Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2006

Rapalan Hati ( V )

Dan lautan… ketika kau berdiri, menyentuh bibir rahim kehidupan, dimanakah kenanganmu tersimpan untuknya? mengayuh semarak romansa dan impian, pergumulanmu nyata, bangkitkan kemegahan hatimu, ya! kau kenyam duri kisahmu, tiada kau berpaling merajam nona, kuterima guratan kisahmu! menyatu di rapalan hatiku… Oktober 2006, Leonowens SP

Rapalan Hati ( IV )

Oh, penantian… menggoda keraguan, berkemas rasa jauh terpisahkan pegunungan dan lautan, kesetiaan ‘kan menguji ketegaran, kuterima kenyataan menahan hujatanku, melentikkan takdir dan melumuri kerinduan, terjawab peluh melukis bahasa hati, tinta-tinta bercucur, senandungkan kertas kehidupan… Oktober 2006, Leonowens SP

Rapalan Hati ( III )

Bagai penaklukkan… digulung samudera empaskan bahasa di karang terjal, bersemak keangkuhan, melangkahkan mimpi keagungan nan fana… namun, kukenyam lembut mimpimu yang kau percikkan di selubung rasaku, bersambut nyata menatap cakrawala cinta, ragu rintihkan waktu menjelang air memantulkan rembulan, kian kuberharap! Oktober 2006, Leonowens SP

Rapalan Hati ( II )

Berpangku alam… jadikan kebajikanmu, mengukir detak waktu, mengarung tegar di nafas curam kisahmu, oh… takjubkanku! untuk helai sentuhan sejatimu, tertoreh di lembar awan impian, luruh hasrat kian meronta menggapai wajahmu, tiada terpetik olehku… penantian membisu, indah berpeluk kokoh hatimu Oktober 2006, Leonowens SP

Rapalan Hati ( I )

Angin lembut mengalun… angkuh jelmakan tepian hari dan suaramu erat menggenggam angin, kurasakan… berirama mengusik penantian, dibawah sinar bintang, tiada jemu mengukir cahayanya bagi keheningan, meregang kurungan malam kokoh merangkul lautan, yang membagi kerinduan untuk keagunganmu nona! merapal pencarianku… Oktober 2006, Leonowens SP

Baghdad in Caulfield

In the middle of this sky bridge   In which I could see clearly some palm trees around   If you were here , you might be agree     The city that bright with thousand of lights in Eid Mubarak   Now is in silent with hundred of shocks , mourning , weep and uncertainty   This is a part of Melbourne , Caulfield in the last days of Ramadhan     Really , I could see and feel Baghdad .   The story of this 1001 night’s city remains   Remain in sorrow to me   If only you were here   In ont-family: Verdana">this sky bridge with me  

Temu Sastrawati Nasional

Dalam rangka mempertemukan sastrawati se-Indonesia, Direktorat Kesenian akan melaksanakan "TEMU SASTRAWATI NASIONAL" yang akan diselenggarakan pada hari: Rabu, 14 November 2006, bertempat di Hotel Gren Alia Jl. Cikini Raya, Jak-Pus. Pembicara : Titi Said, Melani Budianta, Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu (tentative). Untuk informasi selengkapnya bisa menghubungi, sekretariat pantitia : 021-5727046 5725534, ext. 5902, Joko Sulis : 08129681141(jok_list@telkom. net), Sri Kuwati : 93471753 (sri_kuwati@yahoo. co.id)

Anak-Anak Siang

Dari ususmu matahari bernyanyi membakar lapar Aroma garam dan pasir melumuri udara memanggap kakap dan kerapu Pantai terbakar asap hitam karang dan langit berawan menghirupkan pekat kenangan amis Udara perih dan air payau gemuruh darah membakar rindu 081703634xxx

Gerhana

DI bawah gerhana aku dengar tafakur daundaun  bersemi  di ranting malam    Ahhh desau zikir meluruhkan batubatu tubuhku. Tubuh yang retak seperti kemarau dan di hamparan reruntuhan bulan menyelam dalam darahku bernyanyi dan mengutuk luka dan pedih, sunyi dan kelam yang kecut di lambung penantian 081703634xxx

Sepi 40:

