Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2013

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...

GOENAWAN MOHAMAD: SAYA TAK BISA JADI ATHEIS

Bicara dengan Goenawan Mohamad selalu menarik. Penyair, esais, dan salah seorang pendiri kelompok Tempo ini terlibat aktif melawan rezim Soeharto di senjakala Orde Baru pada akhir 1990-an. Belakangan, ia cukup mengejutkan dengan buku kecilnya, Tuhan & Hal-hal Yang Tak Selesai, 99 percikan permenungan yang bersumbu pada soal-soal keagamaan. Ia juga kritis terhadap kaum Atheis “fiundamentalis” yang sedang laris saat ini, seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Christoper Hitchens. “Saya terutama mengkritik kepongahan mereka,” katanya. Pada Jumat sore, 25 Januari 2008, redaktur Madina Ihsan Ali-Fauzi dan Hikmat Darmawan bercakap-cakap dengan Goenawan Mohamad di Bakoel Coffie Cikini, tentang Tuhan para penyair, Rumi, perang agama, dan Reformasi yang tak menjanjikan apa-apa. Berikut, ringkasan percakapan itu (versi lengkapnya, bisa diakses di situs Madina.com).

Aku Setelah Aku

:eyelight Aku berdiri sebagai reruntuhan, atau, mungkin sebagai reruntuhan yang duduk di depan monitor kesunyian. Gelombang- gelombang memori masih bergerak, seperti mesin scanner yang mondar-mandir di atas keningku. Batas kematianku dan batas kecantikanmu, membuat tikungan yang pernah dilalui para petapa. Aku masih reruntuhan dalam pelukanmu. Batu-batu bergema dalam puing-puingnya. Menuntunku dari yang jatuh. Berenang, dalam yang tenggelam. Menghidupkan gamelan mati di mataku. Ketukan-ketukan kecil, putaran di kening, lembah-lembah yang belum pernah kulihat. Aku berdiri melihat garis bibirmu dari matamu, garis yang dilalui sebuah truk. Seorang perempuan menyetirnya dengan lengan kirinya yang patah. Ia gulingkan cermin-cermin busuk ke dalam kaca: aku pada batas-batas berakhirnya aku. Perempuan yang kecantikannya melumpuhkan batas-batas militer. Parit-parit bekas peperangan, membuat mata rantai baru ke telaga. Bebaskanlah aku, bebaskanlah aku dari kultur yang menawan kebinatanganku. Ia ...

Jembatan Iblis dari Keningku

Buat BOT, Marianne dan Elia Sebuah gereja dalam salju. Kursinya membekukan kekosongan. Pintunya menutup musim dingin. Salin masih terus membekukkan sunyi. Di Gotthard, melewati Zurich ke Andemartt, sebuah hotel dalam salju. Albergo San Gottardo. Pintunya menutup musim dingin dari 5 menit musim panas. Lima jam mendaki, menyesatkan diri dalam lubang-lubang udara. Kota telah berlalu dalam kenangan memasak dan mesin printer. Lembah-lembah Urseren dan Laventina. Setiap belokan, melingkar. Arsitektur kesunyian, melingkar. Konstruksi kesedihan, melingkar. Mengubah warna kenangan dan gua-gua bekas peninggalan militer. Melingkar di bawah tebing-tebing batu di atas tebing- tebing batu yang kembali ke bawah dan ke atas. Ke luar dan ke dalam. Cahaya dari bukit-bukit batu, mengelupas melewati erangan Salju di musim panas, benturan antara yang berlalu dan berkelanjutan. Ruang di sini terus menciptakan dirinya berulang- ulang, untuk menyesatkan waktu dalam perjanjian antara iblis dan pendeta suci Got...

Mesin Jahit Bayangan

:Hello Ulrike Draesner Malam, sebelum agak malam. Buku-buku mengaborsi suami, setelah suami mulai kehilangan lelaki. Radius yang tidak pernah berubah antara daftar surat masuk dan surat ke luar. Pisau bedah di ujung bahasa, botol infus dari balik gerbang Berlin, mengaborsi lampu-lampu malam. Ukuran kemeja yang tidak bisa memperbesar bayangan lelaki di luar rumah. Apakah puisi, tanyamu: di antara kursus-kursus bahasa, memindahkan kultur kota dari mural East Side Gallery ke tembok yang lain, dan bau mentega yang menciptakan lidah di antara pisau. Dekontruksi memori dari rahim ke bekas reruntuhan pesawat. Lebih turun lagi ke rasa berantakan. Kau rasakan, puisi mengambil jiwaku untuk mendapatkan bayangan bahasa, ruangnya yang tak punya luar dan tak punya dalam. Gravitasi cinta yang melampaui benua, menyentuh seorang anak India dalam pelukanmu. Lebih naik lagi, kata yang meruntuhkan setiap representasi. Agak malam setelah malam. Kau rasakan dinding-dinding rumah masih merasakan setiap memor...

