus saya katakan bahasa Ludruk , jawa Timuran itu juga menarik, mereka tetap bilang jangan dulu. Itulah kenyataan di lapangan. Saya berpandangan untuk merubah sastra Jawa bahkan Etnik lebih cenderung pada diri sendiri, saya tidak pernah berusaha mengubah kebijakan sebelum saya mengubah diri saya sendiri. Karena fikiran saya fikiran seorang petani ketika berhadapan dengan orang-orang dilingkungan macam-macam ada lingkungan guru, kami tua dll saya mencoba untuk mereka bersastra. Fikiran orang yang tradisional sekali. Ternyata mereka bisa diajak dialog dan barangkali kalau saya ke Trawas membaca guritan atau kidung mereka tertawa, itulah kebahagiaan seorang petani. Barangkali cara bersastra itu yang saya ingin tularkan pada teman-teman meski pun kita punya fikiran yang pelik tapi juga fikiran kebawah. Tapi kembali lagi proses kreatif saya sendiri, dari dalam diri sendiri kita bisa merubah yang lain.
Beberapa pertanyaan dan pandangan :
Adi dari Karang Tembok :
Tertarik dengan apa yang dijabarkan oleh Cak Bonari bahwasanya kita hendaklah membikin proposal yang menyangkut kedaerahan. Kemudian permasalahan Balai Pustaka dimana dulu bisa merangkul karya sastra etnik kemudian agak melempem seiring dengan otonomi daerah. Masalah Balai Pustaka sendiri konon tidak tertarik dengan sastra daerah karena penjualannya yang seret sehingga Suparto Brata sendiri dalam cerkaknya yang berjudul Trem harus merogoh koceknya 2,5 Juta. Kemudian diikuti Widodo Basuki untuk Semedi Ilalangnya , 3 juta. Kemudian Suparto Brata lagi tahun 2004 untuk novelnya dengan tebal 553 halaman merogoh lagi 8 juta termasuk Donga Kembang Warunya Trinil. Untuk perkembangannya khususnya bagi pemula terbebani oleh berita ini saat ini jika mereka terus menulis tapi tidak ada yang menerbitkan jadi repot. Disinggung juga mengenai kamus bahasa Jawa sub Dialek Suroboyoan karena kamus ini mendesak sekali untuk diterbitkan sebab dari saya sendiri tertarik untuk menggeluti geguritan Suroboyoan. Masalah fonetis yang rumit.
Hadi Setyowati
Menyimak wacana Bonari dengan tuntutannya dan Widodo Basuki yang lebih menerima kenyataan, saya sintesakan perkembangan budaya Jawa saya mengacu langsung pada Kongres di Semarang. Ternyata banyak aspek yang sebetulnya kaya dalam budaya bahasa Jawa tapi tidak dikemas untuk konsumsi masa kini. Saat saya lihat pameran-pameran edisinya jelek banget sehingga orang tidak tertarik untuk melihat. Mungkin ini belum dikelola oleh penyangga orang sastra Jawa. Kita kurang pemasaran, kalau kita hanya bisa menuntut mungkin akan memancing konfrontasi, jika terlalu pasrah mungkin tidak dianggap. Maka saya fikir kita perlu ada pemasarnya. Kita cari donatur-donatur, itu salah satunya.
Kepada dua pembicara saya ingin menanyakan topik Sastra Etnik. Saya mungkin bertanya secara terminologisnya. Dengan memberikan nama sastra Etnik yang baru mencuat. Mungkin etnik atau etnisitas dalam pengertian politik sudah sering diungkapkan. Sedangkan sastra etnik sedang pada sisi lain ada sastra lokal yang terkait lokalitas dsb. Secara terminologis bagaimana cara kita membatasinya, apakah sastra etnik itu diidentikan dengan sastra lokal , apa yang bisa kita berikan untuk penyebutan dengan sastra etnik itu, apakah kita lihat bahasanya atau itu yang kita gunakan untuk penanda karakteristiknya atau kah penyadaran lokal atau budaya, rohnya yang membicarakan etnik yang dimaksudkan. Saya sendiri belum memiliki gambaran , sastra etnik yang bagaimana itu. Kenapa hari ini kita berbicara prihal sastra etnik, apakah demikian fenomenal , apakah ada sastra-sastra diklaim sebagai sastra etnik yang baru muncul atau seperti apa.