Pada kesepian sungai tumbuh dalam jantungku memandikan letih dan kelam aku bergegas merenangi gelap merontokkan jamjam buas dan berdarah nyanyi bumi membasahi tangis ingkar pohonpohon   081703634xxx

Radio Gelap

Dari sebuah gelombang sian menahan lapar khotbah jumat di sebuah masjid pegawai pemerintah azan menyeru 1000 matahari itikaf dalam jantungku Senandung pedih pohon palma meniupkan pedih angin sebuah mimbar di depan puluhan jamaah dari pegawai pemerintah daerah mendoa pemimpinnya yang makan belatung saudara sendiri Gedunggedung kelabu langit muram dalam gelombang FM radio partikelir membendung berita hilir 081703634xxx

Kota Yang Karam

sungai itu melebar membelah kota. Kota yang mati dibunuh penduduknya dalam persitegangan yang gaduh di gedung rakyat. Perempuan dan anakanak mengemas barangbarang pecahbelah Lakilaki mengusung rumah dan tanah pertanian yang tandus. yang setandus hati para pembunuh yang berdalih suruhan kitab suci sungai itu berkelok ke keramaian pasar menghanyutkan belati dan tokotoko perabot dapur. Perabot yang melukai perut sungai buaya putih dan mitos yang berenang  di tengah siang hari. Mitos yang dijubahi darah celurit dan tulangtulang Kota itu tenggelam menyelam  ke sungai sampang yang menyeret warna plastik pasir dan busukan bangkai dan sampah organik Dari siang yang bolong itu masih terbau nyanyi kebaktian dari gereja pantekosta 081703634xxx

Semalam

(dari Timur Budi Raja) Selamam aku menyaksimu. menemukan dirimu tengah melukis potretpotret diri di halaman yang sedih pada bulan pasir yang menunggu gairah rindu dan bulan yang kau ikat dengan daundaun kemarau (dari Hidayat Raharja) Ahh bulanbulan merah menggores lambung malam hujan membasahi tap rindu dan gunung bertumbuhan dalam gelapku (dari Timur Budi Raja) Malammalam september yang nakal meredakan lintasan kenangan Semalam akumenyaksimu menyusun raut dari bulanbulan api menyapa pagi 081703634xxx

Kepala itu Melayanglayang

Kepala itu melayanglayang di ujung tombak tanpa tubuh terbang ke lobang langit langit yang sama warna basa yang beda. demikian hingga bau gemetar dari gelap hutan borneo, hutan yang disangga api dan bara duga anakanak menderas airmata ibuibu mendulang dari pohon leluhur kehilangan silsilah dao sejarah ke pantai Ketapang berlabuh melempar sauh kemanusiaan yang kian rapuh   081703634xxx

Datang

Di antara rindu yang menggeliat dari waktu ke waktu ke hatiku Hati yang lama menelan omben dan saluran dari sumber Dengan bau bunga jagung dan kembang nangka yang bersemi ke sepanjang pematang Tawa teman sekampung rujak cingur pedas dan hangat Dan kenang pedih tak teringat Aku daki tebing matamu dan jurang di dadamu tempat kita dulu main kartu dan dadu Kelabang katak dan belalang gambar taruhan kita sesaat setelah usai takbiran dan menyelam ke mata air yang keruh rindu sampai matahari menyelam ke perut awan Yang demikian terus datang dan bersalam dari liat batubatu dan keras tanah tak terbajak 081703634xxx

Tahajud Rindu

(dari Alfaizi) Rinduku padamu melewati batas tahajjudku hingga tahiyat subuh luruh membayangimu (untuk Alfaizi) Dan di bayang pagi bayang yang mengepungmu aku lihat lelaki sepertimu menyeret luka dan busuk doa yang berguguran dari keningmu Dan sujud siang yang merintih kembali beranjak tinggalkan bayangbayang lelaki yang didadanya tersarung tajam pisau kata Pisau yang membuatnya alpa dan juga mematrinya jadi doa 081703634xxx

Waktu Yang Buas Itu

Waktu yang buas itu menerkam jamjam rindu yang biru dan buas rindu selalu melolong di malammalam ganjil ketika kitab yang kau tulis gelisah dan perjalanan percakapan yang berangkat ke kitaran bulan yang jugaterbakar oleh malammalam yang menggigil Ada nyanyian anjing mengiris bulan merah semangka hati merekah. Di geladak betinanya melengking dan menungging malam. Anakanak melempar batu ke sungai yang mampat oleh janji dan kelalaian Dan di batu sungai tempat kau dan aku membasuh masa kanak lumut-lumut menghitam melapisi waktu yang terjerembab dalam ruang tunggu yang dicat dengan bara 081703634xxx

Purnama

Purnama menenggelamkan separuh tubuhnya Tetap menyala dalam sorot terang namun teduh Semat nama yang sempat terselip tiba-tiba muncul Menancapkan gores rindu tanpa sempat mengaduh 081335261982

Diskusi : Komunitas Puisi Maya, Bisa Apa?

