:Hello Ulrike Draesner
Malam, sebelum agak malam. Buku-buku mengaborsi suami,
setelah suami mulai kehilangan lelaki. Radius yang tidak pernah
berubah antara daftar surat masuk dan surat ke luar. Pisau bedah
di ujung bahasa, botol infus dari balik gerbang Berlin,
mengaborsi lampu-lampu malam. Ukuran kemeja yang tidak bisa
memperbesar bayangan lelaki di luar rumah. Apakah puisi,
tanyamu: di antara kursus-kursus bahasa, memindahkan kultur
kota dari mural East Side Gallery ke tembok yang lain, dan bau
mentega yang menciptakan lidah di antara pisau. Dekontruksi
memori dari rahim ke bekas reruntuhan pesawat. Lebih turun
lagi ke rasa berantakan. Kau rasakan, puisi mengambil jiwaku
untuk mendapatkan bayangan bahasa, ruangnya yang tak punya
luar dan tak punya dalam. Gravitasi cinta yang melampaui benua,
menyentuh seorang anak India dalam pelukanmu. Lebih naik
lagi, kata yang meruntuhkan setiap representasi. Agak malam
setelah malam. Kau rasakan dinding-dinding rumah masih
merasakan setiap memori yang melepaskan diri dari sejarah,
dengan membaca, melalui dan mengalami membaca, jembatan-
jembatan yang mengantar cerita. Apakah puisi, tanyaku: sebuah
potongan tiket kereta di stasiun Beusselstrasse, menciptakan
bayangan angin ke Rosenthaler Platz. Memindahkan puisi antar
benua dari perangkap kata, dari setiap terjemahan yang mencium
bau luka. Aku masukkan lenganku ke dalam bahasa, kau tanam
musim berwarna putih dalam senyummu. Aku masih bisa
mencium rempah-rempah yang melangkah di belakangku,
memunggungi waktu, merayuku antara dekorasi Jawa dan aku
yang diperbanyak dalam mesin foto copy. Malam, setelah
melalui malam. Apakah puisi. Kita potret bahasa. Banyangan
mengelupas. Mengaborsi cahaya dari setiap rahim yang ingin
melahirkannya. Apakah puisi: mesin jahit yang terus menjahit
bayangan antara tubuh dan setelah tubuh. Membuat kobaran
sunyi dalam pakaian yang telah ditinggalkan. Malam, setelah
malam tak lagi di sini.
Afrizal Malna
Malam, sebelum agak malam. Buku-buku mengaborsi suami,
setelah suami mulai kehilangan lelaki. Radius yang tidak pernah
berubah antara daftar surat masuk dan surat ke luar. Pisau bedah
di ujung bahasa, botol infus dari balik gerbang Berlin,
mengaborsi lampu-lampu malam. Ukuran kemeja yang tidak bisa
memperbesar bayangan lelaki di luar rumah. Apakah puisi,
tanyamu: di antara kursus-kursus bahasa, memindahkan kultur
kota dari mural East Side Gallery ke tembok yang lain, dan bau
mentega yang menciptakan lidah di antara pisau. Dekontruksi
memori dari rahim ke bekas reruntuhan pesawat. Lebih turun
lagi ke rasa berantakan. Kau rasakan, puisi mengambil jiwaku
untuk mendapatkan bayangan bahasa, ruangnya yang tak punya
luar dan tak punya dalam. Gravitasi cinta yang melampaui benua,
menyentuh seorang anak India dalam pelukanmu. Lebih naik
lagi, kata yang meruntuhkan setiap representasi. Agak malam
setelah malam. Kau rasakan dinding-dinding rumah masih
merasakan setiap memori yang melepaskan diri dari sejarah,
dengan membaca, melalui dan mengalami membaca, jembatan-
jembatan yang mengantar cerita. Apakah puisi, tanyaku: sebuah
potongan tiket kereta di stasiun Beusselstrasse, menciptakan
bayangan angin ke Rosenthaler Platz. Memindahkan puisi antar
benua dari perangkap kata, dari setiap terjemahan yang mencium
bau luka. Aku masukkan lenganku ke dalam bahasa, kau tanam
musim berwarna putih dalam senyummu. Aku masih bisa
mencium rempah-rempah yang melangkah di belakangku,
memunggungi waktu, merayuku antara dekorasi Jawa dan aku
yang diperbanyak dalam mesin foto copy. Malam, setelah
melalui malam. Apakah puisi. Kita potret bahasa. Banyangan
mengelupas. Mengaborsi cahaya dari setiap rahim yang ingin
melahirkannya. Apakah puisi: mesin jahit yang terus menjahit
bayangan antara tubuh dan setelah tubuh. Membuat kobaran
sunyi dalam pakaian yang telah ditinggalkan. Malam, setelah
malam tak lagi di sini.
Afrizal Malna
Komentar
Posting Komentar