Langsung ke konten utama

Diskusi : Komunitas Puisi Maya, Bisa Apa?

Sabtu, 14 Oktober 2006
15.00 – 22.00 WIB
KeDAI Tempo & Teater Utan Kayu
Komunitas Utan Kayu, Jl. Utan Kayu 68H, Jakarta Pusat
Komunitas sastra yang menggunakan internet sebagai tempat bersilaturahmi dan memajang karya telah banyak muncul di tahun-tahun belakangan. Muncul pula beragam pendapat tentangnya: mulai dari yang melihat gejala itu sebagai gerak terbukanya sebuah akses luas terhadap khalayak pembaca, sebentuk demokratisasi kesempatan menyiarkan karya, peluang menjelajahi medium baru, hingga yang memandangnya sebagai semacam tong sampah besar. Masing-masing pendapat itu barangkali ada benarnya, ada salahnya. Yang jelas, sejumlah komunitas itu masih terus bergerak dan bekerja. Apa alasan mereka menggunakan medium internet untuk berkarya? Adakah pendirian tertentu yang mereka pegang? Bagaimana mereka melakukan kontrol atas mutu lisan? Apa yang mereka bayangkan tentang masa depan medium itu? Bulan ini TUK akan menggelar sebuah acara yang mempertemukan beberapa komunitas puisi internet, di mana mereka bisa memamerkan dan membacakan karya serta membincangkan persoalan-persoalan di atas. Bincang-bincang akan menghadirkan Gratiagusti Chananya Rompas (BungaMatahari) , Dino F. Umahuk (Fordisastra) , Medy Loekito (Penyair), dengan pemandu Randu Rini (Cybersastra)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007