Sabtu, 14 Oktober 2006 15.00 – 22.00 WIB KeDAI Tempo & Teater Utan Kayu Komunitas Utan Kayu, Jl. Utan Kayu 68H, Jakarta Pusat Komunitas sastra yang menggunakan internet sebagai tempat bersilaturahmi dan memajang karya telah banyak muncul di tahun-tahun belakangan. Muncul pula beragam pendapat tentangnya: mulai dari yang melihat gejala itu sebagai gerak terbukanya sebuah akses luas terhadap khalayak pembaca, sebentuk demokratisasi kesempatan menyiarkan karya, peluang menjelajahi medium baru, hingga yang memandangnya sebagai semacam tong sampah besar. Masing-masing pendapat itu barangkali ada benarnya, ada salahnya. Yang jelas, sejumlah komunitas itu masih terus bergerak dan bekerja. Apa alasan mereka menggunakan medium internet untuk berkarya? Adakah pendirian tertentu yang mereka pegang? Bagaimana mereka melakukan kontrol atas mutu lisan? Apa yang mereka bayangkan tentang masa depan medium itu? Bulan ini TUK akan menggelar sebuah acara yang mempertemukan beberapa komunitas puisi ...

Launching "Tulislah Namaku Dengan Abu" Karya Abdul Mukhid

Bertempat di Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang, Rabu, 11 Oktober 2006Pukul: 12.45 – 14.00 WIB, antologi puisi Abdul Mukhid yang pertama diluncurkan. Antologi yang berjudul "Tulislah Namaku Dengan Abu" adalah kumpulan puisi sepanjang tahun 1998-2003. Acara ini melibatkan Nanang Suryadi (pendiri Fordisastra.com) dan ARS Ilalang (penyair) sebagai pembicara tamu. Jumlah tamu yang hadir memang kebanyakan mahasiswa dan rekan-rekan teater dari kota Malang. lainnya rekan-rekan dari bengkel Imajinasi . Total yang datang sekitar 50 puluhan. Acara di mulai dengan pembacaan puisi oleh Abdul Mukhid selanjutnya diikuti oleh perbincangan mengenai antologi oleh Nanang Suryadi dan ARS Ilalang. Berikut pengantar dari Nanang Suryadi untuk karya Abdul Mukhid. Pergulatan dengan puisi seringkali mendorong penyair mencintai dengan keras kepala. Seringkali penyair tidak dapat melepaskan diri dari puisi, bukan karena ia ingin mendapatkan gelar atau sebutan penyair, namun yang terjadi adal...

Perjalanan Estetik, Spirit Religiusitas dan Sosial*

Kegelisahan hampir dapat dipastikan akan selalu ada dalam perjalanan hidup manusia. Seperti juga aku dan juga anda tentunya. Tetapi di sini jelas berbeda. Dalam hal apa? Tentunya dalam hal penyikapan, penguraian, pemaknaan dan pengaktualisasian dari rentetan kegelisahan yang melingkupi perjalanan diri. Ada pilihan-pilihan yang akan terpampang dalam perjalanan (proses) pencarian untuk ditetapkan sebagai media aktualisasi. Menulis puisi adalah salah satunya. Konsistensi sangat dibutuhkan untuk membawa eksistensi diri muncul kepermukaan. Nah, di sini salah satu fase telah dilewati oleh penulis puisi (penyair) ketika ia telah menerbitkan (mempublikasikan) karya-karyanya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah". Seorang penulis akan diakui eksistensi dirinya sebagai penulis kalau tulisan (karyanya) telah terpublikasikan, bukan dari sebuah keakuan yang s...

