Langsung ke konten utama

Aku Setelah Aku

:eyelight

Aku berdiri sebagai reruntuhan, atau, mungkin sebagai
reruntuhan yang duduk di depan monitor kesunyian. Gelombang-
gelombang memori masih bergerak, seperti mesin scanner yang
mondar-mandir di atas keningku. Batas kematianku dan batas
kecantikanmu, membuat tikungan yang pernah dilalui para
petapa. Aku masih reruntuhan dalam pelukanmu. Batu-batu
bergema dalam puing-puingnya. Menuntunku dari yang jatuh.
Berenang, dalam yang tenggelam. Menghidupkan gamelan mati
di mataku.

Ketukan-ketukan kecil, putaran di kening, lembah-lembah yang
belum pernah kulihat. Aku berdiri melihat garis bibirmu dari
matamu, garis yang dilalui sebuah truk. Seorang perempuan
menyetirnya dengan lengan kirinya yang patah. Ia gulingkan
cermin-cermin busuk ke dalam kaca: aku pada batas-batas
berakhirnya aku. Perempuan yang kecantikannya melumpuhkan
batas-batas militer. Parit-parit bekas peperangan, membuat mata
rantai baru ke telaga. Bebaskanlah aku, bebaskanlah aku dari
kultur yang menawan kebinatanganku.

Ia bergerak, kejutan-kejutan pendek dari setiap bayangan puisi.
Garis pantai lurus dari matanya, semakin lurus dalam horison
keheningan: batas setelah manusia menyerahkan dirinya kembali
sebagai binatang. Perempuan yang kecantikkannya menyihirku
sebagai lelaki setelah lelaki, sebagai aku setelah aku. Kecantikan
yang mengisi kembali botol-botol kosong dalam puisi, setelah
kekejaman di luar tutup botol.

Aku ambil kembali manyatku dari lidahnya. Perempuan yang
kecantikannya terus menerus merajut pecahan-pecahan kaca. Aku tak
percaya, tubuh penuh jahitan setelah aku di depanku.
Perempuan yang kecantikannya membangun sebuah hutan di
mataku, siang-malam, mengisinya dengan binatang-binatang
kecil, pagar jiwa dalam cincin yang mengusir kehancuran makna.
Gua bagi pemuja tubuh dan burung-burung dalam kicauannya.
Di dalam sarangnya, aku dan waktu menjadi purba.

Afrizal Malna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007