Langsung ke konten utama

Launching: Antologi Puisi "Tulislah Namaku Dengan Abu" ( Abdul Mukhid)

Launching antologi puisi : TULISLAH NAMAKU DENGAN ABU:
Antologi puisi tunggal Abdul Mukhid, tanggal 11 Oktober jam 12.30 WIB di Aula Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Pembahas Nanang Suryadi dan ARS Ilalang




Penerbit: Babel Publishing dan Komunitas Bengkel Imajinasi
Cetakan pertama: September 2006
Tebal: xii+56 halaman
ISBN: 979 25 3950 6
Harga : Rp 15.000,-

Buku ini memuat 44 puisi yang ditulis Abdul Mukhid dalam rentang waktu 1998-2003. Merupakan antologi puisi tunggalnya yang pertama , sekaligus sebagai “pelunasan hutangnya” kepada sahabatnya: Nanang Suryadi, redaktur Cybersastra (saat ini dosen Faklutas Ekonomi Universitas Brawijaya, dan moderator milis panggung).
Sebelumnya telah termuat dalam antologi puisi bersama: Interupsi (SPMM,1994), Luka Waktu (Taman Budaya Jatim, 1998), Pemberontak Yang Gagal (Forum Remaja 2000, 1999), Ning (Sanggar Purbacaraka, 2000).
Puisi bahasa inggrisnya masuk dalam antologi Whispering Recollections (International Library of Poetry, 2002).

Setelah Idul Fitri, Abdul Mukhid merencanakan baca puisi keliling antara lain ke Mojokerto dan Madura, namun tidak menutup kemungkinan ke kota lain asalkan tidak bertabrakan dengan jadwal mengajarnya. Selain baca puisi akan diadakan diskusi buku.

Teater adalah aktivitas kesenian lain yang digelutinya. Salah satu naskah drama nya Rahawana menjadi juara II lomba penulisan naskah Dewan Kesenian Medan 2005. Prestasi terbaiknya adalah menjadi salah satu sutradara terbaik dalam Pekan Seni Mahasiswa Regional Jatim atas nama Teater Hampa Indonesia IKIP Malang tahun 1999.
Beberapa kali menjadi sutradara dan aktor dalam proses pementasan sejumlah komunitas kesenian di Malang.

Menjadi penerjemah adalah salah satu karirnya.Beberapa terjemahannya: Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer (Tadarus dan Jendela,Jogyakarta, 2002), Seri Tokoh Dunia : Nietzsche (Bentang,Jogjakarta , 2003), Gender Voices (Pedati,Pasuruan , 2003), Telaah Kritis Rabindranath Tagore (Pedati, Pasuruan, 2003), The Fifth Column (Pedati, Pasuruan, 2004), The Theatre of the Absurd (Martin Esslin, dalam proses edit).

Pak De, panggilan akrabnya, lahir di Kepanjen, Malang, 22-2-1974. Lulus dari jurusan bahasa inggris IKIP Malang tahun 1998. Saat ini menjadi instruktur bahasa inggris di Yayasan Persahabatan Indonesia Amerika (YPIA), di Malang.
Aktif dalam Komunitas Bengkel Imajinasi dan redaktur buletin berkala BACA.

Alamat kontak:
Abdul Mukhid, Jl.Efendi 82 A Kepanjen Malang, Hp 081 796 14773, email: mukhid_ translator@yahoo. com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...