Abdul Mukhid

Abdul Mukhid, lahir di Kepanjen Malang 22 februari 1974. Lulus dari pendidikan Bahasa Inggris IKIP Malang tahun 1998. Sewaktu SMA dan mahasiswa sering membacakan puisi-puisinya di radio-radio setempat, maupun dari kampus ke kampus. Saat ini menjadi instruktur bahasa inggris di Yayasan Persahabatan Indonesia Amerika (YPIA), di Malang. Aktif dalam Komunitas Bengkel Imajinasi dan redaktur buletin berkala BACA. Puisinya termuat dalam antologi puisi bersama: Interupsi (SPMM,1994), Luka Waktu (Taman Budaya Jatim, 1998), Pemberontak Yang Gagal (Forum Remaja 2000, 1999), Ning (Sanggar Purbacaraka, 2000). Puisi bahasa inggrisnya masuk dalam antologi Whispering Recollections (International Library of Poetry, 2002). Sedangkan antologi tunggalnya "Tulislah Namaku Dengan Abu" (Babel Publishing, 2006). Setelah Idul Fitri, Abdul Mukhid merencanakan baca puisi keliling antara lain ke Mojokerto dan Madura, namun tidak menutup kemungkinan ke kota lain asalkan tidak bertabrakan dengan jad...

Leap Frog

  Jump ahead 2-3 Steps faster   Never underestimate your mates Fair dinkum   No worries, what you did last night no one knows Just like a leap Frog   Go away, and run away Put yourself into consideration   Never blame yourself             I am here for you mate

Duka Angin

Tadi aku bimbang tanyai kabarmu   Ada juga ingin kabari kamu tentang lalu kita   Bertahanlah sampai air keruh itu jernih   Pilihan sudah tak bisa dikendalikan   Puaskan dulu kesumatmu pada jahatnya waktu   Jangan terbit sebelum lelahmu dibasuh   Jika dulu yang kau sesali   Sama saja kamu hanya menunda duka   Jika ada salah kami padamu   Cairkanlah racun-racun itu saudaraku   Dikota yang dulu panas bagi kita   Disitu kini kau bernafas   Berbaring dan sandarkan lelahmu   Akupun ragu jika kabarku sampai padamu   Aku tak mau melihatmu yang sendu   Apalagi kota itu makin panas   Teruskan cita dan cintamu disana   Sampai kapanpun   Kau terus dan masih saudaraku   Duka angin menderu membawaku kembali jauh darimu!  

Putri Saljuku

Sebelum hari kemarin   Rintik-rintik salju yang selalu ingin kulihat   Muncul rata satu demi satu tanpa terhenti   Jika nanti reda buatkan satu saja karyamu dari salju   Terserah yang mau kau beri sebab aku pejam mata   Salju penuhi hari   Aneh…..aku tak dingin apalagi beku   Hatiku sedang hangat   Akupun siap mendekapmu hari ini   Datang sekali saja padaku putri salju   Hibur terus jangan lelah   Hujani aku selalu dengan beribu saljumu   Bekukan aku yang memanas   Lalu cairkan pada waktu yang tepat   Biar tahu dan semua merasa betapaku rindu kamu putri salju  

Kujemput Masa Lalu Itu

Aku baru menjemput masa lalu.. kini masih seindah dulu. Aku sepi di keramaian, mencari yang seharusnya tak kucari.. Aku masih saja diam, menunggu dan menunggu..tanpa tahu apa yang ditunggu. sementara masih saja kupandangi warna dalam gelap. bisu.. Kukagumi dalam diam, hingga hilang dari pandangan...                                          2005

PUSARAKU

-Setengah jiwaku mati...kemarin aku mengunjungi pusaranya...- Hari ini aku mengunjunginya, pusara itu masih seperti dulu... jiwa bisu tergolek lemah dalam penantian, penantian yang tak pernah datang...Kebisuan menambah sunyi dalam kegelapan. Hanya redup jiwa samar terlihat, jiwa yang tidak pernah padam, seakan tahu belum saatnya padam baginya. Di sebelah pusara itu tergeletak karangan bunga indah, tampaknya ada yang  datang barusan, mengunjungi jiwa yang hampir mati. Ia hanya melirik, menembus kebisuan senja, seakan ingin berkata, tapi tak mengerti apa yang harus dikatakan. Hari telah senja, aku harus pulang, meninggalkan separuh jiwa yang tergeletak , membiarkan ia berpikir, memberi kesempatan, untuk hidup.. Karena sampai kulangkahkan kakiku, tak kutangkap makna senyum beku dalam kebisuan. Aku sudah ditikungan, samar-samar ia mentertawakanku, memanggil, lalu lirih, dan hilang dalam kebingunganku..              ...

