melulu, gelap terbakar
di akar-akar senja
mengasapi kaca jendela kamar
saat mulai kurumahi ranjang
sebagai pelaminan tanpa aroma kelamin
sebagaimana sesediakala
setiapkali pagi tak lagi paham angka
setiapkali tanah kuburan menyemat di matahari,
bilangan senja itu
melulu kobaran tangis serupa gerimis
yang menderas di rindang daun
meski tanpa alir sungai,
walau tanpa biduk,
pun tanpa kibar layar,
aku mesti menjalar menuju debar-debar
yang sangkut di gunduk ombak.
ke juruMu: kutub sepi yang terlupa.
yang terkeranda di atas meja kayu
menghitung lengang ini,
sama sumbangnya dengan cericit angin,
serupa menciumi berkas bayangmu,
melulu, rembulan menyusu di mataku
serta angin yang setia mengusap air mata
tapi, engkau masih melekat di bibir,
masih menarikan tari sunyi
seolah-olah ingin kau pertegas lekuk berahi ke dadaku
hingga gelap merayapi paru,
hingga sesuap cinta gagal terkunyah,
seluruh lamban-waktu
mungkin telah tuntas kuhirup,
tanpa terbayar hutang berahi
yang masih kau erami di jemari
tapi subuh masih pedas,
tapi senja masih masam,
tapi malam masih pahit
dan siang ternyata masih sesepat kemarau.
Samosir, Oktober 2008
di akar-akar senja
mengasapi kaca jendela kamar
saat mulai kurumahi ranjang
sebagai pelaminan tanpa aroma kelamin
sebagaimana sesediakala
setiapkali pagi tak lagi paham angka
setiapkali tanah kuburan menyemat di matahari,
bilangan senja itu
melulu kobaran tangis serupa gerimis
yang menderas di rindang daun
meski tanpa alir sungai,
walau tanpa biduk,
pun tanpa kibar layar,
aku mesti menjalar menuju debar-debar
yang sangkut di gunduk ombak.
ke juruMu: kutub sepi yang terlupa.
yang terkeranda di atas meja kayu
menghitung lengang ini,
sama sumbangnya dengan cericit angin,
serupa menciumi berkas bayangmu,
melulu, rembulan menyusu di mataku
serta angin yang setia mengusap air mata
tapi, engkau masih melekat di bibir,
masih menarikan tari sunyi
seolah-olah ingin kau pertegas lekuk berahi ke dadaku
hingga gelap merayapi paru,
hingga sesuap cinta gagal terkunyah,
seluruh lamban-waktu
mungkin telah tuntas kuhirup,
tanpa terbayar hutang berahi
yang masih kau erami di jemari
tapi subuh masih pedas,
tapi senja masih masam,
tapi malam masih pahit
dan siang ternyata masih sesepat kemarau.
Samosir, Oktober 2008
Komentar
Posting Komentar