Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2013

Waluku

Inikah kabar baik itu, paman? suara geluduk di utara kembang dadap, burung jalak dan benih-benih dipilih malam hari aku berdiam diri di belakang rumah, bersandar pada kayu-kayu bekas seperti seorang kakek yang mengingat sekantung beras di masa kolonial Pajjer lagguh arenah pon nyonarah Bapak tanih se tedung pon jege’eh* Orang-orang menoleh ke sana-ke sini, seperti ingin bertukar senyum kalau tidak senin, ya rabu, kalau tidak rabu barangkali jumat jangan makan di pintu, jangan memakai baju terbalik, jangan membuang sisa makanan, nanti menghambat hujan turun, nanti cuma geluduk yang datang, nanti benih-benih terganggu, lalu kurus tumbuhnya. Ngala’ are’ so landuk tor capengah Bau lorkong dan tanah ladang menguap sampai ke dapur-dapur hai baunya sudah datang, baunya perempuan dipinang ada ibu menampih la’as, ada ibu memandang ke luar jendela ada ibu menyapa mau ke mana, ada kaki tergesa membawa sasmita ada aku bersandar pada kayu-kayu bekas seperti seorang kakek memandang langit, melihat ...

Maja

Ketika aku disangka penghilang dahaga, dan seorang militan tergiur kepada yang sejuk, di situ permulaan itu ditanam. Dari pahitku yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Lalu, jadilah ia, kau, dan mereka, dikepung perasan satu pahit satu pilihan. Menjadi kobaran api, kepalan tangan, dan semacam maklumat yang menjelma kaki-kaki yang kokoh. “Kami lahir kembali dari pahit yang tak sengaja” Orang-orang berwajah lain semakin datang, semakin militan membentuk pekarangan rumah. Membentuk yang samar jadi sumpah, jadi guyup, jadi yang tak bisa diterka seperti anak panah dalam kabut. Ada kembang mayang bermekaran seperti doa-doa, ada penumbuk padi, ada perkakas yang dibunyikan terus menerus. Ting, ting, ting! Ia, kau, dan mereka berjalan seperti peronda, mengenali letak bintang, membedakan daun gugur dan yang digugurkan, mencium bau bangkai sebagai kabar. Bila ada yang menyapa, menyapa dalam isyarat, menyapa yang di balik pintu, “kita sampai di mana sekarang?” 2012 Alek Subairi

Ketintang

Banyak yang datang menyerahkan pagi hari kepadamu, seperti menyerahkan nasi kuning dan doa selamatan. Doakan kami agar terhindar dari banjir yang mengepung asal-usul kami. Kami ingin terjaga dari tidur setiap kali ada bunyi ting, setiap kali ada bunyi yang menyaru ibu bapak kami yang jauh. Namun, bila kami terjaga, bunyi-bunyian itu menjadi sosok lain, menjadi kerisik tikus yang gemar menabrak pintu dan pagar rumah kami, menjadi siaran sepakbola yang gaduh, menjadi ajakan mengelabuhi perasaan kangen di warung kopi yang licin. Siapa yang datang dan yang pergi cuma sebutan sesaat. Semua orang membawa tas, membawa mantel hujan, membawa rencana-rencana pertemuan yang tak pernah selesai dimiliki. Lalu kami membuka pintu malam-malam. Mengintip ke luar, ke arah pos ronda di tikungan yang kosong. Barangkali kami merindukan memukul potongan besi yang menggelantung itu, sekadar memastikan kalau kampung ini masih terjaga. 2012 Alek Subairi

Rabu Surup

Di bawah tiang tanpa bendera, ada yang terburu jadi sore pada duduk yang melingkar, duduk yang mirip kenduren di surau paman. Seseorang akan berdiri, lalu pergi ke barat atau ke timur. Seseorang yang lain, yang bukan kau dan aku, menyayangkan niat yang tertinggal di paving, di bekas dudukmu dan dudukku. Barangkali memang ada yang tumbuh dari bekas duduk yang berdekatan itu, meski tidak sebagai kembang, juga tidak sebagai ajaran. Ia yang tumbuh, barangkali melihat ke arah kau dan aku, setiap kali sore turun, setiap kali angin selatan yang sehat mencium kembang dadap dari belakang. “Selain kenangan, apa yang ingin kau sampaikan?” 2012 Alek Subairi

Jalanku, Jalanmu, Jalan Kami

Berjalan di antara tikus, wajahmu hijau kemuning. Angin dari kebun menerbangkan layang-layang, mimpi dan kekasih yang sulit tidur. Bila tidur sedikit, selalu ada berita memanah jantung dan kaget. Aku cinta pulau-pulau kecil dan sampan yang mengerti gelagat angin. Jangan hardik agama lain, jangan dihapus nama-nama yang menyimpan urat-urat kampung. Kami ingin sekali mengirim perasaan syukur kepadamu. Kami kini menanam umbi-umbian, rempah-rempah bumbu masak, dan sedikit kembang-kembangan di pekarangan kami satu-satunya. Bangun pagi mengantar ibu ke pasar dengan raut muka seperti sekerat roti yang diperkenalkan ketika musim hujan. “Hai mendekatlah, kami melihat layang-layang yang menyerupai masa lalu kami. Kami jadi ingin sedikit bernyanyi dan melambai.” Melambai kepada yang menjauh dan yang akan datang. Selamat pagi ruas-ruas jalan yang saling terhubung. Jalan yang mengerti kesunyian kami, tabiat kami, bau tubuh kami yang berabad-abad kami bawa dengan kedua mata berkunang-kunang. Kami ...

