Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2012

Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1433 H

Puitika.Net mengucapkan Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1433 H untuk semua umat Islam yang merayakannya. Semoga amal ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima di sisi Allah SWT. Amin. Pembaca sekalian, tidak terasa Puitika.Net telah hadir di dunia maya selama lebih kurang 6 tahun. Bukan waktu yang singkat, tetapi juga bukan waktu yang terlalu panjang karena toh semua waktu itu telah kita lewati. Sekarang adalah waktu untuk mengambil pelajaran dari masa lalu itu untuk bekal kita melangkah di waktu-waktu mendatang.

Fragmen Kenangan

FRAGMEN I Ia berlalu seperti angin Sibakkan rambut ditepi dahi Lalu memeluk dengan dingin FRAGMEN II Kabut membungkus kalut Hantam dinding kaca buram Lalu tinggalkan sekelebat bayang FRAGMEN III Malam kelam menjadi gigil panjang Hanya bisik cumbu kepik dan ulat pohon Simpan rapi elpidos pelangi yang berangin Juli2007

MERINDUMU

Rindu...Barangkali bisa bersandar dipundakmu Hingga jemari menari halus..dipunggungmu Mencari titik perapian yang tak terlihat. Tak semestinya aku tersesat.. Dihutan tak berbatu... dan terbawa arus sungai yang mengering Sebab jelas aku melihatmu... Melambai - lambaikan tangan memanggil arwahku.. Yang merindumu.

Engkau Datang Untukku

Membayangkanmu datang saat sadarku pergi Menyapaku saat anganku bermimpi Engkau membangunkanku padahal semua masih lelap sendiri Aku? Merasa tak pernah kau kenali Aku mengenalmu walau kutahu engkau semu semata Seperti ini, saat engkau berlalu begitu saja Lalu, aku menginginkan mu dengan segala manismu serta senyum malaikat itu Hingga kutahu kau tak pernah ada dalam nyataku Di sana, kapalnya dengan layar cinta yang kusulam untukmu Aku mencintaimu walau engkau seperti liarnya lautan Nyatanya engkau tak bisa diam sepertiku yang memilih tenang saat kau tinggalkankan Sayangmu seperti ini, menghilang Aku menyayangimu sampai saat ini walau tiada mimpi yang bisa kau ingat walau tiada jejak yang melekat di hatimu yang penat Mentari sadarkanku Kau tak pernah sekemilau ini Nyatanya kau tak pernah bisa mengerti Tiada pernah kurangkai bingkai cinta setulus ini Engkau datang untukku Sesaat seperti mimpi malam itu Sayang sekali, aku terlambat menyadari Christ

Matahari Surabaya

maka pilihlah rumahku sebagai bukit bukit senyap yang akan kau rayapi dengan belah belah dadamu mimpi mungilku setengah berteriak dan sejuta sayatan tak lebih, warna warni seratus hujan dengan adegan percintaan yang meniupkan asap asap birahi pada kesempatan semi hujan maka sebutlah aku, serangkai capung yang mati terkapar pada tanah basah juga sedekap pada kesepian sebab tuhanlah tubuhmu dan untaian dzikir yang berpendar tak lebih dari miniatur kekosongan di mana kesepian bukit akan berbulan, mendiami sekelebat abad yang meruncing liar memancing manusia manusia yang berjalan tegang tanpa kepala Unesa, september 2007

saat sekarat

malam ini aku akan kembali pada diri kepada sendiri lalu, selain kau apalagi yang harus kutunggu bukankah kita membawa mati di pundak sendiri di jalan setapak di belukar semak hujan turun membasahi tubuh tunjukkan aku sebuah tempat di mana aku bisa berbaring tenang di sudut belantara menjadi bayang sekuntum kembang Januari 2008

jam dua malam

cukup lama kita tak berjumpa aku patut bercuriga, bukan? kepadamu kepada waktu yang membuatku melangkah ragu karena perjalanan yang kulalui adalah malam amat tipis beda antara terjaga dan terpejam aku tak sedang mengutukmu aku hanya mengambil jarak agar tak tersesat dari perkiraan tentangmu sebuah rangkaian kekeliruan yang tak sepenuhnya kupahami jika kelak kita bersama lagi pada jam dua malam padakulah kau tak perlu berdusta tentang segala yang tidak kita mengerti sebab hening telah merelakan dirinya untuk dimaknai angin yang berhembus perlahan cukup lama kita tak berjumpa kau pun boleh berprasangka kepadaku yang tak pernah terpejam saat jam dua malam Januari 2008 sajak Fitri Yani