Pembahasan Batasan Etnik
Bonari Nabonenar:
Pertama-tama saya ingin meluruskan penafsiran mas Widodo Basuki yang dianggap oleh Ibu Adi dianggap sebagai dikotomi dan kontras. Yang ingin saya klarifikasikan, mengenai bekerja sesuai bidang masing-masing. Jadi saya tidak setuju, mungkin tugasnya mengarang, iya. Mungkin ada semacam pertentangan sendiri dengan kalimat Widodo Basuki. Berbicara itu bekerja dalam konteks MC/Pranotocoro. Saya dan Widodo Basuki juga berbicara meski tidak dibayar. Disisi lain dalam konteks - penyair-karya-pasar, bagi saya tugas saya bukan menerbitkan buku, dalam konteks penulis ketiksa selesai menulis tugas pokoknya sudah habis. Berterima kasihlah kita dari apa yang kita tuntut. Kita harus berfikir ada bidang-bidang tetapi tetap saja ada orang yang sadar ketika kita mendudukkan diri kita sebagai penjual buku, atau penulis dan bukannya tidak mungkin pekerjaan itu kita rangkap. Bisa saja penulis , menerbitkan , menjual, dan membeli sendiri bukunya tidak masalah menurut saya. Jika menurut Bu Hadi kita perlu ahli mengemas dll. Mekanisme itu bisa terjadi jika iklimnya sudah kondusif, iklim yang kondusif ini adalah hak kita menuntut pemerintah agar ini terbangun. Kalau Widodo Basuki yakin memulainya dari diri sendiri itu bukan juga persoalan menurut saya. Ini suatu wacana , persoalannya kita sadar , dan kapan memulainya. Sebetulnya tidak ada masalah , yang perlu mind set kita juga perlu diluruskan dulu. Jadi ada orang yang sinis misalnya Budi Dharma , pada orang yang menerbitkan bukunya sendiri. Tapi pak Suparto Brata menerbitkan bukunya sendiri , saya hormat pada dia tetapi tidak mengurangi rasa hormat saya pada pak Budi. Sebenarnya Pak Budi sebenarnya juga rendah hati. Pak Budi Dharma juga dalam konteks rendah hati.
Terminologi , justru saya minta tolong pada akademisi untuk pijakan tersebut untuk menyambut Festival Sastra Etnik tersebut. Dasar berfikirnya adalah dasar berfikir kebudayaan. Bahwa dalam kebudayaan itu ada unsur politiknya , sosiologisnya, seninya itu akan mengalir dengan sendirinya. Di Semarang itu saya kemukakan dan didengar oleh Arswendo Atmowiloto , yang tampaknya antusias, selama ini yang disebut oleh Bambang Sa
dono sastrawan Jawa itu tidak cerdas dan kreatif karena mereka tidak punya kemampuan untuk mengkomunikasikan dan menjual apa yang kita punya. Ini semacam test case jika ini terwujud semoga tidak terlalu lama tertunda yaitu Festival Sastra Etnik Jawa , karena sponsor yang diharapkan Pemprov maka jika ada sastra osing, mataraman , jawa Suroboyan, Madura , misalnya kita mengundang peserta tamu misalnya ada penggalan ronggeng dukuh paru yang sudah diBanyumaskan oleh pengarangnya sendiri oleh Ahmad Tohari . Yang lainnya ketika mahasiswa Unes mendramatisasi karya Suparto Brata. Semangatnya adalah kita tidak berfikir sempit, provisinsialis, bahwa kita sedikit banyak menggeluti sastra Jawa , iya, penting ada kepedulian pada lokalitasnya, mari kita jalin kerjasama yang baik, dan saya harapkan penguasa lokal ini memperhatikan potensi lokal masing-masing. Bahasa yang kita jual, kita dari Jawa mengenali Jawa dengan baik, mengemas Jawanya dengan baik untuk dapat berkenalan, bersinggungan dengan komunitas di luar dirinya dengan baik sehingga Indonesia ini jadi bersatu karena antar etnis itu tidak saling berbenturan karena saling kenal . Komunikasi antar budaya ini menjadi penting. Persoalan-persoalan kebudayan termasuk di dalamnya sastra bisa mewujudkan cita-cita besar itu. Saya setuju dengan pendapat Beni Setya yang kita pegang adalah bahasanya , kita tidak lagi berbicara bahasa Jawa ketika kita membaca karya Darmanto Jatman , puisinya jauh lebih Jawa dibanding karya saya yang berbahasa Jawa. Tapi kita tidak berbicara karya Darmanto itu dalam konteks sastra Jawa karena karyanya berbahasa Indonesia yang kebetulan lokalitasnya adalah Jawa.
Widodo Basuki:
Ada beberapa lontaran di Komisi C, pendidikan formal. Ada kata-kata yang sangat menarik menurut saya, kita itu belum pernah kerjasama tapi sama -sama kerja. Mungkin kita Jawa merasa bergelut di situ tapi tidak bersentuhan. Ada agak hal yang sensitif, mengenai "Jangan Ngomong Doang" mengingat masa lalu tapi perlu diungkapkan lagi. Pada saat pengadilan sastra Jawa , pada saat saya mendapat penghargaan Rancage , ada dari teman-teman , mari kita membuat suatu iklim baru , kita tidak mengadili peraih itu tapi imbasnya ada pada persoalan-persoalan yang tidak mendasar. Mungkin saya yang duduk di situ menjadi tidak enak, kenapa pertanyaan tidak pada orangnya, pada karyanya. Sehingga biar kondusif , mari kita menerbitkan buku bareng-bareng. Saya mencoba untuk ensarehkan diri, ketika itu memberikan energi saya, kemarahan saya, kesedihan saya, dll untuk menciptakan buku baru lagi, tapi kesedihan lagi ketika tiba-tiba saya melihat di toko buku, buku "Kristal Emas" terbitan tahun 1984, saya membelinya seharga 2500 dan didiskon 500 . Buku itu sekian tahun berada di sana. Dengan pemasaran seperti ini sulit. Perlu kerjasama. Maka saya perlu memberikan buku itu di UNY, pada guru yang berpengaruh , atau saya letakkan satu dan saya baca kemudian mendapat respon bagus. Jadi energi kemarahan saya jadi impas terbayar.