Empat Sore

: Choirul Wadud, Timur Budi Raja, Mahendra, dan seorang yang tak dikenal 1 Seseorang berangkat mancing pada empat sore dengan kail nomor 9, dan sekantung cacing bakau. Ada bayang-bayang mujaer, gabus, udang galah yang senang menerima umpan rendah hati. Ia mengerti di mana memilih tempat duduk, mencium udara yang mengirim aroma bunga bangkai, limbah plastik ,dan kencing hewan melata sabarlah sungainya, tenanglah pandangannya sepilah bahasanya. Sebab bila air keruh datang, ia seseorang yang tak berniat melaporkan pabrik-pabrik bocor, penambang pasir, bangkai ikan, dan suara-suara terjepit di palung yang murung. Sebab ia tahu, berita koran dan televisi membirukan yang hitam, menghitamkan yang merah, memerahkan yang putih, memutihkan yang kelam dalam sekali pandang. 2 Seseorang yang lain menemui asharnya di depan rumah tanpa bilang-bilang tak mengapa kalau ada yang menerka yang tidak-tidak sebab dengan demikian kebajikan tetap di peluknya, ketika yang lain-lain mabuk dalam prasangka. Kalau...

Pekur

Kami saling berdekatan seperti ayah ibu. Mengumpamakan jalan yang takselisih, yang taklekas usai dipandang. Kantung-kantung beras kami beri doa. Sumur dan pekarangan kami jaga seperti membaca potongan ayat yang kami sukai warnanya. Namun kami kehilangan puji-pujian yang ingin sampai kepadamu sebagian dari kami mengingat lagu-lagu, tetabuhan, pitutur dan pamali sebagian yang lain membongkar silsilah keluarga, membaca darah, dan rujukan-rujukan sampai kami menangis di dalamnya. Lalu kami mulai belajar membuka pintu, membuka penutup kepala berjalan seperti penandur pari di sawah sewaan. Kami tak menjumpai apa-apa bila ditanya. Namun ada yang berwarna-warna menjalar dalam tubuh kami. 2011 Alek Subairi

angon

akupun kembali asing ketika pohon tubuhku menemukan musim kemuning yang membawa jejak lapar ambillah satu dan bawa pergi kekasihmu ke tempat yang teduh angin kecil datang dengan hembusan amat kuat berikan tanganmu, agar aku lewati kesumat ini dengan keringat dan tatapan yang mengurai tapal batas lalu tak ada mimpi pada malam berikutnya. sebab udara telah membangkitkan yang semula terpendam. aku telanjang, gusti. dan jendela mataku melihat isyarat warna bermekaran ku dekati yang paling hijau untuk memastikan risalah tangis yang menjelma gerimis. lalu benih dari tualang rindu tumbuh menjadi kerling mata kambing yang berlari ke luar pagar berikan pelukanmu sebagai penanda kepulanganku kelak. bahwa kau juga menanam kembang pada jejak yang kau tinggalkan lalu kubaca air yang turun begitu ritmis. o, mengapa menangis november 2007 Alek Subairi

Bunga Ombak

Gerangan apakah yang menuntun bunyi liris dari debur yang kelam orang-orang dalam kidung berangkat menggali subuh seperti nuh. suaranya, suara angin berulang-ulang di dahan-dahan. Adakah yang jatuh sebagai sabda pagi nanti? Lalu kerling anakku mengupas buah jamal yang jauh dari ingatan. Hanyutlah rinduku bersama bunyi liris ke sendang-sendang. Menghijau rumput dan kenangan kepada inkarnasi. haina, haina, bulan buntung minta ditanam, bulan buntung minta ditimang. Sebab rumahnya mau di makam Duhai, berapa kali telah ku lagukan riang-murung ombakmu supaya tirakatku menjelma ikan yang mengerti arah kebajikan. Lalu mataku yang majnun tak lagi berdusta pada kematian. sebab tubuhku berlayar ke palung namamu paling perempuan Haina, berikan kecupanmu, agar laut tenang kembali. 2008 Alek Subairi

Labang mesem

Aku dulunya, airmata yang terlempar dari mata kanan anak gadis di bawah petang yang diburu. Karna seorang lelaki yang menanam biji matanya pada daun salam, telah mengasah hari depannya dengan lengkung besi. Lalu aku tumbuh menjadi sebatang pohon yang memberi naung pada tualang. “siapakah namamu dinda?” tanya seseorang yang menaruh kembang tujuh warna di akarku. Akupun memuncak sewarna kuning pengantin. Di bawahku, umbul-umbul dan bunyi-bunyian yang mengabarkan rahasia selendang.”Wahai, siapakah di antara kalian yang kelak menerjemahkan bibirku yang bisu” lalu hujan tak datang. Orang-orang mencari sungai. Juga tetabuhan yang mengundang bianglala.”Adakah yang hendak memberi senyuman dalam kering begini?” “Tunggu aku di bawah beringin, kanda. Jika kau setia pada biji mata yang kau tinggalkan di keningku. aku pasti datang bersama kabut tipis yang menyimpan anak-anak gerimis. dan pada hari itu, hadapkan wajahmu pada gundukan tanah, tempat gembala mengawasi kambing-kambing. Bukankah telah ka...

Tafsir Ikan

Telah kurindukan sengau batu hitam berlubang, tempat benih-benih bersemayam. Juga tangis kecil perempuan yang ingin sampai kepada akar-akar pohon yang membadai. Agar ada yang tetap tegak meski jejak musa ditafsir ribuan air kali. aku melihatmu melepas baju kehormatan. lantas udara mengirim salam terbuka. Datanglah seperti kau menghampiri makan malammu dengan empat orang kenalan. Masing-masing ingin menuang air putih ke gelasmu Orang pertama datang dari ketulusan karena engkau setia mendengar keluh kesah, meski punggungmu lumut menggigil. Dan malam yang kau sulam kembang setaman, menemukan kekasih dengan ombak kecil di dahinya. Bukankah pandanganmu telah kau jatuhkan kesemua arah? lantas kau leluasa berenang. Semakin jauh ke dalam Orang kedua adalah kejujuran yang kau angkis dari ceruk duka. Lalu kau kabarkan kesetiaan pada mata, telinga, hidung, mulut, kelamin, juga dada yang menyembunyikan laut abad-abad yang tenggelam. Mata kirimu bersaksi saat mata kanan mengerling pada bunga ombak....