Bingung

    Semua mulai berubah… Taring-taring waktu pelan tapi pasti mulai merobek dan mencabik cerita ini… Aku hanya diam,aku bingung… Aku bingung mereka yang berubah atau malah aku yang berubah… Yang pasti aku dibuat bingung, sebingung mereka terhadapku…                                                   Yogyakarta, Mei 2004

Kepada Rumput-Rumput Liar

  Barangkali memang harus begitu, sayang cerita nalang kehidupan yang kadang tak berhenti merajam   Saat nestapa dedaunan yang melantunkan orchestra duka pada hari yang penuh keriangan bagi raja-raja   memang, kemarin setangkai ilalang dipijak mati bangkainya dibuang ke kali menderas arus sungai ke muara waktu bersama jejak-jejak kaki bisu   Lalu hilang di keriangan Terkubur bersama waktu yang lekang   Namun, hidup mesti terus sayang Mencencang. Mencencang dengan akarmu dengan habamu, terus menetas di udara seperti angin yang tak lapuk-lapuk karena usia   Juga bertahan Meski cuaca terus menikam Badai tak reda-reda memburai   Bertukar cerita dan kirimkan kabar pada matahari yang terus mengulum bibir dunia beserta keangkuhannya   Pada tuah Kitab Yang Maha Kasih dan penglihatan- Nya yang tajam membentang pada jajaran perdu dan kabut waktu   Sampai pada lahan yang akan menggemburkan tiap intimu     0ktober 2006

Di Ladang-Ladang Itu

sampai jumpa lagi! di ladang-ladang yang disukai angin badai, tempat gerimis bermain-main dengan dirinya kelak, di situ mungkin saya sedang menunggu namamu. tanah pasti membuatkan rengkah dan musim-musim akan mengantarkan kemarau dan di ladang-ladang itu saya temui bau tubuh yang sedang menyeret sepotong cinta yang dipenuhi persoalan dan sakit burung-burung dari keperihan tiba-tiba melaksa ke seluruh penjuru dan tanah sejak itu mencatat sejarah dari darah pada sepatumu BangkaLan, 2003

Impressia

seseorang itu datang dengan keris terhunus dan menghujamkannya tepat ke jantungku seraya berkata, "aku tahu siapa namamu!" kami berpelukan sebelum membuat dosa. esoknya, kami menikah dengan sangat sederhana. "aku pun tahu siapa namamu, " ucapku. "siapa?" "kawanku!" jawabku riang, sambil memeluk namanya, terkenang awal pertemuan. Bangkalan, 2002

Kau : Perjanjian Dan Keranda

dengan seluruh rindu musim semi dan harapan remaja :aku sapa namamu, isti. di bawah bulan yang hampir purnama, pada awal juni yang manis, para penyair mengecup sepasang kelopak matamu dengan sajak-sajak sederhana tapi, waktu yang bersijingkat, mengerati usia sambil tetap saja setia mengawinkan murung dan keterasingan. album-album  impian tentang senja yang dibakar, beranda-beranda ngungun sia-sia, halaman-halaman tanpa keriangan kanak-kanak dan pohon-pohon keres yang bersedih menanggalkan daun-daunnya, sehabis mengenang musim-musim harapan yang gagal dan ebrdebu itu. isti, kini pun masih kupercakapkan namamu, meski di luar kamarku, hidup penuh perjanjian dan keranda Surabaya-bangkalan, 2001

Sehabis Sore Ini

adakah kau baca lagi dalam kenanganmu? dari yang disisakan sore tadi yang pergi, tentang pohon keres tua helai daunnya yang setia itu tanggal ke tanah atau, tentang hujan yang suka datang dan bercakap sendiri membiarkanmu membuka-buka buku harian dari nama-nama sekian kemurungan, membisikkan suara mengaduh ke telingamu, lantas entah kemana menjauh :meninggalkanmu yang risau sehabis seluruh luruh sampai larut sunyi ini dan detak jam berkata kepadamu :sudah malam, jangan ada yang bicara! Bangkalan-Bali, 2002

