Langsung ke konten utama

Mengingatmu Sekali Lagi

Begitulah
aku mengingatmu sekali lagi
lewat hujan yang berlari ke arahku
lewat lukisan perempuan dengan bintik
cacar di punggung dan di perutnya
Langit tengah hari
angin sungai menghembuskan bau kamarmu
membawa burung-burung lenyap ke balik
gedung-gedung berwarna kelabu
Pelan kubiarkan pikiranku dipenuhi air
kedua mataku terapung-apung di atas kota yang menguning
aku melihat setiap bagian tubuhmu menjelma seorang
anak kecil yang terjebak dalam tubuh seorang ibu
berdiri gemetar sambil menerbangkan
balon-balon hitam. Sehingga hari
menjadi malam
Begitulah
aku mengingatmu sekali lagi
lewat tempias dan rokokku yang padam
lewat kawan-kawan sekaligus musuh-musuhku
dan seekor lintah di balik lidahnya
Langit sore setelah hujan
melengkung biru. Dan dengan tenang jatuh
lembut ke balik Burangrang dan Tangkubanparahu
angin menyentuh permukaan kopiku. Sambil menenangkan
kata-kata yang terus berlari ke arahku, sekali lagi kunyalakan
rokok. Tiba-tiba jalanan lengang dan orang-orang menghilang
angin sungai menghembuskan bau tubuhmu. Bintik cacar
di perut dan di punggungmu. Suaramu menggema
dalam paru-paruku
Lalu langit penuh balon-balon hitam
Begitulah
di lurus jalan menuju lembah jauh
di sebuah malam ketika seluruh nama toko
di kota itu berubah menjadi namamu
ketika hari dan angin terlepas
aku mengingatmu terakhir kalinya....

2009
Ahda Imran

sumber: sajaktanahair.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007