Apartemen Identitas

Aku ingin bisa melihat angin. Melihatnya. Menggenggamnya. Menatapnya. Menghembuskan setiap pecahan aku ke aku yang lain. Biji-biji bahasa berjatuhan. Seseorang melihatku melalui mata sebuah bangsa dari jendela apartemennya, di jalan Eugene Sue, telah berlalu meninggalkan yang telah berlalu. Empat kelompok angin besar, kelabu, bergerak. Membuat perempatan angin di langit. Kelompok awan putih dibaliknya, menyimpan perpustakaan Utara dan Selatan. Bergerak dari empat arah. Biji- biji bahasa memecah identitas, kamus-kamus tercabik, setelah Perancis dan Afrika. Malam datang bersama suara ambulan. Kita belajar sendiri-sendiri ketika bersama. Udara dari tubuhmu membuat biji-biji bahasa tumbuh di atas debu-debu yang berkumpul di balkon apartemen. Asap tembakau menjemput seorang penyair yang bermukin dalam tas kopernya. Burung-burung, anak-anak musim yang setia, menjaganya dengan cerita-cerita botanikal. Penggaris yang mengukur kematian, dan pidato seorang pengangguran di kereta metro, melintasi...

Ibuku

Ibu, aku bersaksi engkaulah perempuan rupawan yang berwajah tersenyum menawan pantulan kebersihan hatimu yang hasan Ibu, aku bersaksi engkaulah guru pertamaku yang mengajari kasih sayang sejati yang mengajariku mulai dari membuat titik lalu menjadi garis-garis dan aksara yang berarti Ibu, aku bersaksi engkaulah seniman yang membimbingku siang malam kepada keindahan semesta alam menuntunku menirukan suara-suara merdu menirukan tarian-tarian dahan yang bergoyang menyalin pemandangan dan panorama dan menuliskan segala pesona Ibu, aku bersaksi engkaulah patriot panutanku yang tak henti mengingatkanku tentang cinta tanah air tempat aku lahir tempat aku mewujud dan bersujud Ibu, aku bersaksi engkaulah mursyidku yang mengenalkanku kepada khaliqku yang syakur yang mendidikku bersabar dan bersyukur berzikir dan tafakur yang melatihku antara khauf-rajaku yang membaur menyerap kasih sayang Ilahi yang luhur Rembang, Desember 2013 A. Mustofa Bisri sumber: Jawa Pos, 20 Desember 2013

Replika Air Mata

seseorang. tumbuh sebagai arang walau di siang manapun, awan-awan empedu melulu terpayung di kepala berbagai langkah-gerah, gundah, menggeledah pori-pori tanah seolah merogoh puing-puing surga yang berajal-ajal belum kunjung tertugal tangan seseorang, adalah bayangan-bayang, bergetayang lalu tumbang oleh taring-taring siang dia, para pendaki waktu persis seperti kita: yang berebut menggerayangkan segala tengadah kepada sebongkah angin jelang senja setelah sawah telah tinggal khasidah dan nelayan terpaku menonton gelombang seseorang, terus berjalan sebagai arang. meski malam tak lagi menghadiahkan mimpi : patung arang yang tengah mendongak pada utara menuju tenggara dengan tatapan senyap yang selalu hancur terbentur dinding terik serta badai yang terlalu sombong menarikan tikam. Hutabolon – Pasir Putih, Okt 08

Sebatang Rokok

malam, tetap saja malam mata mestinya pejam menyelami genangan mimpi kupilih berbincang dengan lengang dan berdekapan dengan arus malam yang semakin lengking sebatang rokok, sebilah pena, sama-sama terbangun, saling mengerling sambil membaca jelaga serta tinta yang semakin mempertegas segalanya yang pernah hilang masih sampai detik ini Hutabolon beach, okt’ 2008 Binoto Hutabalian

Pulang

Langkahmu: hanyalah derap-derap kaki yang merengsek berpacu menuju persembunyian matahari sore satu per satu, dan siapapun itu. cepat atau lambat pasti akan saling melewati maka buntuti jejak-jejak detik yang membekas-lurus: menuju sarang purnama sebab waktu tidak pernah menjalar seperti ular dan tidak akan ada tawar menawar sebab kita telah tumbuh bersama pohon, dan akan tumbang persis saat ada badai. atau siapa kita yang bermimpi: sebuah pulang yang tanpa surga? Nainggolan – Parbaba, 08