Saya sebenarnya kurang paham ditanyakan prihal teori. Yang saya tahu ada saya pernah bersama Zawawi Imron memetakan sastra daerah itu belum ada sebutan itu, tahun 1999 itu dijadikan buku Wulan Sedhuring Geni . Bukunya berisi macam-macam sastra. Kalau saya sendiri lebih cenderung pada sastra daerah tapi sastra daerah punya sub etnik , misalnya osing, ada suroboyoan, dll. Saya kira itu saja. Sebenarnya itu saja. Kita sudah cukup paham. Ada beberapa kritikan, kenapa cerita-cerita berbahasa Jawa tidak bernuansa Jawa. Kecendrungan yang sekarang justru mereka menulis hal yang terkait mereka sendiri. Misalnya mengenasnya nasib kesenian ketoprak, dia misalnya sebagai tokoh atau dirinya sendiri sebagai sastrawan. Kenapa tidak ada tema yang mengandung nuansa Jawa untuk digarap.
Bonari Nabonenar:
Saya sangat setuju dengan seorang Darmanto Jatman yang sangat setuju bahwa ada kelompok Jawa Fundamentalis itu yang justru golongan yang tidak menerima perubahan. Bahwa Pujangga Jawa itu hanya Ronggo Warsito, penyair Jawa setelah itu tidak lagi. Menganggap bahasa Jawa Solo itu yang hanya boleh berkembang, sedangkan dialek Suroboyan, pesisiran tak perlu diperhatikan lagi. Ahmad Tohari mengungkapkan kita harus memandang sama derajatnya bahasa etnis itu. Tidak ada bahasa yang kita pandang lebih adiluhung dibanding yang lain. Apabila kita kembali mengingat ,barangkali sejarah orang Jawa mungkin satu -satunya etnis atau kelompok di dunia ini yang paling lentur menerima peradaban dari negara-negara lain. Justru kemampuan itulah yang membuat orang Jawa bertahan dan termasuk bahasanya. Dulu kita mengenal aksara Jawa , dulu sebelum ada bahasa Jawa Bali, bahasa Kawi, bahasa sansekerta. Jadi orang Jawa itu tadi pintar-pintarnya mensintesakan kebudayaan lain. Kalau kita menuntut pada sastra ebrnuansa Jawa yang kita lihat bukan sebagai Jawa itu, mungkin itulah Jawa yang sekarang. Mungkin yang kelompok fundamentalis saja yang disebutkan oleh Darmanto Jatman yang menuntut tersebut.
Tambahan Lain
Sugeng Wiyadi:
Menurut saya selaku akademisi harus memiliki ketegasan sikap. Bahwa sastra menggunakan medium bahasa. Masalah persoalan lain jika sastra etnik jawa ditulis dengan bahasa Jawa membicarakan orang Inggris atau lainnya menjadi persoalan lain. Jadi sekali lagi kita harus punya konsep yang jelas dan keyakinan bahwa sastra etnik memang harus berangkat dari bahasa. Jadi saya tidak setuju jika sastra Jawa menceritakan orang kota kemudian dianggap bukan sastra Jawa karena kehilangan jawanya, saya kurang setuju karena itulah dinamika yang harus ditangkap. Ada satu sesi yang menarik dari kongres Jawa tersebut yang menampilkan Ahmad Tohari. Ahmad Tohari merasa tertampar mukanya ketika di undang ke Leiden dan ditanya Profesor H. Meyer , Kenapa Ronggeng Dukuh Paru yang begitu menarik tidak anda tulis dengan bahasa Jawa tapi menggunakan bahasa Indonesia. Berangkat dari situ Ahmad Tohari merasa diingatkan agar melakukan pertobatan dan hasilnya beberapa novel tersebut diterjemahkan dengan bahasa Banyumasan. Saat ini banyak juga yang menyuarakan kesadaran budaya tetapi sebatas retorika semata , justru yang menarik dia mengajak sastrawan Jawa untuk melakukan pengkhiatan, tidak hanya menggunakan bahasa Jawa yang gaul tetapi ada sisi-sisi lain yang bisa ditempuh misalnya pengarang sastra Jawa harus menulis dalam bahasa Indonesia. Sehingga dia bisa melihat jernih apa yang menonjol , atau yang kurang dari sastra Jawa.
Surabaya , 21 September 2006
Link terkait :
http://bonarine.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar