Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2013

Selepas 300 Tahun, di Tengah Keberbagaian Kisah Kesusastraan Indonesia

Dari manakah penilaian lahir? Dari manakah pelabelan menetas? Keduanya merupakan perbincangan yang kadang dilupakan. Memandang ke belakang, tiga ratus tahun sejarah kesusastraan Indonesia: Penilaian dan pelabelan banyak berakhir menjadi perdebatan juga jamuan hujatan, peminggiran, bahkan pembakaran dan pelarangan produk kesusastraan. Mengapa ini terjadi? Apakah Tuhan tak merestui pelabelan? Saya tak begitu yakin sebab pelabelan mengada di tengah keberbagaian sebagai fitrah Tuhan. Tapi ada sesuatu yang menarik bila kita libatkan pertanyaan-pertanyaan itu pada sejarah masa silam. Goethe penyair Jerman pernah mengungkapkan: “Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.” *** Tiga abad silam, sebelum Indonesia belum menjadi bangsa. Di Aceh dimana berkembang nilai-nilai islam yang dibawa oleh beberapa ulama yang kemudian menuliskan ajaran-ajaran islam dalam tulisan Arab dan Parsi. Hamzah Fansuri merintis penulisan kitab keagamaan Isl...

Ruuang Publik Industri Sastra

RUANG PUBLIK INDUSTRI SASTRA Sebuah perjuangan penulis gelandangan untuk dapat menjumpai ruang publik sastra di media cetak adalah usaha untuk merobohkan dominasi penguasa sastra yang telah terlilit oleh sebuah mekanisme Industri. Ruang publik sastra di media cetak seperti sebuah jalan tol publikasi karya sastrawan mapan. Semakin kesulitan membedakan mana yang menjadi korban dan mana yang mengorbankan. Sastrawan yang telah mapan merasa setiap muntahan penanya selalu ada daya tampungnya. Kualitas sastra telah menjadi industri yang saling melengkapi dan saling menunggangi dalam kepentingannya masing-masing. Ada sebuah kabut yang bernama dunia industri dalam media cetak yang mengakibatkan penulis gelandangan seperti menjumpai tembok tinggi dalam usahanya menjumpai ruang publik sastra di media cetak. “Dunia Industri hanya mengenal fakta yang dapat di ukur.Buku yang dapat di jual,bukan bermutu atau tidak (Jalan Sastra,Arswendo A,Sindo).Hal ini memunculkan sebuah pandangan Redaktur media c...

Ada yang tersisa dari pelukanmu

Gelap yang gagal,cambuk langit patah-patah dan jarang. Dari jauh gemuruh tawa,dari oramg-orang tercinta sisakan satu halaman di jiwa,yaitu seikat kembang jingga dan putihnya do'a. Gelap itu luntur,di pintu tempat aku memeluk mu,ya...,ada harum tubuhmu yang tersisa. Ada cinta yang mengalir tertinggal di sini. Tanpamu,jalan dan langit yang ku hampiri adalah tak bernyanyi dan,gelap yang mengendap di tiap tikungan,aku hanya pengelana. Gelap itu hanya mata,putihmu sumber penerang masih tersisa. Masih ada ,dan selalu sisa tinggal bekaskan disini.

Sajak ilalang kering

Jika kau tanya, siapa aku: Aku adalah ilalang kecil yang jauh dari maha-meru ,terinjak dan guncang di mainkan derasnya angin ,tak berarti tajam yang di pucuknya tapi goresnya sia-sia,dan bunganya bergelanyut di sapu angin entah. Jika kau tanya ,alamatku: di bawah langit kesia-siaan kujepitkan nafas helai demi helai.suaraku kadang nyaris tak terdengar dan tanganpun meraih badai Aku di lahirkan di bumi merah tempat penindasan membangun istana megah,dan ketimpangan merajai mimpi-mimpi putih anak negeri.pada waktu dimana jalan-jalan tiap tapak menjadi saksi jiwa-jiwa yang terlindas oleh derap rolling stone Pagi kemarin aku menyapa mentari,kubacakan puisi ku satu-satu ,ya....puisi ilalang kering dari ladang tandusku ,dengan harapan langit mendengar,tapi sia-sia,hanya memeluk sia-sia. Barangkali di senja ini di pelabuhan terakhir' kubakar diktat yang lunglai setelah dibentu-benturkan dan di remuk-remuk dari lorong hampa ke lorong hampa lainya.di sinilah ku coba gadaikan jiwaku untuk meni...