Langsung ke konten utama

Sajak ilalang kering

Jika kau tanya, siapa aku:
Aku adalah ilalang kecil yang jauh dari maha-meru ,terinjak dan guncang di mainkan derasnya angin ,tak berarti tajam yang di pucuknya tapi goresnya sia-sia,dan bunganya bergelanyut di sapu angin entah.

Jika kau tanya ,alamatku: di bawah langit kesia-siaan kujepitkan nafas helai demi helai.suaraku kadang nyaris tak terdengar dan tanganpun meraih badai

Aku di lahirkan di bumi merah tempat penindasan membangun istana megah,dan ketimpangan merajai mimpi-mimpi putih anak negeri.pada waktu dimana jalan-jalan tiap tapak menjadi saksi jiwa-jiwa yang terlindas oleh derap rolling stone

Pagi kemarin aku menyapa mentari,kubacakan puisi ku satu-satu ,ya....puisi ilalang kering dari ladang tandusku ,dengan harapan langit mendengar,tapi sia-sia,hanya memeluk sia-sia.

Barangkali di senja ini di pelabuhan terakhir' kubakar diktat yang lunglai setelah dibentu-benturkan dan di remuk-remuk dari lorong hampa ke lorong hampa lainya.di sinilah ku coba gadaikan jiwaku untuk menimang mimpi terbang bersama kebebasan.

Kah kau dengar elang lain dari benua kesedihan memekak langit,wahai kebebasan sudilah melintas di awan kepakan sayap terakhir elang yang rapuh dan terluka ini,atas nama kemacetan yang bersetubuh dengan bumi dan lautan.
Tapi aku hanya ilalang kering yang mengangguk dan bernyanyi jika ada angin meniup.

Maaf bumiku dan lautan,maaf tanah dan airmu yang biru ,kali ini aku hanya bisa.seperti yang ku bisa ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007