Langsung ke konten utama

Jakarta, September 2004 (II)



Bumi Jakarta banjir darah
oleh ledakan bom. Tidakkah kau lihat
kebencian di wajahku karena
kerusakan yang tak henti-hentinya
meledak di bumi ini. Aku melihat
seekor kambing terpanggang
hitam dan terhina
lalu jiwanya merasuk ke dalam tubuh Baasyir
yang suaranya parau karena membela kebebasan
Di setiap tempat, semua orang bermata sayu
dan terkejap-kejap, mendengar suara-suara parau
tetapi semuanya berlalu, berlalu…
seperti tiada apa-apa

sementara itu,
dencingan gelas menyelingi ucapan-ucapan selamat
atas meledaknya bom serta akibat yang mengiringinya

O, bumi yang subur, tanah yang makmur
manusia yang sujud di tanah kepada Tuhannya
kini menjadi sasaran kebrutalan agen-agen intelektual
yang memutar dunia dengan angkara

Selesai dahi-dahi manusia
menempel di tanah kepada Tuhannya
kembali mereka bekerja
menjadi sekrup dari sebuah mesin raksasa
untuk menggulingkan negeri ini.

Dahi-dahi manusia tercerai-berai, saling melaknat imam
mereka meminta jaminan yang kecil
atas nasibnya sendiri.
Setelah sedikit permintaannya terkabul
dia pun kembali bekerja
menggali lubang kuburnya sendiri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...