Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Chairan Hafzan Yurma


prolog ranah

 
di depan surau tanah masih basah
bendera mengibar angka aksara
saling bertawar, luka berkaca

 
dua nyala lampion pecah-redup
ragu yang bersapa
pada sesuatu yang hendak tiba
dan sempat tertahan seperti hujan
kuyup pengajaran lepas di mimbar
bait petuah saling berkejar

 
2006

 

epilog ranah

 
bundo kanduang melipat hari
sedih sendiri di sudut negri

 
2005

memasuki puisi

 
o pengembara, kini syair
berharap kau pulang pada puisi malam
bertarik-balas memuja dendam

 
di sini tuhan tak lagi memetakan makna
suatu tanda bagi arah serta keraguan
para peziarah yang tak pernah meninggalkan jejak
menutup “amin” liang yang bukan lagi petang

 
tubir pasir renggang ke tepian
bebatang ombak tegar lalu telungkup kuyup
sebelum angin lebih lengang
di akhir tikungan

 
aku menanya aksara pagi
tentang jauh hujan berkabar doa
meski harus hilang baris demi baris

 
kita jelmakan esok yang barangkali tak lagi datang
serta penadah mantra bersama kasib laron

 
bertandang ini waktu
pada ruang yang hilang

 
2006




*Chairan Hafzan Yurma, lahir di Jambi, 23 April 1984. kuliah di fakultas sastra Universitas Andalas Padang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...