Hujan yang Berwarna Hitam

Hujan yang berwarna hitam adalah hantu yang bersedih dirangkumnya sekalian malam disimpannya ke lubuk perih Jantungnya gelap adalah degup angin ngarai tangis yang sayup. Lambai yang tak sampai-sampai Semata seru di sawang yang beku Hujan yang berwarna hitam adalah hantu yang mengerang tubuhnya sedingin batang pisang dirangkumnya sekalian dendam disimpannya ke lubuk malam 2013 Ahda Imran

24 Jam Berikutnya dalam Kepalamu

24 jam berikutnya yang tak pernah cukup membersihkan pecahan kaca dalam kepalamu kepala yang dipenuhi air laut dengan ikan pemangsa bermata rabun. Suaramu menyerupai ratap, atau lebih sering menyerupai geraman Tenanglah, sedang kumandikan tubuhmu dari kata-kata sekadar. Dari jejak kaki orang dulu. Jejak kaki yang selalu mengucapkan nama lengkapnya dengan api dan sembilu Lihat, dalam tubuh dan kata-katamu, aku berjalan, setenang air danau, setenang api membakar pulau 24 jam berikutnya terapung-apung dalam kepalamu. Kepala yang menanak kata-kata dari sisik ular, getah kulit kayu, dan mantera kutukan. Suaramu tak menyerupai apapun, atau lebih sering tak menyerupai suara 2013 Ahda Imran

Catatan Antologi Puisi Ahda Imran

JIKA seorang penyair menulis sajak-sajak sosial, barangkali kita sudah terbiasa. Realitas telanjang tentang carut-marut kehidupan, kebobrokan, kesewenangan, penindasan, kekalahan masyarakat lemah sudah banyak kita dapati dalam berbagai kumpulan sajak. Di deretan itu kita mencatat beberapa nama: W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Wiji Thukul, Agus R. Sarjono, dsb. Sebagian besar sajak yang ditulis para penyair tersebut dengan ligat menelantarkan kita pada potret kondisi masyarakat kita, potret yang memang dihadapkan pada kita secara face to face. Ibarat kita bercermin, sebagian besar sajak itu memang terasa, bila kejadian-kejadian tersebut memang KRGsedangKRG berlangsung. Atau barangkali kita sendiri yang sedang mengalami.

Pada Sebuah Pagi

Seharusnya aku tak perlu mengingatmu tapi siapakah yang setia menjaga ingatan seperti tentara di depan gardu? kamu lebih cepat datang dari apa dan siapapun. Lebih cepat dari bau harum secangkir kopi Bau tubuhmu menyerbu dari arah tak terduga Di kamar mandi uap air hangat menjelma ribuan burung hitam bermata merah. Menyerbu dan memecahkan cermin. Dalam bak langit dipenuhi bangkai ikan Sisiknya berjatuhan dari rambutku Seharusnya aku pergi ke sebuah tempat meski tak pernah lagi aku tahu jarak antara pergi dan pulang. Di antara keduanya aku mendengar suara langkah kakimu Pada sebuah pagi potongan kuku jari tanganmu jatuh ke dalam cangkir kopiku. Kamu berdiri di halaman dengan seikat bunga dan seekor anjing hitam bermata satu. Seharusnya aku menyebut namamu dan siapa yang mengutusmu. Tapi kamu bukanlah sebuah nama Siapapun kamu duhai, masuk, dan ini ambillah... 2011 Ahda Imran

Penari dan Peniup Seruling

Aku menemukanmu sebagai kegelapan ruang yang tenggelam dalam cairan tubuhku kerajaan pemberontak dengan para jenderal yang dimahkotai kutukan Ada banyak hari derit gerbang yang terbuka itu menggema ke seluruh jazirah ribuan kuda menyerbu ke hulu air--langit lampus dan dinding muara yang mengkerut Sejak itu aku selalu berjalan di bawah suara lonceng, di bawah bayang dahan sebuah pohon Sejak itu pikiranku selalu mengandung kebencian ketakjubanku pada bulan yang berwarna biru pada dendam dan kemalangan Pada retakan telur ular yang baru menetas Sejak itu kau selalu memainkan seruling orang-orang menari dalam tubuhku tubuhku dipenuhi tarian. Tubuhku menjadi tarian Aku menemukanmu sebagai daging-- anak seorang jauhari yang malang. Leluhur kesedihan yang dibuang ke dalam kata-kata seperti Hermes, topi dan sandalmu bersayap penafsir musim, penguasa perbatasan Seperti dirimu aku penguasa sekaligus tawanan Sejak derit gerbang itu terdengar aku berkuasa di ruang bawah tanah ini jazirah yang kau s...

Di Kota Lama

Berdiri di antara patung-patung kota lama seorang perempuan mengenangku dengan tangisan yang aneh kanal-kanal, hotel dan gedung-gedung pemerintahan yang kosong. Seorang lelaki berjalan mengusung sebuah pintu ke arah lengang, memandangku seperti pertanyaan yang mendesak. Di trotoar, sebuah kenangan jatuh, menjadi sepotong besi juga darah. Lalu malam menarik senja dengan kasar pepohonan bersatu dalam angin, meninggalkan genggaman tanganku yang jatuh. Ingatanku tergantung di udara, di antara deru hujan es dan gelepar-gelepar ikan yang ditinggalkan. Sebuah kota lama, kanal-kanal, hotel dan gedung-gedung pemerintahan yang kosong, juga puing-puing tubuh seorang perempuan. Seorang lelaki mencukur jenggotnya dengan pecahan kaca, memandangku dan melupakan. Sepanjang trotoar uap napasku menjadi patung-patung yang mengerikan. Sebuah kenangan jatuh, sepotong besi, darah dan kata-kata. Ingatanku terlepas, jatuh di kota berikutnya. Di situ, seorang perempuan memandangku dengan kebencian yang aneh 19...

