Langsung ke konten utama

Sungai Kapuas

---Markunyang

aku telah meminum air Kapuas
dan kau telah datang ke dalam tubuhku
maka kau akan kembali padaku


Memandangmu dari sini—
dari teras kamar hotel dekat pelabuhan
sungai bergerak pelan. Langit putih, nafas
dan badanku dalam angin. Menghembus
atas air, menyentuh punggung ikan-ikan

Pada kayu dermaga aku mencium bau
tubuhmu. Ruang silam yang tak menyerupai
apa dan siapa pun. Namamu adalah sepasang
mata yang terbuat dari kelopak air

Sore menjelang. Sungai berkelok
perlahan. Di kejauhan jembatan
seperti bayang

Di depanku sebuah kapal melintas
mungkin itu kapal dulu yang membawamu
meninggalkan ibu, ladang, sungai dan hutan kecil
di belakang rumah

Graham Hains kembali mengajariku
memotret lanskap langit sore atas dermaga—
rumah-rumah kayu seberang sungai atau perahu
terapung pada bidang cahaya kuning. Tapi
aku lebih senang mengarahkan kamera ke arah kapal
yang melintas itu. Lensa kameraku mendekat
mencari-cari sepasang matamu

Langit putih. Sepasang burung enggang
melayang di seberang sungai. Degup
jantungnya kudengar menggema
ke dalam air. Gema yang sampai
ke lubuk muara

Memandangmu dari sini—
dari putih langit, sore yang membawa
gelagat hujan, dan pelabuhan bersiap lenyap
ikan-ikan kembali menyelam. Dalam angin
badanku masih berayun-ayun di atas air. Mengurai
batas ruang dan alun air

Sungai ini dihuni oleh seekor ular raksasa
warnanya hitam, seperti waktu. Seperti kini
aku menemukan segala permulaan
dari sepasang matamu

Kapuas terus menghilir ke arahku
sekaligus meninggalkanku. Berkelok
perlahan di bawah jembatan, terus
ke lubuk muara. Ke tempat suaramu
menggema

aku telah meminum air Kapuas
dan kau telah datang ke dalam tubuhku
maka kau akan datang kembali padaku


2011
Ahda Imran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...