Dalam Langgar Saat Itu

        yuli oncor dalam langgar saat itu, kami duduk saling melingkar. tapi tidak ebrcakap juga seorang pun sejak tadi. malam bergeser pelan-pelan. sedang, angin di luar gundah hatinya. "sungguhlah kupikir, kita musti melakukan sesuatu :perubahan" kawanku ale' memulai, sambil mempermainkan korek api. semua tetap diam. wajah imam teramat penat, nafas guruh begitu dalam. gufron menyimpan diri dan aku mengenang perangai banjir,angin, pemerintah, kawan-kawan yang menghidupkan nyali pergi dari kampung ini. ada pengungsi pula. -gerimis jatuh: mau hujan - "tiba-tiba pagi, tidurlah! dan kopi telah lama dingin" ale' bicara lagi lantas menyentuhnya. kami ingin etrsenyum, tapi sakit yang kami pahami memikin tak mungkin. "jangan, aku harus berkemas untuk pulang siang nanti. lagi, sisa malam, baik dengan bercakap kita akhiri" sergahku. "atau, bagaimana jika menulis puisi?" tanya guruh. entahlaj, kami sungguh ingin etrsenyum sekal...

Biografi Dari Beranda Sine

-sine, jangan menangis lagi di luar, gerimis begitu giris beranda itu ingin kembali menjadi saksi setiap pertemuan rindu dan percakapan mesra seperti dulu. "denyut jantung mereka, denyut jantung matahari," sofa dan asbak kayu mengenang. "seseorang menangis, yang lain memeluknya. dan mereka tak bersedih," masa lalu membayang di pintu. "ribuan merpati berterbangan dari tangan mereka dengan pita-pita putih melingkar di lehernya," vas bunga pun terkenang. dan gerimis yang lebih keras dari semalam, tak sanggup menyembunyikan tahun-tahun kecemasan. beranda itu mengeja gemericiknya menjadi sebuah biografi kesedihan yang panjang. kenangan penuh debu. beranda itu, sepi merah hati rindunya. hingga suatu pagi, sesobek koran yang dibawa angin ke beranda itu memuat berita perkosaan, pembunuhan, lpeledakan bom dan demonstran yang ditembak aparat keamanan. meja bambu teringat kecemasan yang mengalir dari kelopak mata qabil saat menatap liang lahat yang digali burung gaga...

Jakarta, September 2004 (II)

Bumi Jakarta banjir darah oleh ledakan bom. Tidakkah kau lihat kebencian di wajahku karena kerusakan yang tak henti-hentinya meledak di bumi ini. Aku melihat seekor kambing terpanggang hitam dan terhina lalu jiwanya merasuk ke dalam tubuh Baasyir yang suaranya parau karena membela kebebasan Di setiap tempat, semua orang bermata sayu dan terkejap-kejap, mendengar suara-suara parau tetapi semuanya berlalu, berlalu… seperti tiada apa-apa sementara itu, dencingan gelas menyelingi ucapan-ucapan selamat atas meledaknya bom serta akibat yang mengiringinya O, bumi yang subur, tanah yang makmur manusia yang sujud di tanah kepada Tuhannya kini menjadi sasaran kebrutalan agen-agen intelektual yang memutar dunia dengan angkara Selesai dahi-dahi manusia menempel di tanah kepada Tuhannya kembali mereka bekerja menjadi sekrup dari sebuah mesin raksasa untuk menggulingkan negeri ini. Dahi-dahi manusia tercerai-berai, saling melaknat imam mereka meminta jaminan yang kecil atas nasibnya sendiri. S...

Senja Dalam Masa

Puisi memang milik siapa saja meski tanpa harus berumit-rumit dengan kata-kata seperti layaknya penyair yang misterius. Buku antologi puisi milik Andri VB ini pun demikian adanya. Kalimat-kalimatnya terang dan dan sederhana. Anda tidak perlu takut untuk kesulitan menafsirkan puisi-puisi di dalamnya terlalu lama. Cukup duduk dan santai membuka lembaran-lembaran buku yang bercerita tentang rindu, cinta, dan perempuan yang menjadi tema besar dalam buku ini. Soal kualitas? anda sendiri yang menentukan.