sejenak di dermaga

ketika senja sekawanan camar terbang dari dermaga tempat bagi segala yang berlayar berjumpa di antara mereka ada seekor camar yang matanya bercahaya ”kelak kan kukirimkan gelisah tubuh kelana ini” ujar camar yang matanya bercahaya pada debur ombak bulir-bulir hujan tiba-tiba berjatuhan dari mata camar yang bercahaya saat hendak meninggalkan dermaga sesungguhnya tak ada yang sepenuhnya singgah di kejauhan sekawanan camar menjadi noktah hitam Januari 2008 sajak Fitri Yani

di sebuah pemakaman

akhirnya kau pun datang menjumpaiku membawa seikat bunga aneka warna bukankah itu adalah bunga yang dulu kutanam di matamu? mata abu-abu yang di tumbuhi sebatang bambu aku belum sempat memetik dan menempatkannya di vas terbaru seperti yang kita sepakati dulu saat rindu membatu dalam waktu “bunga itu amat mengganggu” keluhmu ketika itu nampaknya sebatang bambu telah membuatmu jadi peragu maka kubiarkan saja bunga itu layu sebab kerling matamu umpama sembilu menyayat tepat di jantungku kini tubuhku sehijau daun bambu bunga aneka warna vas terbaru: yang bertuliskan namaku dan tanggal terakhir kita bertemu kau tanam di tubuhku “beri aku jimat sebagai laknat pertamamu” pintamu sambil mengingat-ingat dosa besar di pangkal sesal sebatang bambu masih tumbuh di matamu aku begitu cemburu september 2007

Kokok Sepasang Ayam

I/ Dengarkan suara kami; suara pemakan biji-bijian dari ladang petani mahluk bersayap yang tak bisa terbang tinggi suami-istri yang menggemakan mantra pagi bersama langit dan matahari dengarkan suara kami hai mahluk berkaki dua, yang gemar berganti rupa ;musang berbulu domba elang bermata manusia jangan terkam kami dengan cakar-cakar api jangan santap kami dengan lidah-lidah benci biarkan kami menggemakan mantra pagi sahut-menyahut dengan sesama pemilik taji mengatakan mimpi kepada para petani seperti kutu-kutu di ketiak kami; sekutu bagi ulat-ulat di mata kami… Bangunkan kami, mahluk yang lebih dulu melihat matahari di geliat pagi, di ambang mimpi para petani kami akan menerkammu; suami-istri penggema mantra pagi merobek-robek dada dan kepalamu hingga kamu, kutu-kutu di ketiakmu, dan ulat-ulat di matamu tak akan sempat terkejut dan mengedipkan mata II/ di tengah ladang petani ada tetes-tetes darah melayang di udara melewati berkas cahaya matahari membiaskan warna merah cemerlang la...

Bias

Bias, Adakah ini kenyataan, atau semata bayang diri di tengah kolam yang menggeliat saat sebutir batu jatuh, pluungggg.... muncul gelombang yang tak pernah hilang. Bias, adakah ini kenyataan, saat cercah sinar pantulkan berkas warna, yang bukan milikku, namun sering aku agungkan, kita agungkan keindahannya... Bias, adakah ini kenyataan? saat gelombang dari gerak bibir, gerak hati menyentuh ruang gendang... dan engkau tertawa, sementara gelombang itu terus pergi... dan tak hendak kembali lagi. Bias, adakah ini kenyataan saat darah mengalir deras, dari dan kembali ke bilik, ke serambi yang sama namun seolah telah melewati waktu dari ujung ke ujung.... Bias, adakah ini kenyataan... saat aku mengenal, sesuatu yang tak kukenal, serupa diriku...serupa jantungku yang terus berdegup tanpa dapat kukendalikan sementara hidup seolah kugenggam Bias, adakah ini kenyataan saat kupu-kupu bertanya, dari manakah datangnya diriku, dan kemana akan perginya aku? Bias, adakah akan semakin membias?

