Nah, di sini salah satu fase telah dilewati oleh penulis puisi (penyair) ketika ia telah menerbitkan (mempublikasikan) karya-karyanya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah". Seorang penulis akan diakui eksistensi dirinya sebagai penulis kalau tulisan (karyanya) telah terpublikasikan, bukan dari sebuah keakuan yang sering dilontarkan "Aku seorang penulis", "Aku seorang penyair!", "Aku juga bisa menulis!", "Aku bisa menulis seperti itu 10 biji dalam sehari!" dan seterusnya. Karena predikat penulis, penyair, pelukis, teaterawan dan sebagainya akan secara otomatis akan diberikan oleh publik secara otomatis seiring dengan karya-karya yang dihasilkan yang terpublikasikan.
Pencapaian ini telah dilalui oleh seorang Abdul Mukhid sebagai seorang penyair (walaupun dia sendiri enggan disebut penyair). Ada proses yang begitu kental dijalani untuk sekedar mengalahkan kata antinomi yang terdapat dalarn salah satu puisinya dalam buku "Tulislah Namaku Dengan Abu" yang berjudul "Aku Bukan Penyair, Karena Itu Aku Tulis Puisi". Demikian satu bait sajaknya:
Aku bukan peyair, karena itu aku tulis puisi
Sebab banyak penyair yang tak menulis puisi
Hanya berteriak melolong memuja diri
Sedargkan puisi ditinggalkan di sudut-sudut nurani
(halaman 53)
Dia membawa wacana etika profesionalisme yang cenderung memuja diri dengan pengakuan banal dari eksistensi. Satirisme yang ia bawa mengena pada titik kulturalisasi keberadaan figur. Kesadaran akan kekaryaan bukan semata karena sebuah frame yang dipaksakan. Pengakuan bukan berasal dari ke"aku"an, tapi dari sebuah konsistensi proses yang dijalani.
Merujuk dari sebuah perjalanan seorang manusia yang memiliki batas kemampuan (nalar, laku dan rasa), seorang Mukhid telah rnelampauinya. Puisi dalam hal ini tidak sekedar teks puitis tapi memiliki kekuatan yang sengaja atuu tidak sebagai sarana kontemplasi dan introspeksi diri (khususnya bagi penulis). Ada energi yang melonjak dari baris satu ke baris berikutnya. Dari satu bait ke bait berikutnya. Yang menciptakan efek dramatik dari proses dilematik yang tereduksi oleh kemampuan daya nalar penyair (yang benar-benar penyair).
Dari sajak di atas muncul seorang Mukhid yang agraris secara demografi. Proses adaptatif yang dilakoni ketika berada pada sistem budaya yang membelenggu sebuah perilaku religius membawa Mukhid pada pemaknaan dia tentang transendensi terhadap keberadaan Tuhan. Mukhid berusaha membongkar dogma walau malu-malu dan cenderung takut. Melalui kemampuan dari kembaraan imajinasi yang ragu. Ada kepasrahan pada perjalanan religiusitasnya. Sebuah do'a dari umat kepada tuhannya. Tengok petikan sajak berikut:
Kutuklah aku untuk mencintaiMu
karena mataku telah buta oleh pesona dunia
karena telingaku telah terpikat oleh merdu sarwa, suara
karena tanganku telah kotor oleh noda karena mulutku telah
berlumur pura-pura karena aku selalu kalah oleh nafsu yang bertahta
(halaman 49)
Kesadaran Mukhid untuk memasuki ranah estetik kultur formalisme persajakan Indonesia. Membawa dia pada rotasi imajiner dari perjalanan spiritual yang estetis. Hal ini terlihat di sajak Tuhan@Arasy.com demikian sajaknya:
Gusti,
mohon kali ini Engkau
balas dengan dengan gambling tak perlu attachment
alias lampiran tolong kirimi aku: peta nasib, resume keyakinan
dan sejumlah alamat kebahagiaan.
N.B.: Jangan lupa kirimkan remainder dosa dan keangkuhan.
(halaman 42)
Dari sajak di atas ada sesuatu yang 'entah' sengaja atau tidak dimunculkan. Terminologi sufistik kentara sekali dari terputusnya egoisitas seorang Mukhid yang menjalani proses sublimasi makna dari pergulatan emosi yang 'banal'. Lebih mengacu pada peralihan perspektif yang pada awal penciptaannya berasal dari empirisme. Penjangkauan transendensi yang lincah ingin dicapai dengan mengaburkan obyek yang temui. Walau terlihat keraguan namun amat progresif muncul dari orang yang sangat religius.
