Langsung ke konten utama

Launching "Tulislah Namaku Dengan Abu" Karya Abdul Mukhid

Bertempat di Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang, Rabu, 11 Oktober 2006Pukul: 12.45 – 14.00 WIB, antologi puisi Abdul Mukhid yang pertama diluncurkan. Antologi yang berjudul "Tulislah Namaku Dengan Abu" adalah kumpulan puisi sepanjang tahun 1998-2003. Acara ini melibatkan Nanang Suryadi (pendiri Fordisastra.com) dan ARS Ilalang (penyair) sebagai pembicara tamu. Jumlah tamu yang hadir memang kebanyakan mahasiswa dan rekan-rekan teater dari kota Malang. lainnya rekan-rekan dari bengkel Imajinasi . Total yang datang sekitar 50 puluhan.
Acara di mulai dengan pembacaan puisi oleh Abdul Mukhid selanjutnya diikuti oleh perbincangan mengenai antologi oleh Nanang Suryadi dan ARS Ilalang.

Berikut pengantar dari Nanang Suryadi untuk karya Abdul Mukhid.

Pergulatan dengan puisi seringkali mendorong penyair mencintai
dengan keras kepala. Seringkali penyair tidak dapat melepaskan diri
dari puisi, bukan karena ia ingin mendapatkan gelar atau sebutan
penyair, namun yang terjadi adalah ia selalu merasa terikat dengan
dunia tersebut, entah apapun alasannya. Jika pada akhirnya Mukhid
menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi, setelah sekian lama tidak
pernah membukukan dalam antologi tunggal, adalah juga merupakan
bagian dari proses kepenyairannya. Dengan adanya sebuah buku
kumpulan puisi, sang penyair dapat berharap puisi-puisi yang lahir
melalui tangannya tidak lenyap begitu saja. Puisi berhak untuk
bergaul dan dikenal banyak orang di luar penyairnya sendiri.
Pengalaman puitis sang penyair berhak dicatet dan mendapat tempat.

Saya mengenal Mukhid lebih dari sepuluh tahun lalu, bersama-sama
terlibat dalam kegiatan seni di Kota Malang sejak masa mahasiswa di
tahun 90-an, khususnya teater dan sastra. Masa-masa penuh gairah
berkesenian, hingga menembus malam dengan diskusi-diskusi tentang
berbagai hal, termasuk mendiskusikan puisi yang kami tulis. Beberapa
sajaknya saya baca dalam kumpulan-kumpulan puisi bersama. Namun
dalam pengamatan saya, dibanding aktivitas penulisan puisi Mukhid
lebih intens dalam pementasan teater.

Aktivitas Mukhid dalam pementasan teater, baik sebagai aktor,
sutradara serta penulis naskah terasa mempengaruhi penulisan sajak-
sajaknya, sebagai buktinya adalah karya-karya dalam buku ini.
Pertunjukan teater seringkali menampilkan "kejelasan"
atau "keterbukaan" yang lebih dengan menggunakan bahasa verbal dan
bahasa tubuh agar penonton dapat memahami apa yang disampaikan sang
aktor di panggung. Keterbukaan inilah yang seringkali saya temui
dalam sajak-sajak Mukhid. Penyair dalam menulis sajak-sajaknya
seperti telah mempersiapkan untuk melisankan sajak-sajaknya dalam
sebuah panggung pementasan, bukan sekedar tampil dalam sebuah buku.
Tradisi pelisanan sebuah karya sastra menjadikan sajak-sajak yang
ditulis penyair menjadi lebih cair dengan bahasa yang lugas.
Terlebih lagi, jika ditelusuri dalam beberapa larik sajaknya terasa
Mukhid secara sadar atau tidak meminjam gaya penyair yang sering
melisankan puisinya di atas panggung, seperti Rendra dan Emha Ainun
Najib.

Dalam 44 sajak yang ada dalam buku ini, saya temukan banyak sekali
kata-kata tentang Tuhan, atau kata gantinya seperti Mu, Gusti, Sang
Maha Suci, Nya, Engkau. Kata-kata tersebut muncul dalam berbagai
suasana sajaknya, entah di saat sepi, entah di saat gaduh hiruk
pikuk protes sosial. Hubungan penyair dengan Tuhannya memang
seringkali merupakan sebuah pengalaman puitis yang menggelitik untuk
dituliskan menjadi sebuah sajak. Jika kita baca sajak-sajak dalam
khazanah perpuisian tanah air dan dunia, tema tentang hubungan
penyair dengan Tuhannya sangat banyak dijumpai.