Manusia Baru

Dengan korek api, aku menyulut lilin. Dengan lilin kunyalakan obor Dengan obor, kubakar unggun. Dengan unggun, kupanggang matahari Dengan matahari, aku menghanguskan diri Hingga rambut, kulit, dan daging menjadi abu. Dengan tulang-belulang akhirnya..aku pulang. Istriku sayang menyambutku di pintu gerbang Memelukku yang datang berupa tulang. Bersimpuh dengan cinta Diciumnya tempurung lututku, Dicucinya tulang kaki dengan air mata. Dikeratnya daging dari dagingnya, dan dilekatkannya pada tulangku-tulangku. Hingga aku jadi manusia baru

CINTA DAN RANGGA

kasih aku ihklas jadi cinta bagi Rangga namun saat ini aku bukanlah seniman sejati yang mampu berekspresi tanpa ragu ragu yang seperti kau takutkan ingin ku selimuti rangkaian jalanmu dan kusenyapkan smua bisikan yang membuat kita tak ikhlas... kasih..detik..bisa mengubahku menjadi Cinta bersabarlah seperti pohon yang terus tumbuh mimpi yang kau tangisi adalah harapan orang bukan doa aku dan kamu biar saja mereka berkutat sendiri kita sirami saja bunga ini sampai rindu ku yakin ada saksi dan bukti dari setiap tetes air yang kau peras dari sekujur nafsumu

Yang Menjauh Perlahan

Yang Menjauh Perlahan rumput-rumput menghijau karena hujan gadis-gadis kecil berlarian di pekarangan di depan pintu, perempuan menggigil kuyu mendengar renyah percakapan di ruang tamu di antara keinginan untuk pulang, yang berulang-ulang, ia menjauh perlahan: meninggalkan sesuatu yang amat ia rindukan. Tanjungkarang, 07 Desember 2009

Puisi-Puisi Hafney Maulana

ADA KERANDA ada keranda di depan rumah tergesa-gesa membawa tanah miliknya ada keranda menitip doa lewat bunga-bunga setelah hujan menyapa ada keranda meminang senja yang menangis di sudut kota ada keranda di sajak-sajak duka merendam amarah di pecahan kaca -------------- HURUF-HURUF YANG KAU TULIS huruf-huruf yang kau tulis di buku catatan berlompatan membentuk pawai zikir yang panjang berkerudung putri memancarkan kilau-Nya mahkota dalam bara api antara jim dan waw meniti tahmid hingga puncak tursina tegak bagai alif menjangkau tahyat bulan di jilbabmu berkilau abadi lalu kita berlari di padang globalisasi imaji --------------

Pantomim

PANTOMIM pada sebuah panggung: adegan sunyi pada matamu yang dalam pun gelap fragmen jadi lengkap. pada layar hitam ritme cuma lewat tapi terdengar pula langkah jenuh dalam tempurung ini kita pernah jauh. 2009

Ayat-ayat gelap: gerbang dunia liberal

selamat datang di gerbang dunia baru tempat yang tak ubahnya luka menganga jauh ke dalam dosa disini, anakanak dicekoki filmfilm porno; dengan segala jalan menyimpan terbuka disini, kebebasan menyerapah diberi; nurani yang menyurut tanpa teringgal berkas rasa malu disini, masa depan anakanak adalah sekuntum bunga; dilecehkan dan dicabuti kelopak dan daunnya kita makin diserbu segenap harapan menuju keurbanan yang siasia senantiasa menjemput bara mendarat di punggungpunggung sendiri

menjelang ulang tahunku

lihat kasih... angin menerpa tubuhku sadarkah engkau sentuhanya kau memang tak peduli ap yang menyentuhku lihat sayang.. kakiku pegal aku menungumu di pancuran tapi kau datang ke pemandian umum disana jelas tidak ada aku kau bisu kau tuli ingin aku menamparmu dengan tanah agar bebekas ditubuhmu tapi kau selalu mandi..mandi dan mandi lagi alu lelah mengotori niatmu tapi kau menanyakan keikhlasanku... takkan ku biarkan kao mengalir seperti sungai kantor, garut 06-10-2008