Januari

Sepanjang malam di rambutmu. Angin datang dari arah perahu dan pulau yang menunggu, menjadi seorang gadis dan tubuhnya yang harum suatu hari, cinta menyerahkannya padaku. Sejak itu, bersama waktu, aku menjadi pengantin. Kami bekerja siang dan malam, menghadapi musim yang berbahaya, kebencian yang keras kepala dan seorang pembunuh yang menjadi pemimpin Sepanjang malam di tubuhmu. Angin, perahu, dan pulau. Sejarah telah menjadi sebuah taman kota dengan daun-daun dan pepohonan yang cemas. Seorang gadis selalu duduk di situ, membaca Kafka dan tidur di rerumputan. Cinta menyerahkan tubuhku padanya--- suatu hari di sebuah siang yang membosankan sejak itu kami menjadi pengantin berikutnya, berlari siang dan malam, bersama anak-anak kami yang selalu ingin bergembira, memanjati pepohonan sambil membakarnya 1999

Sendiri

Ketika aku menulis kata-kata ini, kau entah berada di mana. Daun-daun melayang dalam angin. Udara basi dan bau kuburan sendiri aku berjalan dengan sepatu basah, dengan pikiran yang lelah dan terancam. Berdiri di dermaga, laut dan ombak memberiku sebuah malam dan sehelai rambutmu. Gerimis dan kapal-kapal Pengungsi yang menangis, Nos dulcia linguimus arva, nos patriam fugimus*) Ketika aku menulis kata-kata ini, aku berada di sebuah rumah makan yang kotor sop yang dingin dan meja-meja yang lengang aku teringat Naryo yang membungkus seluruh dirinya dengan kain hitam, seperti Rapiah yang ditinggalkan kau entah berada di mana. Senja dan pepohonan menyimpan tubuhku dalam dengung hujan, arloji yang jatuh, dan suara-suara sepatu yang menyeramkan seorang anak datang padaku dengan bonekanya yang buntung. Malam mengeluh di rambutku... 1999 Ahda Imran

SINDANGKERTA

Malam seperti perempuan yang gelisah ada senja yang tertinggal. Seorang penyair menyimpannya ke dalam kenangan. Angin bersandar di puncak bukit yang runcing. Bulan lenyap dan di rangkaian besi jembatan Citarum menulis kesepian. Orang-orang tidur dalam perahu setelah menuangkan kata-kata ke rambutnya Ada senja yang tertinggal. Penyair mengubahnya menjadi seluruh nama, menjadi rumah bagi ikan-ikan dan burung-burung. Angin singgah, sembahyang, dan berdoa di tempat itu, seperti para peziarah sunyi keras berjalan di permukaan sungai, melepas orang-orang mabuk ke hilir Ada malam yang tertinggal. Seorang perempuan menguburnya diam-diam, seperti bayi. Matahari membakar dirinya di besi jembatan, lalu sungai penuh raung ambulans. Seorang penyair dalam perahu, melahirkan seluruh kesedihan, ketika orang-orang menemukan ular di rambutnya 1999 Ahda Imran

Senja

Senja yang lelah. Gerimis dan sebuah kota yang kelabu, Di tanganku dunia bergelantungan, seperti besi tua. Orang-orang berjalan dengan jas hujan dan bentuknya yang ganjil, saling memandang dan menggerutu di boks telepon, angka-angka menjadi pintu yang beku aku teringat rumah, seorang perempuan, dua orang anak, dan semangkuk sup yang hangat. Tapi tak ada siapa pun di sini, kecuali sepatuku yang lembap dan teras pertokoan penuh pecahan kaca. Sebuah kota, senja yang lelah, dan seorang lelaki. Di tangan dan kaki dunia menyimpan sejarah berikutnya, suatu masa ketika orang-orang berjalan dengan wajah kelabu, dengan rambut mereka yang panjang, tapi ia telah membunuh dirinya dengan sejarah yang lain ah, tak ada siapa pun, kecuali kabut dan seorang lelaki di kejauhan: Menangis dan berteriak sekeras-kerasnya 1998 Ahda Imran *) kami meninggalkan kampung halaman yang menyenangkan, kami melarikan diri dari tanah air kami sendiri (Virgilius)

Sajak Tan Malaka Kepada Harry A Poeze

Poeze, waktu itu tak bertubuh tak berkejadian orang sekaumku telah membunuhnya. Mengubur mayatnya di bawah bayang gardu tentara. Waktu yang berbaju merah. Waktu yang menulis revolusi dengan tangannya yang sakit. Revolusi dengan tubuh yang tak utuh Ingatan itu, Poeze, tak berkaki tak berkejadian orang sekaumku telah menebasnya. Ingatan yang tak mengenal lagi bau jasad tubuhnya ingatan yang merangkak-rangkak mencari sisa jejak kakinya di ruang kerjamu 2012 Ahda Imran

Tapol

Ada malam yang paling kutakutkan – ketika aku tidur kau datang. Mengambil kuku jari tangan dan kakiku, ubi jalar yang kusembunyikan di kolong dipan, botol plastik berisi air cucian kaki ibuku suara sepatumu yang keras, sepasang matamu yang beku dan berlubang. Atau kau akan membiarkanku terus tidur. Setelah merampas seluruh kata-kata yang tumbuh di atas tubuh anakku... 2012