Hubungan Mukhid dengan Tuhannya, dapat terlihat dalam larik-larik
sajak berikut: Tuhan, kalau Engkau memang Kenyataan Tertinggi./Kita
berdamai saja mulai hari ini (Berdamai Dengan Kenyataan). "Tidak!
Sebelum aku menyamai Tuhan!" (Dialog Imajiner dengan Caligula).
Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras/ entah nama-Nya atau
namaku./ Tetap tak ada jawab. Selain harap/ (Di Luar terlalu Gaduh)
Dengan putus asa aku pun berbisik lembut:/ "Gusti. Bukakan pintu.
Kuncinya tak kutemu/ Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh./ Di
luar terlalu gaduh…"/ (Di Luar Terlalu Gaduh). Tuhan, maafkan
aku/114 surat yang kau kirim/ tak pernah sempat kubalas// Engkau
terlalu absurd sih,/ hingga untuk memahami satu huruf saja/ dari
kalimat-kalimat indahmu/ diperlukan ribuan kesabaran bumi/ dan
ratusan kesetiaan matahari.// Engkau terrlalu misterius sih,/ hingga
meski kudapat 99 catatan alamatmu/ yang terpatri di helaan nafasku/
jangankan mengetuk pintumu/ membaca alifmu saja aku tak mampu//
Engkau terlalu lembut,/ hingga walau kutemu 6666 kunci gaibmu/ tak
pernah bisa kubuka jua/ jangankan tabir Diri-Mu/ tabir diriku saja
aku tak kuasa// Tuhan, maafkan aku/ 114 surat yang kau kirim/ tak
pernah sempat kubalas// (Mungkin mataku yang buta/ hingga tak pandai
mengeja./ Mungkin tanganku yang tak berdaya.)" (Tuhan Maafkan Aku).
Tuhan, tuntunlah tanganku (Peta Nasib 2). Masihkah tersisa ruang
buat Tuhan/ di sudut nuarni? (Sajak Milenium). Tak semua bisa
dirumuskan/ memang./ Seperti malam ini/ ketika air mata bercucuran/
Sewaktu tiba-tiba/ kita melakukan kesalahan yang memang dikehendaki-
Nya. (Tak Semua) Duh Gusti,/ hamba semakin tak mengerti (Malam di
Ujung). Di dalam ruang kecemasan:/ mungkin saja Tuhan sedang
tertawa/ mengolok-olok kekonyolan kita (Di Dalam Ruang Kecemasan).
Kubaca namaMu/ dalam dekap sunyi kalbuku (Kubaca Dunia). Tiba-tiba
aku jadi teringat/ butir-butir firman Tuhan,/ maut, kubur dan
akhirat/ Aku jadi semakin tak percaya/ bahwa dunia ini betul-betul
nyata// "Duh Gusti,/ tanggal apa dan hari berapa/ kita akan
bertemu?" (Ini Hari Apa? Tanggal Berapa?). Tuhan,/ Kalau memang
kecemasan adalah salah satu dari/ bahasa Cinta-Mu/ Beri aku satu
kecemasan saja:/ harap-harap cemas kalau-kalau aku tak mampu/
memandang wajah-Mu/ di Hari Yang Dijanjikan (56 Tahun Indonesia
(Masih) Cemas). Duhai Sang Pengarang/ kapan ini bermula/ dan kapan
ini akan berakhir? (Tanda Tanya Agung). Tuhan, beri aku kekuatan
untuk berevolusi/ sebab aku tak mau hatiku mati (Revolusi Dimulai
Hari Ini). Tuhan, Biarkan kugedor bilik hatimu-Mu/ Biar lunglai
kakiku ragu/ Biar gentar mataku sayu// Tuhan,/ Bukalah pintu rumah-
Mu/ Biar aku bertamu/ dan menyantap semua hidangan-Mu: / sekerat
cinta, periuk nasib, saripati keyakinan, juga/ manisan keindahan
segala jaman (Bukalah Bilik Hatimu). Gusti,/ Mohon kali ini engkau/
balas dengan gambling/ Tak perlu attachment/ alias lampiran/ Tolong
kirimi aku: peta nasib, resume keyakinan/ dan sejumlah alamat
kebahagiaan (Tuhan@Arasy. Com). Maka Tuhan pun memanggil seluruh
pejabat/ negeri yang kata orang potongan sorga itu./ Sungguh
pemandangan menakjubkan/ Menyaksikan berjajar-jajar orang/
menantikan keputusan Sang Maha Adil (Tuhan Tidak Menerima Sogokan)