tapi kasih

hari ini di kantorku AC tak henti menetes atap pun tak henti menertawakan aku yang dikelikitik waktu melamunkan setiap perjanjian yang telah kita buat hijau kuning menyelaraskan bahasa kalbu dalam gelembung yang bisa pecah kapan saja tapi kasih.. aku memang bisa melihat keluar gelembung banyak bukan dirimu menghatui janji semuanya racun yg tak mempan bagi tubuhku tapi kasih.. aku panas pada setiap doa yang mereka ucap sima aing sima maung...bla...bla... rajai hariku dengan pertanyaan kapan kau akan kawin? mana calon suamimu? tapi kasih.. aku tak ingin peduli dengan usaha mereka kenapa kita harus mengikuti aturan semesta? tunggulah aku dalam kepercayaan yang kau dekap

”MATI”

Keranda telah bersijingkat Menapaki melati perlahan menuju bumi ’Jangan kau angkat aku, dul’ Katamu hanya didengar angin sunyi Lafal-lafal suci tuhan terus mengalir ”Aku belum mau pergi” Apalagi wewangi menjadi dandananmu Engkau harus menghadap Nya Pekalongan, 26 Oktober 2007

“INSYAF”

Kulihat, jemarinya mengacungkan satu jari, jari telunjuk. Manakala dia bangun dan duduk dari sujudnya, lantas bacaan takhiyyat melantun. Kulihat, kepalanya yang menggeleng ke kanan dan ke kiri, seraya mengucapkan salam pada seluruh mahluk yang ada di sisi kanan dan sisi kirinya. Ya, kulihat jari jemari otak, dan hatinya saling mengacung, menunjuk pada apa yang hendak digapai dan bahkan seperti di pertuhankan. Ya, kulihat kaki dan tangannya saling sikut dan mendepakkan ke arah sesamanya di dunianya ketika mereka saling mendekat untuk menggapai tuhan-tuhan yang lainnya Kulihat engkau terkejut, ketika kami membicarakamu. Aku hanyalah selembar sajadah yang senantiasa melihatmu bermunajat kepada Nya, sungguh aku tak punya daya, ucap sajadah yang terlihat ketakutan melihat sang tuan dengan sorot mata yang tajam yang ditujukan ke arahnya. Aku hanyalah dasi, sapu tangan, pena, handuk pengusap keringat, dan lain-lain alatmu ketika engkau bekerja, sungguh aku tak punya daya, sahut dasi, sapu tan...

Suara-Suara Sebelum Terjaga

siapa yang tiba-tiba lesap ke tubuhku beberapa saat sebelum fajar tiba siapa yang begitu pelan membelai jantungku beberapa saat sebelum aku terjaga “dia, yang selalu mendengar debar para bunga” siapa yang mengajakku berjalan menyusuri taman yang nampak ada sekaligus tak ada siapa yang menyebut namaku berulangkali, hingga aku seperti tenggelam di cakrawala siapa yang telah membawaku pada hidup yang penuh percikan mimpi. “dia, yang paham pada nestapa yang terkurung di sela-sela air mata” Tanjungkarang, 08 Desember 2009

PUISI-PUISI Syam S Tamoe

PUISI SYAM S. TAMOE 1999 SUMENEP, MADURA Kau, dia dan mereka sejuk keabadian melempar pusara sejarah purba kau, dia dan mereka berselimut di muara mimpi debu-debu mulai memutih di tubuh malam kebiadaban wajah yang mulai dekat dengan salera menyisakan sebait senyum keserakahan dan menghitung waktu dengan tubuh telanjang kau, dia dan mereka bertutur sapa dalam riak gelombang membiarkan selaksa busa lautan tumbuh jadi malaikat, ulama dan kyai lalu berdiskusi tentang kesucian tentang kesabaran dan kebenaran padahal kau, dia dan mereka tidak mengerti arti kemanusiaan di atas rerumbutan hijau tanpa warna angka perselisihan kematian jadi tawa perdebatan hukum berubah barang eceran pastur, pemerintah dan penguasa impoten termasuk kau, dia dan merek yang pura-pura angkuh di bawah ketiaknya suara laknat apa lagi yang belum tersaji meliaran rupiah hidangan pagi ayat tuhan dijual seharga gorengan hukum agama hiasan tanpa rumah perawan cantik dan molek taat setiap saat perdebatan hanya agar dipanda...

