Langsung ke konten utama

Dalam Langgar Saat Itu



        yuli oncor

dalam langgar saat itu, kami duduk saling melingkar.
tapi tidak ebrcakap juga seorang pun sejak tadi.
malam bergeser pelan-pelan. sedang,
angin di luar gundah hatinya.

"sungguhlah kupikir, kita musti melakukan sesuatu
:perubahan" kawanku ale' memulai,
sambil mempermainkan korek api.

semua tetap diam.
wajah imam teramat penat, nafas guruh begitu dalam.
gufron menyimpan diri dan aku mengenang perangai
banjir,angin, pemerintah, kawan-kawan yang
menghidupkan nyali pergi dari kampung ini.
ada pengungsi pula.
-gerimis jatuh: mau hujan -

"tiba-tiba pagi, tidurlah! dan kopi telah lama dingin"
ale' bicara lagi lantas menyentuhnya.

kami ingin etrsenyum,
tapi sakit yang kami pahami memikin tak mungkin.
"jangan, aku harus berkemas untuk pulang siang nanti.
lagi, sisa malam, baik dengan bercakap kita akhiri"
sergahku.

"atau, bagaimana jika menulis puisi?" tanya guruh.
entahlaj, kami sungguh ingin etrsenyum sekali itu saja.
tapi tak jadi.

Komentar

  1. sudah lama saya tidak membaca puisi yang memberikan kesan yang berbeda seperti ini. membacanya mengingatkan saya akan karya-karya penyair pujangga lama.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...