Ada pola-pola penafikan yang diperuntukkan pada efek-efek visual menentang rima dalam penciptaan makna transendensial. Kekuatan-kekuatan kata yang semula terhimpun tiba-tiba dilepaskan seketika. Semangat yang meledak-ledak seketika surut. Terjadi progresivitas negatif dari makna teks. Antiklimak. Post. Nir. Adanya trans subyektivitas keberadaan Tuhan pada diri seorang Mukhid yang santun. Adanya kesadaran Mukhid melewati proses pemaknaan terhadap dogma. Batas empirik dan fakta. Cara pandang kultural yang belum terbongkar. Kembali pada sifat kanak-kanak yang naif. Pasrah. Menerima apa adanya. Sesuatu yang tak (boleh) tersentuh. Perjalanan spiritual Mukhid. Mukhid adalah "pendo'a" Pembacaan ini banyak terdapat pada sajaknya. Salah satunya ada dipetikan sajak berikut:
........ ketika kita ingin memberontak
dan ditengah cerita tiba-tiba kita terperangah
Duhai Sang Pengarang
kapan ini bermula dan kapan ini berakhir
(halaman 36)
Kecerdasan. Dalam sajak lainnya aku melihat makna ekplisit mengumbara pada ruang-ruang publik yang ingin dirambah. Tetap pada ranah Sufi (sengaja atau tidak) ingin diajak kontemplasi. Ruang-ruang publik yang telah dipagari rapat-rapat dan diperuntukkan bagi kaum yang homogen dan mencipta istana-istana baru yang membawa kebenarannya masing-masing, memunculkan pesimisme dari semangat yang berapi-api seorang Mukhid. Juga budaya yang telah bergeser dari timur ke barat. Kebenaran yang ia emban berada pada situasi yang akut (khawatir). Tetap dengan kecerdasan dan kepekaan intuitif vang dimiliki, Mukhid menampilkan realitas sosial yang tereduksi habis-habisan oleh seduksi duniawi. Konsumerisme. Ya konsumerisme Yang rnenciptakan tuhan-tuhan baru pada gejala-gejala sosial telah tertangkap oleh indera Mukhid. Walaupun yang dimunculkan baru pada tukaran opini. Kembali pada kekawatiran Mukhid yang santun tidak memberikan solusi atau sekedar resolusi dari sebuah pergulatan batin yang ia alami, la meruang pada pertanyaan-pertanyaan. Menciptakan literal yang nyaman. Berkorelasi dengan pemahaman masyarakat kebanyakan. Tengoklah sajak berikut:
Ketika mata kita dijajah televisi
Pada saat hati kita dijajah playstation
Sewaktu otak kita diserbu komputer
Di masa peradaban kita dikangkangi internet
Masihkah tersisa ruang buat Tuhan
di sudut nurani?
(halaman 23)
Atau sajak berikut:
Barangkali Sisipus memang berdosa
Dan harus menanggung hukumannya
Walau bukan tidak mungkin ia bahagia
Tapi mengapa kita harus ikut merasa menderita
Mungkin kita ingin jadi Tuhan
Dan diam-diam telah menyiapkan
Sebuah rencana pemberontakan
(halaman 22)
Abdul Mukhid sang pendo'a yang membawa citra spektakuler pada pembacaan ruang yang didiaminya. Pada kesepian. Pada kejengahan terhadap realita. Yang tidak terbawa arus perspektif seksualitas yang "booming" setidaknya sampai saat ini. Abdul Mukhid telah menuliskan sejarahnya dengan runut. Aku pernah bilang kepada seorang kawan lama mengenai pemahaman dan penerjemahanku terhadap sejarah. "Sejarah putih selalu tercipta dari mereka Yang berkuasa. Tapi sejarah yang sebenarnya akan tertoreh dari mereka yang peduli." Dan Abdul Mukhid adalah salah satu orang yang perduli dari sekumpulan orang yang perduli pula. Bagaimana dengan Anda?
* Disampaikan saat launching antologi puisi Abdul Mukhid "Tulislah Namaku Dengan Abu", 11 Oktober di Aula Perpustakaan UM.
Komentar
Posting Komentar