Langsung ke konten utama

Selepas 300 Tahun, di Tengah Keberbagaian Kisah Kesusastraan Indonesia

Dari manakah penilaian lahir? Dari manakah pelabelan menetas? Keduanya merupakan perbincangan yang kadang dilupakan. Memandang ke belakang, tiga ratus tahun sejarah kesusastraan Indonesia: Penilaian dan pelabelan banyak berakhir menjadi perdebatan juga jamuan hujatan, peminggiran, bahkan pembakaran dan pelarangan produk kesusastraan.


Mengapa ini terjadi? Apakah Tuhan tak merestui pelabelan? Saya tak begitu yakin sebab pelabelan mengada di tengah keberbagaian sebagai fitrah Tuhan. Tapi ada sesuatu yang menarik bila kita libatkan pertanyaan-pertanyaan itu pada sejarah masa silam. Goethe penyair Jerman pernah mengungkapkan: “Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya.”


***

Tiga abad silam, sebelum Indonesia belum menjadi bangsa. Di Aceh dimana berkembang nilai-nilai islam yang dibawa oleh beberapa ulama yang kemudian menuliskan ajaran-ajaran islam dalam tulisan Arab dan Parsi. Hamzah Fansuri merintis penulisan kitab keagamaan Islam dalam bahasa melayu.


Sampai saat ini dapat dikatakan Hamzah Fansuri adalah tokoh yang misterius, tak ada bukti-bukti tertulis yang memaparkan masa dan perjalanan hidupnya. Apa saja risalah tasawufnya juga jumlah puisi yang ia tulis, kelahiran juga kematiannya dan letak makamnya belum pula diketahui.


Didasarkan dari beberapa kesimpulan para peneliti: Hamzah Fansuri hidup di tengah hiruk pikuk pemberontakan: Perebutan tahta yang terjadi di kerajaan Aceh, krisis politik, juga kerohanian yang merosot dalam kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Ajarannya yang dikenal sebagai Wujudiyah dlolalah dinilai sebagai ajaran sesat: Wujudiyah yang murtad atau wujudiyah yang mulhid lagi zindig. Oleh karena itu dalam lembaran Hikayat Aceh yang ditulis oleh Nur al- Din al- Raniri, menulis nama Hamzah Fansuri dalam Hikayat Aceh sama saja dengan mencoreng nama baik kerajaan yang begitu harum sebagai syiar dan kebudayaan Islam.

Pencorengan nama Hamzah Fansuri dalam sejarah Aceh, juga tak dapat dilepaskan dari beberapa tanggapan kritisnya yang membahayakan kemapanan kerajaan aceh kala itu. Ia menyatakan bahwa kerajaan Aceh keliru memandang tasawuf, sebab mencampur baurkan ajaran Islam dengan kerohanian Hindu; terutama yoga dan meditasi bulan yang sering dilakukan Sultan Iskandar Muda. Ia menyarankan kemudian, agar istana lebih baik dijauhi. Hal ini yang akhirnya memunculkan pembakaran kitab wujudiyah, dan pengikut Hamzah Fansuri dibunuh.

Tragedi yang hampir serupa yang melibatkan pertentangan sikap antara raja dan ulama, juga antara pemuka agama yang berpegang pada syariat dan seorang kyai yang berpegang pada ilmu hakekat terjadi pula di tanah Jawa. Sebuah esai Goenawan Mohammad, Dari Kisah Ketib Anom memaparkan gambaran pertentangan yang sarat dengan unsur-unsur mempertahankan kemapanan kerajaan juga penyelewengan ajaran agama yang berakhir dengan kerisauan juga korban. Esai ini merupakan hasil pembacaan dari Serat Cebolek yang ditulis pujangga Yasadipura I pada abad ke-18.

Pada masa kemapanan kekuasaan Belanda sebagai penjajah. Lembar sejarah kesusastraan indonesia tak luput pula menorehkan kisahnya, dalam bentuk-bentuk tulisan perlawanan yang dimuat dalam berbagai penerbitan Koran juga majalah. Pada awal abad ke-20 Medan Prijaji surat kabar di Bandung yang menggunakan bahasa melayu memuat cerita bersambung dalam bentuk Roman. Salah satunya adalah Mas Marco Martodikromo seorang wartawan sekaligus pengarang yang produktif, menuliskan beberapa roman yang membakar semangat perlawanan.


Tahun 1918: Sebuah puisi berjudul Bahasa, Bangsa dimuat Majalah Jong Sumatra. Ditulis oleh Moh. Yamin yang memaparkan gagasan bahwa tiada bahasa bangsapun hilang. Ia menyatakan dalam puisinya: Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri. Diapit keluarga kanan dan kiri. Besar budiman di tanah melayu. Berduka suka, sertakan rayu. Dalam bahagia bala dan baya.


Gagasan ini; penggunanaan bahasa melayu dalam kehidupan keterjajahan dan keinginan berbangsa yang satu menjadi masif dikobarkan. Pemerintahan kolonial belanda, melihat fenomena itu tak tinggal diam. Sebelum kemapanan pemerintahannya digoyahkan pemberontakan, terjadilah pembuangan pada beberapa sastrawan: Dua diantaranya adalah Mas Marco Martodikromo (kemudian meninggal dalam pembuangan di Digul-Atas Irian Barat) dan Moh. Yamin.
Namun pembuangan, dan pelabelan Belanda terhadap karya kesusastran kala itu sebagai ”bacaan liar” tak menghentikan api perlawanan. Malah menegaskan kesadaran akan adanya musuh bersama, perbedaan-perbedaan mencoba tak dipersoalkan dengan mengutamakan persamaan-persamaan yang kemudian dirumuskan dalam Sumpah Pemuda yang mengakui bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa persatuan: Indonesia.


