Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Herman Sahdi

Mulut komat-kamit

Komat-kamit mulut umat
Komat-kamit satu kiblat
Berat

Komat-komat kamit-kamit
Kumat

Komat-kamit mulut kumat
Saling hujat saling nekat
Bejat

Komat-kamit mulut jahat
Saling pelet saling umpat
Sesat

Mulut jahat komat-kamit, kumat
Bejat bin sesat

Berat
Berat
Berat
Umat satu kiblat
Berat

Mulut umat komat-kamit
Tak kumat tak jahat
Tak hujat tak sesat
Tepat kiblat, debat mufakat
Selamat
---

Maaf

Mungkin tak ada lagi yang dapat kusampaikan
Aku hambar dalam kecapanmu

Kuakui
salah itu datang dariku
Lalu kau mencicipi pahitnya

Maaf...

Biar kuremas diri ini
agar tak ada lagi
sisa kepahitan padamu
walau terlanjur membekas

Aku berjanji
tak lagi pergi dari dermagamu
---

mata

mataku
melihat-lihat
jauh-dekat
gelap-terang
pelangi
putih
putih dihitamkan
hitam memutih
hitam pekat
mata
mataku kumat
ma ta
ta ma
ma ta
ma ta - mata
ma ta
ta ma
ma ta
mataku berat
mata
mata-mata
mataku tamat
---


hidup

hidup untuk berjuang
berjuang untuk menang
menang untuk senang
senang untuk pulang
pulang pada kematian
---

tong kosong

tong kosong nyaring bunyinya
terdengar bual gombal belaka

membunyikan nyaring-nyaringan
menyembunyikan kekosongan

1000 kata manis terucap
Tak satu pun bisa terungkap
Pergi kemana hinggap
Lenyap

Kita akan terbakar
Pada kekosongan yang menyambar
Lenyap

Kita tak akan pernah menyatukan pendapat
Apalagi bergerak cepat-tepat
Manakala bumi masih terguncang kekosongan
---

Menyerah

cukup lama aku terdiam di sampingmu
membeku seperti bongkahan es di kutub utara
cuma bisa menahan kerinduan
tanpa kudapat senyum hangatmu

dadaku meledak-ledak
gemuruh tak terkira
entah sampai kapan
mampu tuk kutahan

mengungkapkan cinta tidaklah semudah membalikkan telapak tangan
ada atmosfer lain di baliknya
aku tak mampu
magnetmu buatku tak jauh pergi
tetap tertahan di sini
di tengah dunia yang dingin

kini, aku terombang-ambing tak tentu arah
kadang lenyap kadang timbul
hampir membeku
menyerah
pasrah
---

tunas bangsa

di tanah subur kulangkahkan kaki
berkobarlah semangat berapi-api
dalam dada gegap gempita

di tanah subur kumulai berlari
menggerakkan hati
mengejar mimpi-mimpi

di tanah subur aku berjanji
dalam hidup dalam mati
tak kan melarikan diri

ini tubuh punyaku sendiri
aku pula yang merasakan perih
bukan kau atau dia

tak apa dengan perkataanku
negeri sendiri jadi ibuku
tempatku menyusu, bertumpah darahku

mana mungkin aku menjajah ibu sendiri
bukankah dia baru saja reda dari tersedunya?

Mari bangun!
boleh kau turut dalam gerakku
menyatu jadi kesatuan yang padu
Hidup dalam merdeka
Merdeka untuk hidup

mari!

Aku tahu
Kitalah tunas yang disebut itu
---

buta

aku buta setiap melihat kau tersenyum
wajahmu begitu menyilaukan mata ini
yang sesekali melingintip lewat mata yang sipit

hari sabtu kemaren tak ada senyum dari,mu
hati ini gelisah seperti disayat sembilu
menahan sakitnya seribu tusukan rindu
kau yang kutunggu
apabila ada musim yang paling indah, mungkin akan kubawa kau ke sana
tapi aku tak punya apa apa untukmu
sekadar bilik kecil yang teramat sederhana
itupun adalah ruang yang gelap

siapa lagi yang akan aku cari jika kau pergi
tentu aku akan lupa untuka mencari
ya, kau lagi, kau lagi
kuharap semua aharapan akan terwujud
tentunya rasa cinta itu untukmu

ya, kau yang pergi
cepatlah kembali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...