Hari ini tubuhku terasa ringan

Hari ini tubuhku terasa ringan bayi-bayi berterbangan dari kedua lenganku mengelilingi jejak-jejak kaki yang terisi air – sebelum angin bergerak. Sebelum burung gagak itu terbangun Kutinggalkan penginapan dalam tubuhku bayi-bayi itu kembali tidur berselubung kain hitam aku berjalan dengan sepasang kaki milik seorang penari. Tak ada lagi yang harus kupikirkan. Juga pertanyaan, mengapa seluruh kemalangan selalu membuatku merasa lebih baik dari sebelumnya? Atau kebencianku pada segala yang menetap Di kedai kopi. Angin membawa bau tubuhku orang-orang menemukanku. Aku adalah segala yang mereka benci. Seperti tersebut di mulut kaum paderi. Di bawah langit biru kubiarkan mereka membunuhku Sepasang mataku memandang burung gagak itu berputar-putar Hari ini dunia tubuhku terasa ringan kubiarkan bayi-bayi bermain di jejak-jejak kaki yang terisi darah. Berselubung jubah para paderi aku menitis di kerling mata seorang penari. Menggerakkan angin Memanggil ribuan burung gagak 2012 Ahda Imran

Garut Selatan

Melewati jembatan gantung ada hutan kecil di atas pulau karang pohon-pohon tua menyimpan arwah orang dulu. Ular hijau dengan matanya yang berkilauan adalah sepasang matamu sepasang mata yang menjaga seluruh ingatan – dendam dan kesedihan Ada juga cahaya mengambang di akar gantung menyusut di sela rimbun lembab batang kayu bersama burung-burung laut aku terperangkap lalu dengan gelap yang lembut engkau melilit tubuhku Menuruni undakan batu licin tekstur dinding karang adalah huruf-huruf yang rumit. Kau membacakannya untukku – sebelum huruf-huruf itu menjelma abu. Sejak itu akulah pewaris seluruh ingatan. Berdiam di hutan kecil di atas pulau karang Dengan gelap yang lebih lembut aku melilit tubuhmu 2010-2012 Ahda Imran

Brosur Wisata Belanja Kota Bandung

Kota ini berasal dari lumpur dasar danau yang menempel di sepatu seorang Gubernur Jenderal. Lalu tuan-tuan perkebunan membuat kota ini dari sisa-sisa kecantikan seorang germo yang didatangkan dari Paris. Kota tempat tuan-tuan perkebunan pelesir. Belanja dan bergaya. Mereka membawa juga banyak sekolah. Sekolah yang mengajak anak-anak Inlander melihat barisan orang menyerbu penjara Bastille. Kota ini berangin seperti perempuan yang berbisik di balik daun telingamu. Mari belanja. Orang-orang membawa tubuhnya ke toko baju. Menumpuk tubuhnya dalam troli. Taruh saja tubuhmu di situ. Seorang walikota akan mendorongnya. Ia memakai sepatu Gubernur Jenderal. Mengajakmu mengelilingi seluruh toko baju di kota ini. Toko baju yang membuat kota ini menjadi ruang rias dalam gedung sandiwara. Gedung sandiwara dengan panggung yang tak punya ingatan. Lihat. Penunjuk arah di kota ini. Semua menuju toko baju, mall, apartemen yang semua namanya terapung-apung dalam bahasa Inggris. Di depan kasir kau menerim...

Perempuan yang Menyulam di Tepi Sungai

Kusulam sungai dengan tangan yang sakit, dengan bergelas-gelas kopi, dengan seluruh ingatan buruk yang bergelantungan di rambutku. Entah dari hulu yang mana sungai ini datang, membelah kota, seperti juga entah sejak kapan aku berada dalam kamar ini Buih dan arus air terus menyerbu tanganku Di antara gulungan benang, rokokku berulangkali padam. Jauh ke pusat malam tubuhku semakin kurus, ginjalku kerap terasa sakit. Tapi sebaiknya tak ada yang harus kupikirkan. Juga orang-orang yang saling berbisik, mengancamku dengan seekor anjing dalam kepalanya Tanganku terus menyulam, bergerak di antara air dan ikan-ikan, menjadi rakit dan jembatan Kunyalakan pemanas air. Di luar suara hujan seperti derap sepasukan berkuda seseorang melintasi kamar tergesa, lalu membanting pintu. Seorang lelaki mengeluh di seberang sungai, di depan sebuah lukisan. Tubuhnya terikat di tiang kayu yang terbakar, kulitnya mengelupas, tulang-tulangnya merah Kusulam sungai dengan gambar-gambar tubuhku sendiri, dengan berge...

Di Delta Sungai

Di delta sungai, pohon-pohon tumbuh dalam air. Di situ ikan-ikan menyimpan telurnya, sebelum kembali berenang ke hulu. Dari arah laut entah siapa menahan gerak angin. Daun dan ranting lepas, menempel di udara, seperti motif di kain selendang ibu Kutemukan juga bagian lain di luar apa yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi, sesuatu yang tak menyerupai apapun. Orang-orang menangis di rambutku, sedang kedua kakiku lepas dan hanyut Air dan angin menghilang tanah dan langit begitu lengang Di delta sungai, gerimis dan pohon membuat upacara. Ikan-ikan menyerahkan telurnya sebagai sesaji. Pulau-pulau terurai. Laut membuka pintu angin, menghembuskan sesuatu yang tak bisa kutuliskan sebagai puisi burung-burung melepas sehelai rambutku sehelai, sehelai, dan sehelai lagi sedang jemari tanganku terus berjatuhan 2001-2006 Ahda Imran

Pada Suatu Hari

Hari ini terlalu pagi untuk sebuah kesedihan. Mereka, para pembohong dulu, kembali datang dari arah hutan-hutan malam aku memandang dan melupakan pepohonan memasang daun-daunnya, seperti perempuan menjemur pakaian dalamnya Kutinggalkan semua di atas meja. Kuburan massal yang digali, skandal anggota parlemen, ulang-tahun presiden, tukang becak yang menjual anaknya, kapal-kapal asing yang membawa beras dan gula Tak ada lagi yang kupahami kesedihan atau juga Tuhan, kecuali pertanyaanku sendiri. Kedua kakiku bernafas ke dalam batu, menyatu bersama mata air. Kedua tanganku mengembang, menyentuh lapisan paling lembut dari langit dan pasir Aku hidup dalam kebahagiaan yang aneh. Tak ada siapapun yang datang padaku untuk berjanji, sebab aku telah membunuhnya tadi malam Hari ini terlalu pagi untuk sebuah kesedihan. Tak ada siapa pun yang mesti kudatangi, sebab seluruh alamat telah menjadi kutukan. Tak ada lagi yang harus kupahami, kecuali pertanyaan sendiri, mengapa aku begitu berbahagia 2003 Ah...