Launching: Antologi Puisi "Tulislah Namaku Dengan Abu" ( Abdul Mukhid)

Launching antologi puisi : TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU: Antologi puisi tunggal Abdul Mukhid, tanggal 11 Oktober jam 12.30 WIB di Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Pembahas Nanang Suryadi dan ARS Ilalang Penerbit: Babel Publishing dan Komunitas Bengkel Imajinasi Cetakan pertama: September 2006 Tebal: xii+56 halaman ISBN: 979 25 3950 6 Harga : Rp 15.000,- Buku ini memuat 44 puisi yang ditulis Abdul Mukhid dalam rentang waktu 1998-2003. Merupakan antologi puisi tunggalnya yang pertama , sekaligus sebagai “pelunasan hutangnya” kepada sahabatnya: Nanang Suryadi, redaktur Cybersastra (saat ini dosen Faklutas Ekonomi Universitas Brawijaya, dan moderator milis panggung). Sebelumnya telah termuat dalam antologi puisi bersama: Interupsi (SPMM,1994), Luka Waktu (Taman Budaya Jatim, 1998), Pemberontak Yang Gagal (Forum Remaja 2000, 1999), Ning (Sanggar Purbacaraka, 2000). Puisi bahasa inggrisnya masuk dalam antologi Whispering Recollections (International Library of P...

Ini Hujan Bulan Oktober

  Ini hujan bulan oktober   Bersama hujan suaramu gugup   Memungut detik yang sekarat   Sementara kata-kataku telah lama berpulang   Disimpan sepi   Tapi kesunyianmu terus meraung. Di punggungmu   Seperti ada yang merayap   Perahu-perahu kehidupan yang terus berlalu-lalang   Di horizon cakrawala mindaku     Sejak kedatanganmu sore tadi   Kau banyak berceloteh   Tentang pakaian kita yang bolong   Di sana-sini. Periuk kita yang kosong     Ya, ini hujan bulan oktober   Bersama hujan suaramu berdesing   Sementara ingatan purba, terus   Mendesak di kaki langit jiwaku   Hutang masa lalu   Surat cinta yang belum sempat kubalas     Mungkin, bila kita cepat berkemas   Sebelum hari beranjak malam   Sepanjang geometri impian, yang kita layari   Akan membuahkan tetes-temetes rahasia   Yang kelak menjadi baka   Saat kemarau. Atau jaman berubah purba   ...

KM 37

Di lembah jalan tol air merembes dari sisi tanggul air mata duka dari lumpurhidup yang tak surup Magma dari gunung manusiaku tak henti menggelegak menumpahi serambut sirathal mustaqim Jalan kembali menikung di antara tanggul-tanggul hati yang basah oleh rembesan nista Luapan itu terus menggenangi pematang seperti genangan  mataku yang tak juga terbenam Petak-petak tanah mentahlilkan kecemasan kematian meniarpkn bayi-bayi dalam mimpi purba Di mataku tanah adalah abu berarak-arakan jadi nisan Sementara di tepian dinding besi baja, orang-orang memainkan jari melukis  alis yang tak terisi    081703634xxx

SOBAT

Sobat, tolong buatkan aku sebuah puisi cinta, karena saat ini aku sedang jatuh cinta dan aku tak mampu tuk membuatnya… Tanganku, otakku, dan hatiku seolah tak mau bekerja sama. Kuingin kamu membuatnya, tulislah seakan dirimu sedang membuatkan puisi cinta untuk orang yang sangat kamu sayangi, orang yang sangat berarti dalam hidupmu, selalu kamu rindukan… Buatlah dengan penuh cinta sehingga kamu dapat meyakinkan hatinya bahwa dirimu tiada mampu hidup tanpa dirinya… Setelah usai, baca dan hayati… tak perlu kamu berikan padaku, simpanlah… Karena sesungguhnya seperti itulah yang kurasakan padamu…                                                     yogyakarta, 2003

NYAI RUGAYAH ( III )

