“kupejamkan mata ini di kematian cintaku, kuhantar bersama butir-butir cermin wajahku
untuk bulan yang meraung kepedihannya, di puncak kesunyian hatiku setiap malam
untuk matahari yang meneriakkan dendamnya, dikubangan panasnya rinduku
untuk bintang yang bergemerlap sendu, dibuai awan rintihan senyumku
untuk bumi yang berteriak sunyi, di tampuk jiwaku yang meluruh
oh, Panembahan Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama… dengarlah,
ketiadaanmu adalah butiran bara keturunanmu!” Nyai Rugayah menyerpih
di setiap katanya berlapis sesal diantara peperangan bersaudara, berserak nyala
bahasanya telah hancur sebelum menyingsing Jaratan, muram di ufuk kemusnahan
untuk Mataram diantara gumpalan ambisinya, kini Nyai Rugayah mengais sebuah kebajikan
September 2006, Leonowens SP
Komentar
Posting Komentar