Langsung ke konten utama

Wawancara dengan Penyair F. Rahardi

F. Rahardi

JAKARTA – Orang menyangka, penyair F Rahardi (36 tahun) sekedar bersensasi dengan sejumlah sajaknya. Agaknya komentar itu tidak mengada-ada. Kumpulan sajak pertama (1983) “Soempah WTS” ketika dibaca di TIM, hampir saja memboyong WTS Kramat Tunggak, Bongkaran, dan Boker. Dewan Kesenian Jakarta tak memberi lampu hijau.

Kumpulan sajak kedua (1985) “Catatan Harian Sang Koruptor” dibaca tanggal 22 Januari ini di TIM. Ini pun, nyaris meminta rekomendasi menggaet sejumlah eks koruptor, Budiaji, Brongkos, dan Ny. Dewi masuk daftar rencananya. Tapi tak jadi. Alasannya, sulit. Begitu ketahuan dan disidang, mereka lantas pensiun dari profesi berkorupsi. Susah juga mengajak orang tak lagi terlibat.

Sensasi atau kerja serius berikut konsep kuat, harus dipertanyakan. Inilah selintas telaahan, katakanlah gugatan menelusuri arus dasar pemikiran proses penciptaannya melalui tanya jawab “SH” di TIM, baru-baru ini.

Tanya : Apa hubungan korupsi dan diri anda?
Jawab : Digoda masalah korupsi sejak masih hidup di desa, sebagai guru SD. Tinggal di Jakarta, masalah ini menjadi semakin jelas dan menarik. Mengamati secara serius dan sistematis antara 1980-1983. Waktu itu saya tuangkan dalam karya sastra tapi gagal.

Tanya : Kenapa?
Jawab : Mungkin saya belum mengambil jarak dengan masalah tersebut. Saya ingin bersikap netral. Sebagaimana saya lakukan ketika mengambil obyek WTS.

Bercanda

Tanya : Oke, kini anda sudah bisa mengambil jarak. Pengamatan terhadap korupsi, sudah terhimpun dalam “Catatan Harian Sang Koruptor”. Dan anda menggunakan bahasa mengucapkan main-main, bercanda. Apakah itu lantaran lebih aman?

Tanya : Ada beberapa cara menggarap.

Jawab : Kita bisa meledak-ledak seperti politisi pidato kampanye pemilu. Bisa romantis mengiba-iba meratapi rakyat yang gembel dan tergencet sambil mengutuk mereka yang korup. Saya tidak memilih cara seperti itu. Tidak cocok dengan pribadi saya. Saya dibesarkan dalam tradisi masyarakat kelas bawah di Jawa Tengah. Masyarakat di sekitar saya itu kalau digencet dan diperlakukan sewenang-wenang tak pernah berontak atau mengiba-iba. Ibarat para Punakawan dalam cerita wayang, mereka senantiasa bercanda, bahkan dalam keadaan paling susah sekalipun. Saya mengambil cara tersebut untuk menggarap masalah korupsi dalam puisi saya.

Tanya : Apa yang anda peroleh dari pengamatan masalah korupsi selama ini?
Jawab : Banyak pola berkorupsi saya temukan, termasuk pola-pola baru yang lebih aman dalam arti, tak memberi risiko terlalu besar. Saya bagi menjadi tujuh pola korupsi. Pertama “pola konvensional”, uang pemerintah atau uang perusahaan diembat langsung dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kedua “pola kuitansi fiktif”, melakukan kegiatan atau pembelian yang sebenarnya tidak ada tapi bisa dibuktikan secara administratif. Misalnya Bimas fiktif, reboisasi fiktif. Ketiga “pola komisi”, pada pembelian barang dalam jumlah banyak, produsen memberi komisi 10 sampai 40 persen. Komisi ini bisa dimakan semua, bisa juga dikembalikan ke kantor tapi masih ada komisi khusus lagi.

Keempat “upeti”, pola ini pengembangan dari pola komisi dan pola menyuap serta menyogok. Kelima “pola menjegal order”, misalnya orang yang kerja di perusahaan kontraktor bertugas mencari order. Begitu dapat dilempar ke perusahaan lain untuk mendapat imbalan atau malah digarap sendiri. Keenam “pola perusahaan rekanan”, ini kalau anda jadi pimpro atau direktur di departemen, bikin perusahaan atas nama keponakan, cucu, atau pak De agar setiap saat bisa bikin tender fiktif dan mendapat tender dengan murah. Ketujuh “Pola penyalahgunaan jabatan/wewenang”. Contohnya dalam kepengurusan KTP, Surat G 30 S, juga Polantas yang menerima uang damai di jalanan.

Tanya : Hubungan kepenyairan anda dalam penciptaan puisi bertema koruptor itu?
Jawab : Sebagai penyair, tetap yang saya kejar adalah efek sastranya. Apa dengan puisi saya lalu bisa membuat koruptor bertobat? Ya tidak, bukan? Biar ada Pastur, Kyai, Pendeta, toh koruptor juga tak jera-jera. Jadi, sekali lagi Koruptor hanyalah obyek puisi saya dan yang ingin saya capai adalah efek sastra.

Tanya : Sudah terkejar?
Jawab : Itu saya serahkan kepada para penikmat. Menurut saya sendiri sih, begitu sajak selesai saya tulis dan akan terbit, saya merasa sudah memenuhi efek sastra.

Sikap

Wawancara di atas barangkali bisa memberi gambaran, sikap dan konsep kepenyairan F. Rahardi. Sahkah dia sebagai penyair dengan pemilihan bentuk pengucapan tersebut, barangkali kita harus melihatnya pada gaya bertutur bercanda, main-main, yang diibaratkan tokoh Punakawan itu. Punakawan, dalam budaya Jawa, guyonannya kadang sepele, enteng tapi mengandung dasar filosofi.

Maka bisa direntangkan, filosofi, adalah landasan estetika puisi F. Rahardi, tentu saja di balik main-mainnya itu. Tak berlebihan kiranya, apabila menyebut puisi-puisi F. Rahardi sebagai puisi tematik dan estetik, sekaligus.

F. Rahardi, bapak tiga anak, mulai menegakkan ekonomi keluarga di Jakarta dengan bekerja sebagai ilustrator majalah Trubus, bergaji Rp 25.000 per bulan. Kini jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Majalah tersebut, dengan oplah 40.000 eksemplar (oplah majalah pertanian terbesar di Indonesia).

Anak seorang penjahit di Ambarawa, beristrikan Sarjana Sastra yang kini guru SMA di Jakarta Timur itu, mengaku baru tahun 1985 memiliki rumah. Itu pun atas pinjaman kantor. Juga mengaku tak pernah berkorupsi, sehari-hari naik bis kota, sementara anak buahnya sudah banyak yang memiliki mobil.

Sajaknya terbaru, berjudul “Jimat” (Tidak ada pada kumpulan “Catatan Harian Sang Koruptor” tapi dibaca juga), beberapa baris kalimatnya demikian :

jimat itu bulat/warnanya coklat
tak bertangan tak berkaki tak bersayap
tapi mudah sekali pindah/dari tas pejabat
ke dompet hostes/dari kantung gali
ke ransel polisi
jimat itu gesit/bisa terbang dari Jayapura
ke Jakarta tanpa tiket/bisa melaju dari
gunung kawi/ke gunug agung
dengan kecepatan 150 km per jam/tanpa ditilang polisi.

(SH/Tuti Gentini)

Sumber : SH – 18/1/84
Sumber : Blog Sastra F. Rahardi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...