High Lander *)

Kujelaskan padamu, segala sesuatunya telah kupahami sebagai puisi. Juga bajumu yang kumal dan sepatumu yang mengelupak ratusan tahun adalah kesendirianku menghuni rumah ini. Membersihkan daun-daun pintu, mengganti alas meja, atau memasang tempat-tempat lilin. Apabila cuaca baik, aku berjalan-jalan ke arah sebuah kota bercakap-cakap dengan anggota parlemen yang selalu menggaruk-garuk lidahnya, menyapa anak-anak yang bermain dengan bonekanya yang buntung. Tengah malam, ikan-ikan dalam sungai menghirup nafasku dari sebuah lubuk yang paling rahasia tengah hari kau datang membawa keletihan dan kecemasan Kujelaskan padamu, aku hidup mewarisi Kaum Abadi, berada dalam seluruhnya, juga ketika segala sesuatunya menjadi letusan-letusan, bendera-bendera, pidato para pemimpin yang membosankan, sedu-sedan kekasih di pantai nan jauh. Bukan. Ini bukan awal musim hujan penghabisan. Dengan senang hati aku akan terus menulis surat padamu, juga puisi. Menangis diam-diam, tidur di sebuah perahu, lalu terba...

SANTOLO

1 Jauh di bawah batu-batu karang mungkin suaramulah yang bergaung. Naik ke permukaan air. Menguap dan membuat burung-burung oleng. Pasir menghembus dan menyerbu kakiku, menyerupai lapisan kabut. Dalam pikiranku ada selalu yang tak bisa kuselamatkan yaitu, melupakan suaramu. Suara yang terus membuatku pergi dari setiap tempat sebelum tahu bahwa tempat itu memiliki sebuah nama 2 Di pulau kecil, di mulut sebuah tanjung kubiarkan ingatanku terurai. Bayanganmu menempel di telapak tanganku, di pepohonan bakau, di lengang angin pada gerak pelan sebuah jembatan gantung. Ombak memasuki tanjung, menjauhi laut, mencari-cari namamu di antara tebing-tebing karang. Sambil menyelamatkan pecahan-pecahan tubuhmu, kujauhi gelagat hujan yang datang dari arah dermaga. Angin yang kasar menderu di sekeliling pulau 3 Di pesisir muara tubuhku menjadi malam— dengan gelap yang lebih sempurna dari kulit tubuhmu sepasang matamu berdegup dalam pikiranku, sedang suaraku terbenam dalam pasir. Kuingat kembali sebuah ...

Merdeka Walk, Medan

Gedung-gedung tua berwarna jam 5 sore lapang terbuka, dua gelas bir, kebab Turki misai dan rambut Idris yang putih. Idris bercerita tentang Amir, revolusi, kematian, dan bendera Langkat yang masih dikibarkan Langit kuning. Matahari berdiri di pinggir sungai Deli. Bayang pohon di persimpangan. Angin dihembuskan dari tenggara. Bau tubuh koeli , suara sepatu Nienhuys memindahkan Deli Maastschappij — menjauhi kota sultan Seperti Priangan, kota ini terbuat dari jejak sepatu tuan-tuan perkebunan. Bunga tembakau, ukiran pucuk rebung dan langit-langit Istana Maimoon yang berdebu Juga revolusi , kata Idris Dan revolusi tak pernah memerlukan apapun selain kebencian— juga ketika ia menjadi silam. Tapi Idris masih bercerita tentang Amir dan kematian para bangsawan rambut dan misainya semakin putih, seperti benang kain kafan Gedung-gedung tua berwarna jam 5 sore lapang terbuka dan kota yang berayun-ayun lengang di tubuhku 2011 Ahda Imran

Rumah Sakit Hasan Sadikin

Aku sakit. Orang-orang terbaring di atas tubuhku. Mereka demam. Angin membawa debu ke rambut dan misaiku— membawa banyak suara—juga potongan gambar cahaya menetes dari lubang atap. Ular itu bergelung di atas lemari obat Memandang aku Aku sakit. Aku terbaring di atas tubuh setiap orang. Mereka bekerja siang dan malam. Tubuh mereka penuh suara ambulan. Aku berlari membawa tubuh ibu mendorong brankar sepanjang lorong bangsal— ke ruang cuci darah. Langit menetes dari lubang atap. Ular itu mendesis Memandang aku Aku sakit. Orang-orang mengerang di atas brankar. Angin menghembus lengang— berbagi dingin dengan bayang. Potongan gambar dan suara berjatuhan di lantai, seperti air hujan di loket pendaftaran kata-kata menunggu sambil berusaha keras mengucapkan sebuah nama. Tubuhnya bau kamper. Gelap menetes dari lubang atap. Ular itu mendekat Menjalar di atas tubuhku 2011 Ahdan Imran

Malam yang Buruk

Ini malam yang buruk asap ganja, perut yang lapar, langit-langit gedung yang mengerikan— lambang negara dan potret sepasang lelaki yang entah apa gunanya. Sebaiknya aku pergi sambil mengingat-ingat potongan sebuah lagu seperti mencari-cari wajahmu. Aku melupakan lagu itu tapi sepasang matamu telah lebih dulu menghisap pikiranku Aku berjalan dengan sepasang mata yang tak punya pikiran—di sebuah malam ketika listrik seluruh kota dipadamkan dan hujan diturunkan Ini malam yang buruk asap ganja, perut yang lapar, bayangan bahwa malam ini aku bisa saja mati. Aku ingin menangis untuk ketakutan dan kesedihan banyak orang. Kuingat sebuah puisi dan kulupakan. Aku tak ingin memikirkan apapun Aku berjalan dengan pikiran yang tak lagi punya siapapun. Sepatuku basah dan berlintah. Orang-orang memandangku— merogoh-rogoh pikiranku, mencari-cari namamu seperti suara yang memanggil-manggil ibu Asap ganja, perut yang lapar, jendela-jendela rumah dan gedung tertutup, seperti mata yang terpejam Ini malam y...

