PUISI SYAM S. TAMOE 1999 SUMENEP, MADURA
Kau, dia dan mereka
sejuk keabadian
melempar pusara sejarah purba
kau, dia dan mereka
berselimut di muara mimpi
debu-debu mulai memutih
di tubuh malam kebiadaban
wajah yang mulai dekat dengan salera
menyisakan sebait senyum keserakahan
dan menghitung waktu dengan tubuh telanjang
kau, dia dan mereka
bertutur sapa dalam riak gelombang
membiarkan selaksa busa lautan
tumbuh jadi malaikat, ulama dan kyai
lalu berdiskusi tentang kesucian
tentang kesabaran dan kebenaran
padahal kau, dia dan mereka
tidak mengerti arti kemanusiaan
di atas rerumbutan hijau tanpa warna
angka perselisihan kematian jadi tawa
perdebatan hukum berubah barang eceran
pastur, pemerintah dan penguasa impoten
termasuk kau, dia dan merek
yang pura-pura angkuh di bawah ketiaknya
suara laknat apa lagi yang belum tersaji
meliaran rupiah hidangan pagi
ayat tuhan dijual seharga gorengan
hukum agama hiasan tanpa rumah
perawan cantik dan molek taat setiap saat
perdebatan hanya agar dipandang intelek
lalu bersila menanti lawan dan di buka 24 jam
perut bumi terasa sakit tercekik
terinjak-injak kaki-kaki tubuh telanjang
kau, dia dan mereka yang menjadi pemuka agama
kepadanya…
innalillahi wainna ilaihi rojiun
LEKAT DENAGN APA
lekat dengan apa
aku pusta tanpa mesin kata
dan sekarat tujuh benua
lekat dengan apa
aku ditambat badai kejora
kejat, padat dan rapat
kehulu tanpa bintang
kehilir ditinggal tepi
lekat dengan apa
aku sepi di jemari januari
dan tidur di matahari puisi
aku laut jadi belut
jadi patriot, jadi pasisir
dan jadi apa
lekat dengan apa
karena langit biru terharu
di wajahku yang lugu
lekat dengan apa
karena lubang jadi gelombang
di laut gelisah pantaiku
lekat dengan apa
karena diam jadi batu
di panjang mimpiku
lekat dengan apa
belum apa-apa
aku tekstil kemarin ditenun
aku bukan setawar seperti bunga mawar
lekat dengan apa
jangan tukar pandang dengan awan
dengan sisa nafas yang terpendam
dengan senyum wira pahlawan
dengan rentetan episode panjang
aku coba dengan apa
lekat dengan apa
aku tak mau diinterogasi
aku hanya tubuh pinjaman dari yang tak bertubuh
seperti kelip bintang tanpa ruang
seperti kalender mati tanpa tanggal
belum apa-apa
lekat dengan apa
hidup semakin lelap dalam gelap
gelak tak ada tawa
senyum tak ada pesona
aku tak bisa
dan belum apa-apa
lekat dengan apa
mati!
SAJAK KRITIK DI POJIOK PAGI
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
sepenggal sajak putih di pojok malam
bila rakyat bermata rakyat
kritik rakyat akan merakyat
namun bila rakyat tak merakyat
kritik rakyat akan dirakyatkan
kritik rakyat, rakyat dikritik
mengkritik rakyat, rakyat kritik
siapa lagi kritik mengkritik?
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
mimpi sebuah boneka di almari kosong
paradaban telah biadab
idealisme terapung dosa
nasionalisme diam membatu
demokrasi penjajah sejati
stop, kritik mengkritik
biar massa bodoh berdialektika
negeri ini negeri musibah
negeri ini negeri bencana
negeri ini negeri berdarah
tapi, bukan negeri-negerian
pengagum indonesia telah gugur
bung karno tinggal sejarah
ki hadjar dewantara lelah hidup
mas munir bosan merakyat
cak nurcholis madjid telah tiada
pak pramoedya ananta toer jenuh ber-tuhan
mereka menghilang bukan lantaran sakti
tapi ingin negeri ini tetap berkibar jaya
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
sebait sajak gelisah di trotoar bolong
negeri ini bosan berwacana
wajah rakyat diterjang bencana
dekonstruksi anti reformasi
indonesia mengumbar sejuta janji
kritik mengkritik pun lupa tersaji bukti
kita malu anak bangsa lugu
kita bangga anak indonesia ada
kita bingung anak negeri pintar
tapi, sampai kapan kita mengkhayal
rakyat bukan teman permainan
pemerintah bukan dewa diagungkan
akhiri permainan politik licik
akhiri kritik mengkritik picik
semua ingin Indonesia jaya raya
seperti janji aparatur yang tertutur
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
cuplikan tawa bayi di perut bumi
indonesia bangga punya bung karno
tapi kecewa hanya satu jumlahnya
akhir sebuah sajak kritik di pojok pagi
