Langsung ke konten utama

Puisi pendek Iggoy el Fitra

Sajak-sajak Iggoy el Fitra

Lovapalooza
Aku ingin menciummu berulang-ulang
Setelah badai tidak lagi mampu menerobos derasnya air mata
Setelah petir tidak lagi mungkin menggelegarkan rimbun tawamu
Selalu ingin menciummu berulang-ulang
Hingga warna-warna menjadi biru

Plot Abadi

Perjalanan ini lekat di punggungku, Neng
Kaupandang dan kaukerok
    Menjejakkan rindu yang berkelok

Masih Terlalu Awal untuk Tidur
Masih terlalu awal untuk tidur
Bila bantal yang kan kautiduri belum bersarung
Juga seprai yang kautenun belum juga rampung
Di sini aku menyiapkan tubuh sebagai ranjang

Kepada Perempuan
Keluarkan aku dari perutmu, sebagaimana aku melahirkanmu dari pinggangku

Bintang yang Jatuh Tengah Malam Buta
Aku seperti perumpamaan
Hidup yang direka-reka sebagai kunang-kunang
Bernapas pada malam
Hilang bersama siraman matahari paling ganas
Keringat dan aku
Sama-sama mesti dihancurkan
Diperas, lebur, dan disekap pasir-pasir

Malioboro
Cangkir kopiku terguncang di Malioboro
Sepeninggalan subuh ketika aku mengendap menyalakan pagi di pelataran fajar
Mangkuk bubur ayamku terombang-ambing di getar tanah
Pecah, kesemuanya runtuh dan tumpah seperti darah

Malioboro (2)
Kota yang bergelombang
Gedung-rumah terlipat kacau bersimbah luka
Aku baru saja berniat menelan merdunya ketipak delman di tepi jalan
Tetapi kian senyap lalu lenyap

Malioboro (3)
Setelah gemuruh, kopiku terhampar lekat pada darah, debu, reruntuhan dan kepalaku
Kabut pagi itu sungguhlah anyir dan perih
Tak ada gempita atau sorai tawa
Selain gerimis air mata lirih

Malioboro (4)
Dan orang-orang segera tahu ritual minum kopiku lebur pagi itu
Di antara kanopi patah dan plang yang pecah, malaikat ajal berkepak-kepak
Menantiku tengah merangkak di atas Malioboro yang retak

(Iggoy el Fitra bergiat di komunitas Ilalangsenja, padang)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007