Langsung ke konten utama

Dalam Kota di Atas Pasir

Angin menghilang
di jalan dulu ada yang selalu menyerupai dirimu—
pohon yang meneteskan air, gerak bayang sepanjang trotoar,
atau suara handphone dalam tas. Dengan hati-hati kubenahi
setiap ingatan. Dan belum juga kutemukan perumpamaan
yang sesungguhnya dari kejahatan dan keindahan
Di kedai kopi yang dulu juga kutemukan
potongan-potongan kukumu di atas meja
Kota ini didirikan di atas pasir basah
rumah-rumah seolah terbuat dari kain tetoron. Jalanan
melayang dengan tiang-tiangnya yang bertumpu pada batu karang
dan aku menemukanmu jauh sebelum orang-orang memastikan
kota ini dengan sebuah nama. Kini, dan kini, menyebut
namamu adalah menjadi seseorang dalam adegan
di relief-relief candi ketika kejahatan
dan keindahan menjadi kutukan
Setiap malam aku terjaga. Ke dalam ingatanku
kau telah menjelma lorong-lorong rumah sakit
sejak itu di kota ini aku hidup bersama
seorang lelaki dengan telinganya
yang selalu berdenging
Angin menghilang
di pasir basah tengah malam kota ini
akan tenggelam. Di jalan dulu kubenahi
setiap ingatan. Pada semua yang menyerupai
dirimu kupulangkan kembali seluruh perumpamaan
dan nama-nama, setelah aku menghancurkannya
berulang kali
Dan lewat sepasang matamu selalu kutemukan
perumpamaan berikutnya dari kejahatan dan keindahan
yang menjadi kutukan. Sepasang mata yang mengawasiku
dari potongan-potongan kuku di atas meja

2009
Ahda Imran

sumber: sajaktanahair.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007