Kau, dia dan mereka
sejuk keabadian
melempar pusara sejarah purba
kau, dia dan mereka
berselimut di muara mimpi
debu-debu mulai memutih
di tubuh malam kebiadaban
wajah yang mulai dekat dengan salera
menyisakan sebait senyum keserakahan
dan menghitung waktu dengan tubuh telanjang
kau, dia dan mereka
bertutur sapa dalam riak gelombang
membiarkan selaksa busa lautan
tumbuh jadi malaikat, ulama dan kyai
lalu berdiskusi tentang kesucian
tentang kesabaran dan kebenaran
padahal kau, dia dan mereka
tidak mengerti arti kemanusiaan
di atas rerumbutan hijau tanpa warna
angka perselisihan kematian jadi tawa
perdebatan hukum berubah barang eceran
pastur, pemerintah dan penguasa impoten
termasuk kau, dia dan merek
yang pura-pura angkuh di bawah ketiaknya
suara laknat apa lagi yang belum tersaji
meliaran rupiah hidangan pagi
ayat tuhan dijual seharga gorengan
hukum agama hiasan tanpa rumah
perawan cantik dan molek taat setiap saat
perdebatan hanya agar dipandang intelek
lalu bersila menanti lawan dan di buka 24 jam
perut bumi terasa sakit tercekik
terinjak-injak kaki-kaki tubuh telanjang
kau, dia dan mereka yang menjadi pemuka agama
kepadanya…
innalillahi wainna ilaihi rojiun
LEKAT DENAGN APA
lekat dengan apa
aku pusta tanpa mesin kata
dan sekarat tujuh benua
lekat dengan apa
aku ditambat badai kejora
kejat, padat dan rapat
kehulu tanpa bintang
kehilir ditinggal tepi
lekat dengan apa
aku sepi di jemari januari
dan tidur di matahari puisi
aku laut jadi belut
jadi patriot, jadi pasisir
dan jadi apa
lekat dengan apa
karena langit biru terharu
di wajahku yang lugu
lekat dengan apa
karena lubang jadi gelombang
di laut gelisah pantaiku
lekat dengan apa
karena diam jadi batu
di panjang mimpiku
lekat dengan apa
belum apa-apa
aku tekstil kemarin ditenun
aku bukan setawar seperti bunga mawar
lekat dengan apa
jangan tukar pandang dengan awan
dengan sisa nafas yang terpendam
dengan senyum wira pahlawan
dengan rentetan episode panjang
aku coba dengan apa
lekat dengan apa
aku tak mau diinterogasi
aku hanya tubuh pinjaman dari yang tak bertubuh
seperti kelip bintang tanpa ruang
seperti kalender mati tanpa tanggal
belum apa-apa
lekat dengan apa
hidup semakin lelap dalam gelap
gelak tak ada tawa
senyum tak ada pesona
aku tak bisa
dan belum apa-apa
lekat dengan apa
mati!
SAJAK KRITIK DI POJIOK PAGI
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
sepenggal sajak putih di pojok malam
bila rakyat bermata rakyat
kritik rakyat akan merakyat
namun bila rakyat tak merakyat
kritik rakyat akan dirakyatkan
kritik rakyat, rakyat dikritik
mengkritik rakyat, rakyat kritik
siapa lagi kritik mengkritik?
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
mimpi sebuah boneka di almari kosong
paradaban telah biadab
idealisme terapung dosa
nasionalisme diam membatu
demokrasi penjajah sejati
stop, kritik mengkritik
biar massa bodoh berdialektika
negeri ini negeri musibah
negeri ini negeri bencana
negeri ini negeri berdarah
tapi, bukan negeri-negerian
pengagum indonesia telah gugur
bung karno tinggal sejarah
ki hadjar dewantara lelah hidup
mas munir bosan merakyat
cak nurcholis madjid telah tiada
pak pramoedya ananta toer jenuh ber-tuhan
mereka menghilang bukan lantaran sakti
tapi ingin negeri ini tetap berkibar jaya
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
sebait sajak gelisah di trotoar bolong
negeri ini bosan berwacana
wajah rakyat diterjang bencana
dekonstruksi anti reformasi
indonesia mengumbar sejuta janji
kritik mengkritik pun lupa tersaji bukti
kita malu anak bangsa lugu
kita bangga anak indonesia ada
kita bingung anak negeri pintar
tapi, sampai kapan kita mengkhayal
rakyat bukan teman permainan
pemerintah bukan dewa diagungkan
akhiri permainan politik licik
akhiri kritik mengkritik picik
semua ingin Indonesia jaya raya
seperti janji aparatur yang tertutur
“aku tidak paham jalan pikiran kalian”
cuplikan tawa bayi di perut bumi
indonesia bangga punya bung karno
tapi kecewa hanya satu jumlahnya
akhir sebuah sajak kritik di pojok pagi
Komentar
Posting Komentar