Sulamadaha

Di sini langit menjadi air angin membuat pusaran lembut di perairan dekat cekungan pulau Lalu ada yang lenyap perlahan terhisap dalam kepasrahan Mataku terpejam. Melintas biduk atas bayang tubuhku. Lalu alun menghapus waktu dari tubuhku menghapus seluruh nama kejahatan kubiarkan ciuman-ciumanmu membuat ikan-ikan terbangun Kubiarkan tubuhmu menghisapku Di sini langit dan air menjadi tubuhmu. Matamu terpejam, dan kata-katamu berwarna biru. Angin membuat alun, menenun kelopak bunga di bentangan kain bajumu Lihat, Artyana, kubawa biduk ke tengah air. Ke pusaran lembut tubuhmu—dekat cekungan pulau itu Lalu ada yang lenyap perlahan terhisap dalam kepasrahan Langit dan seluruh pulau terpejam 2011 Ahda imran

Lubuk Kata

Di lubuk kata aku ular yang memancarkan sisiknya— lebih berkilauan dari mahkota seorang pembesar tubuhku terus memanjang. Melampaui ruang, cahaya, dan bayang. Berlindunglah dariku. Aku mimpi buruk bagi keledai pesolek yang memuja dirinya di permukaan air Pada batu-batu karang kemerahan aku menaruh telurku. Menetaskannya dengan dendam dan kesedihan. Aku telah membunuh seekor hiu dengan gigitan yang paling lembut Di lubuk kata berselubung cahaya hangat aku bergelung. Membuat kerajaan kata dari keindahan dan kejahatan. Sisikku berlepasan pergantian yang lebih kekal dari apa yang kau sebut sebagai waktu. Desisku membuat burung-burung berjatuhan dari langit Pada air menggenang dan buah pohonan aku menaruh telurku. Kata-kata dan tubuhku terus membesar. Melampaui ruang, cahaya, dan bayang tak ada tempat berlindung dariku. Dari lubuk ini aku mengutukmu menjadi keledai pesolek yang memuja dirinya di permukaan air lalu membunuhmu dengan gigitan yang paling lembut... 2011 Ahda Imran

Jalan Tan Malaka, Payakumbuh

Lurus jalan menuju Suliki di ujungnya persimpangan— Koto Tangah dan Koto Tingi keduanya menuju ke dalam lembah pegunungan, rimba raya, deretan pohon pinus, ladang-ladang kopi dan tembakau Liuk jalan dan pendakian Ini jalan orang dulu.. Jalan lurus panjang gerbang menuju kerajaan gunung orang dulu pergi keluar, membawa jantung seekor burung. Pergi ke musim yang lain, ke negeri di mana dunia bisa disebutkan dengan berbagai nama Surau dan lepau tepi jalan. Balai adat, rumah lama dengan parabola, satu dua kedai penjual handphone. Dari depan, udara dingin menyongsong. Bau lengang dari jenjang rumah dan sayup suara menyeru— Bila pulang? Lurus jalan menuju Suliki di ujungnya persimpangan Ini jalan orang dulu 2009 Ahda Imran sumber: Blog Ahda Imran

Kaki Angin

Kaki angin yang putih berjalan pelan di daun teratai tenang dan berwibawa. Air dan ikan-ikan terdiam. Langit dan pohonan menyiapkan lagu pujian. Burung-burung gereja terbang ke arah hilang. Sebuah lonceng dibunyikan Lalu ada juga yang berjalan ke arah hilang berselubung kain hitam. Suara orang berbisik ringkik kuda dan desis ular. Di angkasa hujan seperti sebuah kerajaan dan para penyerbu yang menyeru namamu. Mereka memburu para pemberontak dengan pahala dan hukum perang suci Kaki angin yang putih berjalan pelan di pecahan kaca tenang dan berwibawa. Bayang tubuhmu atas air—menyelinap ke lubuk lenyap membasuh percik darah di tubuh ikan-ikan pohonan bergerak melepaskan ribuan burung lonceng kembali dibunyikan. Tapi tak ada apa dan siapapun Lalu ada yang berjalan berselubung kain hitam menjauhi lagu pujian. Kakinya berdarah penuh pecahan kaca. Tangannya ditumbuhi kelopak bunga teratai. Diberkatinya hujan, para pemberontak dan kuda yang menderu ke padang jauh Pada hari keramat di jalan se...

Dalam Peti Kayu

Seperti ular yang melata di hutan yang berembun. Begitulah suaramu lalu aku mengetahui sebuah negeri— rumah-rumah dasar danau dan ikan keramat. Gerimis menyelubungi rawa sebuah jembatan gantung di kejauhan Kelaminmu yang dalam menyerupai peti kayu dengan ukiran bunga teratai. Di dalamnya aku hidup bersama seseorang yang tak bisa lagi kuingat kapan kami pernah saling mencari. Matanya putih. Sepasang kakinya terbuat dari kulit pohon Sepasang matamu adalah gerbang yang menyimpan bahasa manusia dan kutukan-kutukannya setiap hari orang-orang memasang perangkap menangkap burung-burung gagak. Mengutusnya ke dalam kata-kata Setiap hari kutiup seruling sambil terus berjalan lebih dalam ke dalam tubuhmu Seperti seekor ikan yang terdampar dan ditinggalkan. Begitulah suaramu lalu aku mengetahui kisah sebuah negeri— langit yang hilang di dasar danau, mahluk jahat yang berdiam di balik kata-kata, dan peti kayu yang terapung-apung. Di dalamnya aku hidup Mataku putih. Sepasang kakiku terbuat dari kuli...