KUDA - HELA CAHAYA

KUDA - HELA CAHAYA Kita boleh berdusta meninggalkan hitamnya isi perut bumi, tetapi hari-hari tetap benderang, menuai setiap setiap tahun, angkasa kadang-kadang biru. Maka ingatlah.Perhatikan. Perjuangan kita untuk memunculkan setelah beribu-ribu tahun, maafkan aku, untuk memecah dengan mimpi buruk. Pasangan sepadan bagi kuda cahaya? Lupakan itu. Saat aku tak suci kerjaku akan lebih bodoh dari menyalakan mesin penebahan gandum. Tetapi itu bukan apa-apa; harga diri. Kuhela kuat-kuat dari beban yang telah kutarik seperti kuda Clydesdale* melewati seratus generasi terakhir. Tetapi bagaimana dengan usia? batas malam. Aku me...

SUKMA KENCANA

SUKMA KENCANA Untuk Erwin sejak sekian lama kunantikan pertemuan kita, hingga kembali kita arungi dunia, kau seperti malaikat, kawan sejati, yang menyisihkan sebagian rizki un- tuk menolongku menyambung hidup, menuntunku ke jalan penghidupan, ke tempat berteduh. dengan rendah hati kaupun tak pernah jemu menderma, mewarnai episode demi episode tempat kita berperan… dari putih sampai merekah pelangi. bila kulambu...

PUISI-PUISI MOH. GHUFRON CHOLID

SURAT CINTA TUHAN YANG TERSELIP DI PRIOK Ada bocah kehilangan mimpinya Ada bunda kehilangan airmatanya Namun ada yang harus ada Cinta untuk bersama Memeluk luka tanpa mencerca Demikian surat cinta Tuhan yang terselip di priok Al-Amien, 16 April 2010 DOA Tuhan Ku mau nusantara berbagi cinta Agar luka priok tak lagi menganga Al-Amien, 06 April 2010 Biodata Penulis Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986, pembina Sanggar Sastra Al-Amien, dua puisi ini saya kirim sebagai bahan renungan bersama dari anak pesantren. Semoga bermanfaat.

Di Restoran

suami-istri duduk di satu meja, mau memesan makanan orang-orang bergumam di beberapa meja yang berbeda sang istri menunduk saja, ketika pelayan bertanya; mau memesan apa? apa di rumah anda berdua, dapur sudah tak ada pemain biola menghampiri meja mereka sang suami tersenyum, sambil berkata; mainkan love me tender* untuk kami berdua lalu di tatapnya mata sang istri, dilihatnya wanita yang terganggu kesunyiannya; maafkan saya, dua puluh tahun menikahi anda selalu memesan kenangan di satu meja orang-orang tertawa di beberapa meja yang berbeda suami juga tertawa menikmati suara biola dikhayalkannya hangat secangkir kopi sang istri pagi hari sang istri gundah-gulana, saat pelayan hendak pergi mohon menunggu dengan sabar, nyonya! ujar pelayan pada kekasih lama Desember 2008 *Judul lagu Elvis Presley

Puisi-Puisi: Hafney Maulana

BERJALAN DENGAN BAYANG-BAYANG berjalan dengan bayang-bayang menyusuri lorong demi lorong nadi kian dekat menyimpan beribu impian tumbuh menangkap cinta yang bertaburan memantulkan tajamnya doa jariku mengapung di langit meski belum kupahami; rumi, attar dan iqbal di sinilah mimpi orang-orang lusuh menempuh kecemasan sendiri di mana kebebasan menggeliat ketika pisau mentertawakan air mata tapi hari selalu meraba-raba dalam kesejukan rindu bagai ibu dengan jemari dewi yang ranum menyimpan banyangan firdaus hafney, bisikku siapapun mendengarkannya, mengapa harus bungkam tuhan telah kirimkan mawar-Nya di tangan ibrahim siapakah yang menggerakkan hati? begitulah hari-hari larut malam lindap dan sunyi ku ukir tubuhku pada denting daun dan suara jangkrik yang bernyanyi

