Langsung ke konten utama

Penari dan Peniup Seruling

Aku menemukanmu sebagai kegelapan
ruang yang tenggelam dalam cairan tubuhku
kerajaan pemberontak dengan para jenderal
yang dimahkotai kutukan

Ada banyak hari derit gerbang
yang terbuka itu menggema ke seluruh jazirah
ribuan kuda menyerbu ke hulu air--langit lampus
dan dinding muara yang mengkerut

Sejak itu aku selalu berjalan
di bawah suara lonceng, di bawah bayang
dahan sebuah pohon

Sejak itu pikiranku selalu mengandung kebencian
ketakjubanku pada bulan yang berwarna biru
pada dendam dan kemalangan

Pada retakan telur ular yang baru menetas

Sejak itu kau selalu memainkan seruling
orang-orang menari dalam tubuhku
tubuhku dipenuhi tarian. Tubuhku
menjadi tarian

Aku menemukanmu sebagai daging--
anak seorang jauhari yang malang. Leluhur
kesedihan yang dibuang ke dalam kata-kata
seperti Hermes, topi dan sandalmu bersayap
penafsir musim, penguasa perbatasan

Seperti dirimu aku penguasa sekaligus tawanan

Sejak derit gerbang itu terdengar
aku berkuasa di ruang bawah tanah ini
jazirah yang kau sebut kegelapan,
leluhur kejahatan

Ada banyak hari aku mencium bau nafasmu
menempel di sebatang pohon dengan akar
yang terbenam ke dasar kuburan. Di situ
kau menaruh namaku sebagai muslihat
dan tabir

Sejak itu aku tahu siapa sesungguhnya
penari dan peniup seruling itu

2011
Ahda Imran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...