Langsung ke konten utama

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya
bisa juga mencuri kesempatan,
bertemu dengan Penyair Pujaan.

Sejumlah pertanyaan sudah lama
dia persiapkan. Sudah lama mendesak,
"kapan kami diajukan?"
Tapi, maklum penyair sibuk,
ada saja halangan. Wawancara pun
berkali-kali harus dibatalkan.

***

+ Anda sibuk sekali, Penyair?

Ya, saya harus melayani kemalasan,
masih direcoki oleh khayalan, dan
sesekali harus bersembunyi jauh
keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong
yang sering datang bertamu, tak tentu waktu.

Jangan kira jadi penyair itu enak.
Jangan kira penyair itu seorang
penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair
yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa.
Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit.
Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan.
Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan.

+ Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi?

Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak
melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak
sekali rahim. Menaruh sel telur puisi di dalamnya
dan menyimpannya di suatu tempat yang hangat.
Dalam kenangan, dalam ingatan. Juga dalam
sejumlah perencanaan. Dan keinginan.

Saya sekarang menunggu apa saja datang
menggoda berahi saya untuk bersyairria.
Hingga orgasme berulang sempurna.
Kelak rahim-rahim itu akan terbuahi,
dan lihat saja nanti, akan berlahiran anak-anak puisi.
Dan rumah ini tak akan sepi lagi. Menggantikan
suara-suara lama yang entah pergi kemana
mencari gema-gemanya sendiri.

+ Apa sebenarnya cita-cita Anda?

Ah, pertanyaanmu terlalu biasa. Mestinya semua
orang tahu, penyair itu harus bercita-cita
menemukan bahasa sendiri. Itu juga yang
sekarang sedang saya kejar ke sana kemari.
Berburu kata, berburu tata, berburu dusta dan cinta.
Kelak kalau semuanya terkumpul, nah saat itulah
waktunya mengurus sertifikat hak cipta: Ini Bahasa Saya.

+ Anda sudah menemukan apa sekarang?

Terlalu dini untuk saya publikasikan. Tapi,
untuk wawancara ini saja, saya katakan
saya sudah menemukan sebuah awalan
dan sebuah akhiran, dan sebuah kata sambung.

+ Itu saja?

Ya, memangnya kenapa?
Saya toh tidak sedang terburu-buru.

+ Boleh tahu awalan, akhiran dan kata sambung itu?

Nah, saya yakin Anda akan mendesak saya.
Pasti Anda berpikir itu menarik untuk dijudulkan, bukan?
He he, jelek-jelek begini dulu saya pernah ikut
pelatihan wartawan, sebelum tersesat jadi penyair betulan.

***

WAWANCARA pun berakhir. Penyair dan Wartawan itu
pun bersalaman. Tangan menjawab tangan.
"Selamat sibuk, ya?" kata si Wartawan.
"Ya, sampai jumpa di lain wawancara,
siapkan saja pertanyaan yang lebih berbahaya,"
jawab Sang Penyair sambil tertawa-tawa.

04 Agustus 2004
Hasan Aspahani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...