Sungai Kapuas

---Markunyang aku telah meminum air Kapuas dan kau telah datang ke dalam tubuhku maka kau akan kembali padaku Memandangmu dari sini— dari teras kamar hotel dekat pelabuhan sungai bergerak pelan. Langit putih, nafas dan badanku dalam angin. Menghembus atas air, menyentuh punggung ikan-ikan Pada kayu dermaga aku mencium bau tubuhmu. Ruang silam yang tak menyerupai apa dan siapa pun. Namamu adalah sepasang mata yang terbuat dari kelopak air Sore menjelang. Sungai berkelok perlahan. Di kejauhan jembatan seperti bayang Di depanku sebuah kapal melintas mungkin itu kapal dulu yang membawamu meninggalkan ibu, ladang, sungai dan hutan kecil di belakang rumah Graham Hains kembali mengajariku memotret lanskap langit sore atas dermaga— rumah-rumah kayu seberang sungai atau perahu terapung pada bidang cahaya kuning. Tapi aku lebih senang mengarahkan kamera ke arah kapal yang melintas itu. Lensa kameraku mendekat mencari-cari sepasang matamu Langit putih. Sepasang...

Mengingatmu Sekali Lagi

Begitulah aku mengingatmu sekali lagi lewat hujan yang berlari ke arahku lewat lukisan perempuan dengan bintik cacar di punggung dan di perutnya Langit tengah hari angin sungai menghembuskan bau kamarmu membawa burung-burung lenyap ke balik gedung-gedung berwarna kelabu Pelan kubiarkan pikiranku dipenuhi air kedua mataku terapung-apung di atas kota yang menguning aku melihat setiap bagian tubuhmu menjelma seorang anak kecil yang terjebak dalam tubuh seorang ibu berdiri gemetar sambil menerbangkan balon-balon hitam. Sehingga hari menjadi malam Begitulah aku mengingatmu sekali lagi lewat tempias dan rokokku yang padam lewat kawan-kawan sekaligus musuh-musuhku dan seekor lintah di balik lidahnya Langit sore setelah hujan melengkung biru. Dan dengan tenang jatuh lembut ke balik Burangrang dan Tangkubanparahu angin menyentuh permukaan kopiku. Sambil menenangkan kata-kata yang terus berlari ke arahku, sekali lagi kunyalakan rokok. Tiba-tiba jalanan lengang dan orang-orang menghilang angin su...

Dalam Kota di Atas Pasir

Angin menghilang di jalan dulu ada yang selalu menyerupai dirimu— pohon yang meneteskan air, gerak bayang sepanjang trotoar, atau suara handphone dalam tas. Dengan hati-hati kubenahi setiap ingatan. Dan belum juga kutemukan perumpamaan yang sesungguhnya dari kejahatan dan keindahan Di kedai kopi yang dulu juga kutemukan potongan-potongan kukumu di atas meja Kota ini didirikan di atas pasir basah rumah-rumah seolah terbuat dari kain tetoron. Jalanan melayang dengan tiang-tiangnya yang bertumpu pada batu karang dan aku menemukanmu jauh sebelum orang-orang memastikan kota ini dengan sebuah nama. Kini, dan kini, menyebut namamu adalah menjadi seseorang dalam adegan di relief-relief candi ketika kejahatan dan keindahan menjadi kutukan Setiap malam aku terjaga. Ke dalam ingatanku kau telah menjelma lorong-lorong rumah sakit sejak itu di kota ini aku hidup bersama seorang lelaki dengan telinganya yang selalu berdenging Angin menghilang di pasir basah tengah malam kota ini akan tenggelam. Di j...

Angin Muara

Aku telah menaruhmu dalam bahaya. Di senja remang angin muara ketika air pasang dan pulau-pulau menghilang Kumasuki semenanjung berjalan ke selat tak bernama. Orang-orang menyeberang dan meninggalkan tubuhnya berlabuh di punggungku. Membawa kabut dan kapal-kapal hantu Di kelopak mataku tubuhmu bergetar. Pikiranku dirasuki kegilaan yang aneh. Setiap hari aku melihat cahaya tanpa ruang dan bayang. Seluruh ikatan terurai, tapi setiap kepergian selalu menyimpan kutukannya sendiri Kedua tanganku memanjang dengan jemari yang membusuk Laut adalah kelambu yang terbuka aku tidur dengan perempuan bersuara kasar. Anak-anak kami lahir dengan lidah bersisik. Mereka tak menyerupai siapapun leluhur mereka adalah sungai yang gelap Aku telah menaruhmu dalam bahaya. Di semenanjung yang jauh, di tengah deru angin muara, di selat yang tak bernama Dan menjelang air pasang di kelopak mataku tubuhmu menjadi bayang sebelum pulau-pulau menghilang 2009 Ahda Imran sumber: sajaktanahair.blogspot.com

Lokakarya Sastra dan Musikalisasi Puisi

BANDUNG, (PRLM).- Keberadaan seni musik pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari sastra. Perpaduan karya musik dengan sastra-puisi yang “berbicara” dalam perkembangan musik populer lazimnya disebut Balada.

Penghargaan Balai Bahasa Jawa Timur: Buku puisi Indra Tjahyadi, karya sastra terbaik Jawa Timur

LENSAINDONESIA.COM: Buku puisi karya Indra Tjahyadi, ‘Syair Pemanggul Mayat’ dinobatkan sebagai karya sastra terbaik di Jawa Timur. Penobatan ini disematkan oleh Balai Bahasa Jawa Timur. Dalam menimbang dan menilai buku ini, Balai Bahasa melibatkan dua akademisi dan satu praktisi seni budaya. Yakni, Dr. Putera Manuaba dari universitas Airlangga Surabaya, Dr. M. Shoim Anwar dari Universitas Negeri Surabaya, serta Widodo Basuki.