Jika kau tanya, siapa aku:
Aku adalah ilalang kecil yang jauh dari maha-meru ,terinjak dan guncang di mainkan derasnya angin ,tak berarti tajam yang di pucuknya tapi goresnya sia-sia,dan bunganya bergelanyut di sapu angin entah.
Jika kau tanya ,alamatku: di bawah langit kesia-siaan kujepitkan nafas helai demi helai.suaraku kadang nyaris tak terdengar dan tanganpun meraih badai
Aku di lahirkan di bumi merah tempat penindasan membangun istana megah,dan ketimpangan merajai mimpi-mimpi putih anak negeri.pada waktu dimana jalan-jalan tiap tapak menjadi saksi jiwa-jiwa yang terlindas oleh derap rolling stone
Pagi kemarin aku menyapa mentari,kubacakan puisi ku satu-satu ,ya....puisi ilalang kering dari ladang tandusku ,dengan harapan langit mendengar,tapi sia-sia,hanya memeluk sia-sia.
Barangkali di senja ini di pelabuhan terakhir' kubakar diktat yang lunglai setelah dibentu-benturkan dan di remuk-remuk dari lorong hampa ke lorong hampa lainya.di sinilah ku coba gadaikan jiwaku untuk menimang mimpi terbang bersama kebebasan.
Kah kau dengar elang lain dari benua kesedihan memekak langit,wahai kebebasan sudilah melintas di awan kepakan sayap terakhir elang yang rapuh dan terluka ini,atas nama kemacetan yang bersetubuh dengan bumi dan lautan.
Tapi aku hanya ilalang kering yang mengangguk dan bernyanyi jika ada angin meniup.
Maaf bumiku dan lautan,maaf tanah dan airmu yang biru ,kali ini aku hanya bisa.seperti yang ku bisa ini.
Aku adalah ilalang kecil yang jauh dari maha-meru ,terinjak dan guncang di mainkan derasnya angin ,tak berarti tajam yang di pucuknya tapi goresnya sia-sia,dan bunganya bergelanyut di sapu angin entah.
Jika kau tanya ,alamatku: di bawah langit kesia-siaan kujepitkan nafas helai demi helai.suaraku kadang nyaris tak terdengar dan tanganpun meraih badai
Aku di lahirkan di bumi merah tempat penindasan membangun istana megah,dan ketimpangan merajai mimpi-mimpi putih anak negeri.pada waktu dimana jalan-jalan tiap tapak menjadi saksi jiwa-jiwa yang terlindas oleh derap rolling stone
Pagi kemarin aku menyapa mentari,kubacakan puisi ku satu-satu ,ya....puisi ilalang kering dari ladang tandusku ,dengan harapan langit mendengar,tapi sia-sia,hanya memeluk sia-sia.
Barangkali di senja ini di pelabuhan terakhir' kubakar diktat yang lunglai setelah dibentu-benturkan dan di remuk-remuk dari lorong hampa ke lorong hampa lainya.di sinilah ku coba gadaikan jiwaku untuk menimang mimpi terbang bersama kebebasan.
Kah kau dengar elang lain dari benua kesedihan memekak langit,wahai kebebasan sudilah melintas di awan kepakan sayap terakhir elang yang rapuh dan terluka ini,atas nama kemacetan yang bersetubuh dengan bumi dan lautan.
Tapi aku hanya ilalang kering yang mengangguk dan bernyanyi jika ada angin meniup.
Maaf bumiku dan lautan,maaf tanah dan airmu yang biru ,kali ini aku hanya bisa.seperti yang ku bisa ini.
Komentar
Posting Komentar