SAJAK-SAJAK ANIES SEPTIVIRAWAN

SYAHDAN Syahdan, lukapun beringsut pergi menyisakan sebongkah cemas di beranda hati Blitar, 2006 MONOLOG Dis udut sepi kamar roh sunyi nasib mencekam mendera tapa hatiku yang sangsi KUATRIN HITAM tuba sempurna di dalam tubuhku menulis isyarat kematian kendati namaku tak sudi terseret ke dalam obituari KEMARIN Kemarin di album kutemukan wajahmu yang masih lugu dik... IN MEMORIAM adalah pohon tua itu masa lalu kita akar-akarnya kuat sungguh menghisap darah kita betapa memotongnya? Banyuwangi, 2000

Lintasan Cahaya

mengapa lintasan cahaya begitu sulit ditatap mengapa peta kota seperti tak memiliki tanda mengapa tak pernah usai keramaian di pinggir pertokoan mengapa ada kau: lintasan cahaya sebuah kota nampak sekilas terlihat di pinggir sungai ada pula sebuah pertokoan yang sering mengelak dari keramaian aku cuma ingin memberimu pelukan di depan pintu aku cuma ingin kau hembuskan nafasmu yang pernah kukenal dulu, di bahuku. mengapa kau berpakaian laiknya pengantin sementara kau berjalan di tengah kota, menatap pintu pertokoan sambil memastikan setiap alamat yang tak pula lengkap lihatlah aku, sedang menyimpan hampa dalam tebal baju hangat menunggu malam tiba di perbatasan yang penuh umpat juga hujat. aku ingin memberimu pelukan di depan pintu aku ingin kau hembuskan nafasmu di bahuku seperti dulu. kau, adalah rasa asing dalam lintasan cahaya yang sulit kusimpan dalam lingkar mata. Tanjungkarang, Desember 2009

MOONLIGHT SONATA

MOONLIGHT SONATA :selamat datang ke dunia, Syifa Oleh : Dea Anugrah “malam ini bulan sungguh indah”, desah willow tua pada salju- salju buta yang setia menemani dan menghangatkan lengan-lengan tuanya dengan kasih sepenuh duka Tu(h)an sementara malam masih sibuk bercanda dengan bulan o malam o rumah tua di ujung tebing adakah kau kesepian seandainya bulan kubawa pulang untuk sekadar hangatkan salju- saljuku yang kini membeku kedinginan. o kecapi yang kupahat dari sebatang lengan willow tua menyanyilah kau untuk malam dan rumah tua juga bulan yang can ti k h an gat kan lah sal ju k u y a n g ki ni be ku! Jogja, Juni 2009

puisi madhure

SAKERA dhemmi settong senyoman pello ben dere dhadi tarowan dhemmi settong kamardekaan abuh dhedi pelean ARTE BHINE bhine monggu reng madhure padhe ben nyabe bile bedhe senyalae monta' bhisa epasarmo are' seacaca

Sajak-sajak Meramal Indonesia

INDONESIA aku k e h i l a n g a n jejakmu Taman Terkoyak, 2008 M BBM NAIK bbm naik rumah mimpi rakyat ambruk semua saling tubruk semua saling tusuk Taman Terkoyak, 2008 M PERANG BELUM SELESAI ; Almarhumah Laylaturrahmah Perang belum selesai Kenapa kau pilih ilalang Bukankah kita pejuang Walau tak dikenang Taman Terkoyak, 2007 M YANG KU MAU HANYA SATU setelah kumengabu jangan jadikan indonesia debu Taman Terkoyak, 2008 M MENGENANG SAMPIT mengenang sampitmu yang amis angin selalu datang berbagi tangis aku mengemis biar kau tak amis taman Terkoyak, 2008 M MERAMAL INDONESIA aku gemetar lantaran takut nusantara berpencar mencari sinar sepanjang tanah bergelar Taman Terkoyak, 2008 M KETIKA RERANTING SEJARAH PATAH reranting sejarah patah daun-daun gelisah tanah hilang teduh laut hilang ombak angin hilang desir semua tersingkir hingga terusir Taman Terkoyak, 2008 M SETELAH JAWA-MADURA SATU NAFAS gedung-gedung menggussur gubuk-gubuk semua sibuk semua mabuk madura hilang bentuk Taman Terkoyak, ...