“kupejamkan mata ini di kematian cintaku, kuhantar bersama butir-butir cermin wajahku untuk bulan yang meraung kepedihannya, di puncak kesunyian hatiku setiap malam untuk matahari yang meneriakkan dendamnya, dikubangan panasnya rinduku untuk bintang yang bergemerlap sendu, dibuai awan rintihan senyumku untuk bumi yang berteriak sunyi, di tampuk jiwaku yang meluruh oh, Panembahan Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama… dengarlah, ketiadaanmu adalah butiran bara keturunanmu!” Nyai Rugayah menyerpih di setiap katanya berlapis sesal diantara peperangan bersaudara, berserak nyala bahasanya telah hancur sebelum menyingsing Jaratan, muram di ufuk kemusnahan untuk Mataram diantara gumpalan ambisinya, kini Nyai Rugayah mengais sebuah kebajikan   September 2006, Leonowens SP

NYAI RUGAYAH ( II )

Nyai Rugayah merenung hari, mencari kebajikan waktu diantara sang penuai amarah tiada dapat disentuhnya, tiada angin kenangan berhembus pasti ke ruang hatinya… keindahan wajahnya tergurat pasti di masanya, namun tiada setitik bahasanya untuk jejak takdir yang membuainya dari rahim yang tiada diketahuinya semua terbuang! Jaratan yang binasa, lahirkan dendam kerinduan memaksa menghancurkan kenangan, di bumi yang kian mengurungnya tiada harapan setelah cintanya terkubur… berhembus tajam di hasrat Mataram membelah pencariannya untuk sebuah kebajikan, Nyai Rugayah sisakan cintanya yang digenggamnya erat di sudut-sudut pemberontakan diantara kekuasaan bersaudara “dimana mimpi kebajikan, setelah cinta mati bersamanya?” diguratkan kata ini di hatinya   September 2006, Leonowens SP

NYAI RUGAYAH

Nyai Rugayah berkeluh lembut, sentuhan rasanya meraba sebuah kebajikan tiada jenuh merabanya, ia tahu kebajikan, namun tiada digenggamnya… untuk kejenuhan tiap nafasnya di penghujung tahun sisa kenangan asanya bergerak pasti, untuk bermimpi tentang pencariannya di bumi yang kian meronta diantara cinta berluruh pekat kehidupan dipeluk erat Panembahan Seda Ing Krapyak tiada pernah ia terbebas, sangatlah jauh akarnya terbuang sebelum takdirnya ditentukan! Nyai Rugayah kian merabanya terlalu lama Jaratan itu lenyap, telah mati… ya, kota yang binasa! sedemikian lembut keluhnya, hingga hatinya tiada pernah mengetahui…   September 2006, Leonowens SP

Ini Hujan Bulan Oktober

  Ini hujan bulan oktober Bersama hujan suaramu gugup Memungut detik yang sekarat Sementara kata-kataku telah lama berpulang Disimpan sepi Tapi kesunyianmu terus meraung. Di punggungmu Seperti ada yang merayap Perahu-perahu kehidupan yang terus berlalu-lalang Di horizon cakrawala mindaku   Sejak kedatanganmu sore tadi Kau banyak berceloteh Tentang pakaian kita yang bolong Di sana- sini. Periuk kita yang kosong   Ya, ini hujan bulan oktober Bersama hujan suaramu berdesing Sementara ingatan purba, terus Mendesak di kaki langit  jiwaku Hutang masa lalu Surat cinta yang belum sempat kubalas   Mungkin, bila kita cepat berkemas Sebelum hari beranjak malam Sepanjang geometri impian, yang kita layari Akan membuahkan tetes-temetes rahasia Yang kelak menjadi baka Saat kemarau. Atau jaman berubah purba   Ini hujan bulan oktober Bersama hujan suaramu Melangkaui batas kesunyianku Bersenyawa denganmu   2006

Mata Yang Merah

matamu yang merah memanggil manggil memanggil dan merajam rasaku seperti tahun tahun yang berjelujuran di kedalamanmu berdebu di permukaan mengaburkan antara bayangan dan kenyataan sekarang berhentilah..... atau kita akan kehilangan waktu untuk mencatat lembaran daun lontar yang berjatuhan dari tubuhmu dengan tinta emas atau kita akan kehilangan kesempatan lalu wajah dingin berubah beku dan embun menguap putus asa berhentilah..... atau jalanan akan pudar warnanya bunga bunga pudar matahari dan bulan padam binarnya sebelum musim berganti berhentilah..... atau kita tak punya kesempatan lagi kembali dengan mata dan dada yang terluka 2006