Langsung ke konten utama

Jembatan Iblis dari Keningku

Buat BOT, Marianne dan Elia

Sebuah gereja dalam salju. Kursinya membekukan kekosongan.
Pintunya menutup musim dingin. Salin masih terus membekukkan
sunyi. Di Gotthard, melewati Zurich ke Andemartt, sebuah hotel
dalam salju. Albergo San Gottardo. Pintunya menutup musim
dingin dari 5 menit musim panas. Lima jam mendaki,
menyesatkan diri dalam lubang-lubang udara. Kota telah berlalu
dalam kenangan memasak dan mesin printer. Lembah-lembah
Urseren dan Laventina. Setiap belokan, melingkar. Arsitektur
kesunyian, melingkar. Konstruksi kesedihan, melingkar.
Mengubah warna kenangan dan gua-gua bekas peninggalan
militer. Melingkar di bawah tebing-tebing batu di atas tebing-
tebing batu yang kembali ke bawah dan ke atas. Ke luar dan ke
dalam.

Cahaya dari bukit-bukit batu, mengelupas melewati erangan
Salju di musim panas, benturan antara yang berlalu dan
berkelanjutan. Ruang di sini terus menciptakan dirinya berulang-
ulang, untuk menyesatkan waktu dalam perjanjian antara iblis
dan pendeta suci Gottardo, antara monumen kesunyian dan
tebing-tebing sejarah. 800 tahun lalu melewati tebing-tebing
Schollenen dan Reuss, di atas jembatan Teufelsbrucke, iblis yang
tertipu seekor kambing. Di bawahnya, air dari lelehan salju
masih terus mengalirkan potret-potret perang Napoleon. Tubuh
melawan tubuh, membuktikan waktu. Jiwa melawan jiwa,
membuktikan yang berulang. Udara menjadi begitu curam, 9
derajat di bawah kultur yang ketakutan.

6 jam berjalan kaki, turun dari kecuraman waktu, sampai di
Airolo. Makan malam di Lauzers, di tepi sungai. Di tepi
Bayanganku yang curam.

Afrizal Malna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007