Langsung ke konten utama

Jalanku, Jalanmu, Jalan Kami

Berjalan di antara tikus, wajahmu hijau kemuning. Angin dari kebun

menerbangkan layang-layang, mimpi dan kekasih yang sulit tidur.
Bila tidur sedikit, selalu ada berita memanah jantung dan kaget. Aku
cinta pulau-pulau kecil dan sampan yang mengerti gelagat angin.
Jangan hardik agama lain, jangan dihapus nama-nama yang
menyimpan urat-urat kampung. Kami ingin sekali mengirim
perasaan syukur kepadamu.

Kami kini menanam umbi-umbian, rempah-rempah bumbu masak,
dan sedikit kembang-kembangan di pekarangan kami satu-satunya.
Bangun pagi mengantar ibu ke pasar dengan raut muka seperti sekerat
roti yang diperkenalkan ketika musim hujan. “Hai mendekatlah, kami
melihat layang-layang yang menyerupai masa lalu kami. Kami jadi
ingin sedikit bernyanyi dan melambai.”

Melambai kepada yang menjauh dan yang akan datang. Selamat pagi
ruas-ruas jalan yang saling terhubung. Jalan yang mengerti kesunyian
kami, tabiat kami, bau tubuh kami yang berabad-abad kami bawa
dengan kedua mata berkunang-kunang. Kami mulai mengerti suara
kentungan yang dulu menggema dari poskamling. Guyub rukun
jangan hilang dari kamus batin, jangan pula dikelabui.

Sebab bila rindu kami dikelabui, akan banyak yang tumbuh menjadi
orang lain, menjadi sobekan iklan, menjadi pohon-pohon tumbang di
jalanan, menjadi kata-kata yang dikirim untuk mengecoh kaum ini
dan kaum itu. Selamat siang nama-nama kaum dan pemeluknya. Aku
cinta warna bajumu, warna kulitmu, warna bahumu yang legam
memikul kitab-kitab.

Istirahat di bawah naung pohon belimbing, melihat wajahmu
berkabut-kabut. Sesekali muncul bersama iringan pengantin, sesekali
berkelebat bersama buah-buahan yang terhidang di tengah duduk
yang melingkar. Sesekali mewujud dalam tarian dan doa-doa.
Selamat sore rumah-rumah ibadah. Aku cinta suara langkah kaki yang
bergegas ke arahmu. Langkah kaki yang membawa ibu-ibu kami.

2012
Alek Subairi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...