Semburat Mu Di Pulauku

: Pekanbaru terakhir aku pamit, dari dekapmu mungkin empat idul fitri lalu bukan pergi, tapi hanya menjenguk kampung yang menahun merendam ingatanku dalam waktu saat di sisimu, tahun telah penuh enam hanya ingin merunuti jejek-jejak bocahku tak begitu jauh, cuma beberapa jengkal ke utara yang dulu pernah membesarkan sekujur ruas-ruas persendianku meninggalkanmu: ialah luka. seperti dadaku yang selalu melulu di goncang rindu tentang beduk-beduk adzan aroma pejalan-kaki-pasar-pagi, gadis pekerudung berhidung mancung, juga pada asmara yang sempat berkecambah di jembatan dekat surau-mu serta aroma jelaga air mata yang berhembus dari arah belukar meninggalkanmu: pilunya mirip pelangi kering yang berpecahan sebelum lengkung dari persimpangan angin ini, masih bening bergiang, bahkan orasi-orasi termasuk jerit pasir pesisir Parbaba beach, Okt, 08

Terowongan Sunyi

hanya dadaku yang tau persis serasa apa sendiri sebab senja masih terdengar merintih saat terpaksa ia mengingatkanku kepada bekas lambaianmu yang berkobar dalam lembayung serta malam yang terus meluap memekarkan bayang-bayangmu yang biasa kutemukan mengenakan gincu merah muda hanya mataku yang paham segala yang bergentayangan dalam kelam saat angin ditunggangi sepi. matahari yang cuma bisa bungkam, atau soal terik yang mengerumun, juga tentang pagi yang belum sekalipun sukses membangunkanku telak di sisimu hanya kakiku yang hapal apa itu letih dan rintih karena menunggumu, lebih dari pendakian panjang yang sungguh menggerus peluh dan nada aduh yang berembun terendam malam serta doa-doa panggil tak juga kunjung meledakkan jejakmu di penghujung terowong sunyi yang yang kau gali hutabolon beach, okt. 2008

Sarang Para Malaikat

: Samosir Island sehelai langit purnama mewarnai kunang-kunang yang terburai dikibas sayap keluang-pulang di bawah semburat awan bening yang tersobek liris-liris angin berisi risau jangkrik, terdengar mengarak-arak sekeping bulan perak ke tenggara sembari menyiulkan sayatan ayat-ayat rindu milik para malaikat perempuan yang bergelantungan di lingkar-pelangi-malam :para malaikat yang pamit dari perjamuan-kayangan, turun menyapa kunang-kunang dan berhinggapan di atas buih reriak danau dari celah surga, tuhan membaca malam tuhan tertarik, tuhan melirik tepian Toba merendam segerombol tubuh malaikat perempuan sesekali tersenyum, saat ombak-ombak mungil terbelah oleh kibas selendang-selendang kiamat yang terus mengibarkan dedenyut waktu tapi, hanya beberapa kokok sebelum gerbang subuh menyala, bahak-bahak tuhan tuntas menguap ke rembulan perak dan tinggal suara seribu-satu kepak berpacu menggapai Pusuk Buhit menyudahi ritual-ritual danau para penghuni angin Pusuk Buhit, Januari

Perempuan Penjaga Dermaga

buatmu, aku pasti sudah angin. ,sejak pernah tuhan mengutukkan selengkung jurang-panjang di jejak-jejak kita hingga entah, siapa dari kita yang sesungguhnya duluan menguap atau yang kemudian terpasung? jikalah aku yang menguap, ke pori tanah yang mana bayang-bayangmu dulu terjepit? pun belum siapa antara kita yang mengaku layu atau telah jadi batu namun surat mantra pencarianku biasanya hanya sanggup kukirim pada langit, atau pada rembulan yang tak pernah pasti kapan sempat menepi juga sayap doa-doaku sering kukepak-kepakkan menjelajah waktu sampai kutemu kemana rangkulku akan melingkar di lehermu lalu, malaikat cengeng yang tak tahan menonton sunyi-perempuan, kecarian pada arah jejakku hingga aku kepergok sedang menulis lagi tentang surat cinta yang itu-itu juga maka dari anginlah aku dirogoh untuk diantar menuju pulau-galau yang ternyata adalah persembunyianmu kutemukan tubuhmu, kaku mungkin sesering itu kau menungguku masih bersama angin senja menjagai pelabuhan sampai ujung-ujungny...

