Langsung ke konten utama

Kibas Purnama di Pesisir Parbaba

seonggok lelaki, tertancap: di sini
mengerami percik-percik ombak
di pasir-pasir
yang malam ini, putihnya,
begitu sedapnya oleh sapuan purnama

lelaki : membaca ombak
dan mulai menghitung satu per satu
panah-panah sunyi yang kian meruncing
ter-arit angin.
dan sebakar resah memuntung di jemari
serta kepul asapnya tak sanggup
membohongi risau lelaki yang juga ngepul
pada ini purnama

tak seperti lampau-lampau,
ketika malam-madu masih
akrab kita cipta tiap tiba malam-panjang
: aroma rambut-lumutmu
yang baunya sewangi embun
telah menysisa ledakan duri, yang tikamnya
menancapi sakit ke dinding-dinding ingatan

sekeping lelaki, lentang sejajar-pasir
selalu ingin menceburi genang langit
yang menyakitkan,
sebab sendiri-ini
telah keterlaluan-sunyi, mengalahkan
sunyinya bangkai-bangkai penghuni pekuburan

setetes lelaki, teriakkan nama hingga berpetir,
mengacak-acak pasir yang juga
ialah tentang seayat sumpah
yang pernah tumpah di tepi pulau

:di genangan danau, Toba,
lelaki-retak, mengaduk-aduk puing air mata
sembari menunggumu, persis di pesisir Samosir
sebab eembun yang selalu kuwarnai dengan rindu
telah semakin jelma tembok hitam yang meninggi

Pasir Putih – Parbaba, Okt ‘08

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...