ANTOLOGI PUISI PREMPUAN

PEREMPUAN kaulah cermin berkaca seluruh jaman dari rahimmu lahir anugrah kehidupan dari katamu tercipta doa dan kutukan Madura, 2007 M PEREMPUAN KARIR banyak yang naksir di kanvas sejarah nama terus terukir Madura, 2007 M PEREMPUAN KOTA masuk kamar kunci pintu lihatlah dari jendelamu dunia sangat buas memangsamu kalau sampai tertangkap kau 'kan dicetak menjadi merk-merk minuman iklan-iklan dan koran-koran pasar, kaantor dan hotel makin pandai buatmu terkenal namun hanya sebentar bila purnama di wajahmu redup daun usiamu menguning kau pun mengasing pintu-pintu yang kau singgahi dulu tak lagi ramah menyambutmu hanya pintu taubatmu masih setia menunggu Madura, 2007 M PEREMPUAN MALAM siang berbaju petang parfummu memanggil kumbang-kumbang kamar demi kamar kau rayu rumah demi rumah kau cumbu hotel demi hotel kau madu kau lupa waktu lupa debu Madura, 2008 M PEREMPUAN SHALEHAH kaulah rembulan dambaan adam saat kelam menikahimu serupa menggenggam surga aku semakin tergoda Madura, 2008 M PE...

Ada Saatnya

Ada saatnya untuk memahami benak memahami pertarungan panjang tanpa pemenang baiknya kita memang cuma berdiri disebuah garis diluar selalu benak punya kendali Saatnya pertarungan usai akan ada yang pergi diam-diam. Ada saatnya menjadi bijak dengan tidak bertanya kenapa gerimis hari ini turun dengan begitu ritmis? Karena kesendirian tidak harus selalu dipertanyakan toh? Saat yang tepat untuk berpisah selalu ada. Selalu ada. Seperti dalam sebuah perjalanan kereta selalu ada saatnya berhenti pada tujuan. Karena jikapun tidak, selalu ada stasiun paling akhir yang menggagalkan tujuan mu kemana saja.

LAGU MUSIM SEMI

"Namaku cinta.Namamu?" "Kasih." "Hey...akankah dunia damai setelah tetes embun membasahi tunas birahi keakraban kita, yang per- lahan mulai bersenyawa?' Garut, 26 Agustus 2007 (Wahyu Barata)

di atap gedung

;meri herlina di atap gedung bertingkat aku belajar menawar gundah kepadamu; angin yang alpa membawa peta lantaran di kursi tunggu itu ada warna merah kesumba dari cekung mata gadis kecil yang memegang buah apel ia seperti minta ditemani minta dinyalakan lampu kepadaku; sosok bayang yang menjelma patung di atap gedung ulat yang meliuk di daging buah mau juga melihat rembulan jika kuasa, akan kukatakan: itu lampu! kepadamu; angin yang mengunjungiku tolong pungut bitir-butir puisi dari mata gadis kecil itu karena hampir tiap malam ada saja ulat yang mati di jantungku Tanjungkarang, Mei 2008

Inikah Sepi

Inikah sepi yang mengirimku ke tempat asing? di mana semua meninggalkanku seperti batu Inikah rindu yang menyergap malam dengan buas? seolah aku adalah sepiring daging segar untuk santapan Inikah sedih yang menguar sebagai ombak? mengikis sisa kenangan paling indah. seperti pelangi dengan satu warna ungu beberapa abu-abu dan setengahnya adalah kesamaran ketika aku membuka mata dan semua seperti terulang kembali Lubukpakam, 2008

Seorang Penyair Bertanya Pada Bulan

Seorang penyair menulis sajak cinta pada malam yang berdering. Secara beriringan, ia berjalan setelah subuh pertama berakhir pada sebuah batu. Ia menamakan dirinya sebagai pengendara malam. Dan dingin menyerbunya seperti makanan lezat. Kemudian ia hanya bisa bersandiwara lewat pungguk yang mematung. Seakan ia adalah kata terakhir pada kiamat. Juga mawar dan rumput yang mati seolah tanah adalah hidup terakir bagi malam ini. Seorang penyair bertanya pada bulan seolah ia mungkin, benar-benar lelaki yang menguras aus seperti subuh kedua yang berakhir pada sebuah tepi. 2008