Kibas Purnama di Pesisir Parbaba

seonggok lelaki, tertancap: di sini mengerami percik-percik ombak di pasir-pasir yang malam ini, putihnya, begitu sedapnya oleh sapuan purnama lelaki : membaca ombak dan mulai menghitung satu per satu panah-panah sunyi yang kian meruncing ter-arit angin. dan sebakar resah memuntung di jemari serta kepul asapnya tak sanggup membohongi risau lelaki yang juga ngepul pada ini purnama tak seperti lampau-lampau, ketika malam-madu masih akrab kita cipta tiap tiba malam-panjang : aroma rambut-lumutmu yang baunya sewangi embun telah menysisa ledakan duri, yang tikamnya menancapi sakit ke dinding-dinding ingatan sekeping lelaki, lentang sejajar-pasir selalu ingin menceburi genang langit yang menyakitkan, sebab sendiri-ini telah keterlaluan-sunyi, mengalahkan sunyinya bangkai-bangkai penghuni pekuburan setetes lelaki, teriakkan nama hingga berpetir, mengacak-acak pasir yang juga ialah tentang seayat sumpah yang pernah tumpah di tepi pulau :di genangan danau, Toba, lelaki-retak, mengaduk-aduk pu...

Seikat Doa, dan Pulau Biru

secangkir kenangan belum sempat kau tuang untuk dahagaku saat engkau meronta lagi ke arah-kapal-hilang salah-apa ombak, atau elang-elang putih sehingga tak sederajat pun kau sudi menoleh ke bekas-bekas jejakmu? belum lagi tanda-tanda malam membintik di tenggara, telah kau gulung senyummu menjadi sebuah lambai yang kau kibas dengan nada-hambar sambil kau tarikan jurus langkah-amarah bahkan belum sebatang rokok pun kuresapi sore ini ketika kita-coba berbincang menemani butir-pesisir yang sebentar lagi pasti berubah jadi lampu malu-malu di pelabuhan, begitulah. pergimu telah membekukan sekeping-sisa-lembayung, langit sebuah-beranda yang belum pernah berhasil menimang bola matamu. Beginilah senja-senja sepeninggalmu, sepenghuni pulau telah letih merintihkan rindu-rindu-purnamanya, tapi aku masih saja, masih tetap seorang pramusuara, yang bagai-api membunyikan melodi-melodi-gitar-kenangan ke sepenjuru cuaca malam di pub cattage-cottage hingga ke deretan bungalo yang-satu-satu tampak telah...

Kalender Tanpa Berahi

melulu, gelap terbakar di akar-akar senja mengasapi kaca jendela kamar saat mulai kurumahi ranjang sebagai pelaminan tanpa aroma kelamin sebagaimana sesediakala setiapkali pagi tak lagi paham angka setiapkali tanah kuburan menyemat di matahari, bilangan senja itu melulu kobaran tangis serupa gerimis yang menderas di rindang daun meski tanpa alir sungai, walau tanpa biduk, pun tanpa kibar layar, aku mesti menjalar menuju debar-debar yang sangkut di gunduk ombak. ke juruMu: kutub sepi yang terlupa. yang terkeranda di atas meja kayu menghitung lengang ini, sama sumbangnya dengan cericit angin, serupa menciumi berkas bayangmu, melulu, rembulan menyusu di mataku serta angin yang setia mengusap air mata tapi, engkau masih melekat di bibir, masih menarikan tari sunyi seolah-olah ingin kau pertegas lekuk berahi ke dadaku hingga gelap merayapi paru, hingga sesuap cinta gagal terkunyah, seluruh lamban-waktu mungkin telah tuntas kuhirup, tanpa terbayar hutang berahi yang masih kau erami di jemari...

Wawancara dengan Penyair F. Rahardi

JAKARTA – Orang menyangka, penyair F Rahardi (36 tahun) sekedar bersensasi dengan sejumlah sajaknya. Agaknya komentar itu tidak mengada-ada. Kumpulan sajak pertama (1983) “Soempah WTS” ketika dibaca di TIM, hampir saja memboyong WTS Kramat Tunggak, Bongkaran, dan Boker. Dewan Kesenian Jakarta tak memberi lampu hijau. Kumpulan sajak kedua (1985) “Catatan Harian Sang Koruptor” dibaca tanggal 22 Januari ini di TIM. Ini pun, nyaris meminta rekomendasi menggaet sejumlah eks koruptor, Budiaji, Brongkos, dan Ny. Dewi masuk daftar rencananya. Tapi tak jadi. Alasannya, sulit. Begitu ketahuan dan disidang, mereka lantas pensiun dari profesi berkorupsi. Susah juga mengajak orang tak lagi terlibat.