Kata-kata lain yang juga digemari Mukhid dan kerap muncul dalam
sajaknya adalah sepi, cemas, nasib serta nama-nama tokoh mitos dan
tokoh nyata. Kata sepi bahkan menjadi bagian dalam judul bukan hanya
dalam teks di tubuh sajaknya (misalnya judul: Catatan Sepi 1,
Catatan Sepi 2, Catatan Sepi 3, Catatan Sepi 4)

Demikianlah, sekedar catatan singkat pengantar diskusi. Banyak hal
yang ingin saya sampaikan tentang sajak-sajak Mukhid ini, yang
mungkin bersetuju dengan para peserta diskus
i kita kali ini. Sebagai
penutup saya bacakan 4 Sajak Mukhid:

TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU

Bakarlah aku dalam bilik jantungmu
hingga yang tersisa hanya abu
Lalu dengan abu itu tulislah namaku
seperti waktu kau punguti jam-jam yang meragu

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kenangan hanyalah catatan alam yang
berdebu
Meski hidup cuma bayangan semu
Tataplah hari-hari dengan senyummu

Tulislah namaku dengan abu
Untuk sekedar memberi kemungkinan sang waktu
Melakukan tawar menawar dengan Tuhan
Karena perjalanan, betapapun berat, harus
diteruskan

Tuliskan namaku dengan abu
Berdoalah agar dari kematianku
datang kelahiran baru
Agar aku tak kehilangan kepercayaan
kepada kesejatian

Tulislah namaku dengan abu
Karena rasa berdaya tak boleh mati begitu saja
kesabaran menjadi samudra
daya hidup menjadi cakrawala

Tulislah namaku dengan abu
Sebab kita tak pernah berencana bertemu
Tulislah namaku dengan abu
Biarlah angina membawa pergi kemana ia mau

21 Maret 1998

DI LUAR TERLALU GADUH

Dengan tergopoh-gopoh kugedor pintu:
"Buka pintu! Cepat! Di luar terlalu gaduh.
Aku ingin istirah, biar hatiku teduh."

Tak ada jawab. Hanya senyap.

Kugedor lagi pintu. Kuteriakkan keras-keras
entah nama-Nya atau namaku.
Tetap tak ada jawab. Selain harap.

Sekali lagi kugedor pintu. Tak bisa lagi nunggu.
Kali ini segala hardik dan serapah
Melumur jua dari bibirku. Senyap sesaat.
Sampai…

"Kuncinya ada padamu!"

Aku kelabakan, berputar-putar mencari kunci.
Dari segala batas yang kutahu, aku mencari.
Dari segala ujung yang kutahu, aku mencari
Tak juga kutemu.

Dengan putus asa akupun berbisik lembut:
"Gusti. Bukakan pintu. Kuncinya tak kutemu.
Aku ingin istirah. Di luar terlalu gaduh.
Di luar terlalu gaduh…"

18 Desember 1998

SAJAK SEPOTONG MANGGA

Pernahkah engkau bertanya:
Kenapa mangga rela
Menjadi mangga

24 Desember 1999

KUTUKLAH AKU UNTUK MENCINTAIMU

Kutuklah aku untuk mencintaiMu,
karena mataku telah buta oleh pesona dunia
karena telingaku telah terpikat oleh merdu sarwa
Suara
karena tanganku telah kotor oleh noda
karena mulutku telah berlumur pura-pura
karena aku selalu kalah oleh nafsu yang bertahta

Kutuklah aku untuk mencintaiMu
Karena aku telah terperangkap asmara nan maya
Karena jauh di lubuk kalbuku
Masih kurindu wajahMu
Walau dengan perih hati dan rasa amat tak berdaya

Kutuklah aku untuk mencintaiMu
sebab aku tak mampu lepas dari berhala diri
sebab aku tak sanggup menghindar dari nafsu
duniawi
sebab aku terkurung dalam labirin kepalsuan nan
memabukkan
sebab aku terperangkap dalam jerat-jerat keakuan
Kutuklah aku untuk mencintaiMu

Jauhkan segala yang akan menjauhkan aku dariMu
Singkirkan segala yang menyilaukan aku dari
memandangMu
halau segala yang menambatkan hatiku tidak
padaMu
kutuklah aku menjadi pecinta sejatiMu


Acara ini menjadi saksi langkah kepenyairan Abdul Mukhid yang sebelumnya dikenal sebagai teaterawan dan penterjemah buku dibandingkan penyair. Semoga tahun-tahun ke depan Abdul Mukhid akan lebih berkarya secara totalitas dan terus produktif. Selamat atas peluncuran karyanya Pak De!

Syahrirul Habib Ramadhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...