Geliat kesusastraan semakin memuncak bersama perjalanan tahun. 1933 terbit majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum bernama Poedjangga Baroe. Pada penerbitan nomer pertama, Poedjangga Baroe menuliskan bahwa tujuannya adalah menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesaran itu.
Perkembangan kesusatraan ini memunculkan pula gagasan-gagasan nasionalisme akibat kesadaran bersama atas keterjajahan yang menindas, dan modernisme akibat pengaruh antroposentris yang terus bergulir ke sudut terpencil bumi. Kesusastraan dilahirkan dari banyak sastrawan yang telah meninggalkan bahasa primordialnya, melakukan “migrasi budaya”, menuju kedalam kehidupan bahasa yang bergolak, yang disebut bahasa Indonesia dengan kepercayaan baru bahwa manusia adalah “pusat kreatifitas”. Di jaman inilah: Spirit kesusastraan tumbuh bersama dengan tumbuhnya konsep kebangsaan yang dibulatkan dari beragam etnis dan bahasa-bahasa daerah. Menggunakan bahasa Indonesia tokoh-tokoh Poedjangga Baroe mengkomunikasikan kebebasan, kemerdekaan, juga kesedihan dan kesunyian.


Akibat gagasan yang dinilai kebarat-baratan oleh penjajahan jepang yang menggantikan pemerintahan belanda, majalah Poedjangga Baroe dilarang terbit. Namun bahasa Indonesia mulai tahun 1942, tak terbendung lagi untuk menjadi bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan keseharian. Sebuah strategi baru untuk membisukan kesusastraan dihembuskan oleh Jepang: Pembudakan kesenian. Sastrawan-sastrawan diserukan oleh Jepang untuk menuliskan perihal yang dapat menambah kepercayaan orang pada keunggulan militerisme jepang. Terbagilah dua kubu dalam sastrawan, yang terayu oleh Jepang disindir-sindir dalam bentuk karya sastra oleh kubu yang curiga oleh Jepang. Ketika masa ini, bahasa Indonesia dalam bentuk kesusastraan mengalami pembentukan baru nilai filosofi. Seperi yang dikatakan Chairil Anwar Pelopor angkatan 45 yang tersohor itu, bahwa bahasa Indonesia bukan sekedar gambaran atau tanggapan tentang hidup, melainkan menjelmakan hidup itu sendiri. Bentuk dan cara ungkap bahasa Indonesia dalam kesusatraan pun mengalami perubahan, yaitu ekonominasi kata dan bahasa yang kemudian disebut Idrus sebagai gaya menyoal baru yang serba sederhana. Bahkan dalam perkembangannya kemudian perihal itu berpengaruh pada lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang. Dalam otobiografinya, Sitor Situmorang menuliskan begini: Grup Gelanggang kumpul-kumpul mencoba mencari rumusan situasi budaya tempat kami berada. Ambisi dan Aspirasi menjadi modal besar, dan siapa lagi yang akan merumuskannya kalu bukan “kita semua ini?” Lahirlah dokumen yang dinamakan “Surat kepercayaan Gelanggang” yang memberi titik berat kepada aspirasi “kami” sebagai pewaris “kebudayaan dunia”.


Setelah Indonesia merdeka, majalah Poedjangga Baroe diterbitkan kembali sebelum diganti oleh majalah yang sama bernama Konfrontasi di pertengahan tahun 1954. Untuk pertama kali, penilaian terhadap bahasa Indonesia digulirkan lewat sebuah gagasan Poedjangga Baroe: Bahasa Indonesia bukanlah bahasa Melayu. Hal ini tentu saja melahirkan polemik bahasa dan diperdebatkan oleh beberapa tokoh yang menjunjung melayu tinggi, diantaranya H. Agus Salim, Sultan Moh Zain, SM. Latif. Polemik ini dalam masa yang sama, juga berpengaruh pada kesusastraan yang memperdebatkan antara nilai-nilai ideologi Timur dan Barat.


Beberapa perdebatan kesusastran terus bergulir. Tahun 1953 muncul penilaian bahwa terjadi Krisis Sastra di Indonesia yang kemudian ramai diperbincangkan. Berawal dari tulisan Sudjatmoko dalam majalah Konfrontasi yang menilai bahwa yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang hanya melingkar pada wilayah psikologisme perseorangan semata. Roman-roman besar tak ditulis. Hal ini ditentang oleh H.B. Jassin: Tak terjadi krisis dalam kehidupan sastra Indonesia. Lewat sebuah esai, yang berjudul Krisis H.B Jassin. Sitor situmorang menyatakan bahwa krisis yang terjadi adalah krisis dalam diri H.B Jassin sendiri karena ukurannya tidak matang. Penilaian ini hanya berakhir dengan hujatan, yang kemudian dapat disadari bahwa yang terjadi pada kesusastraan zaman itu adalah kurangnya penerbitan buku dan geliat aktivitas sastra yang berpusat pada majalah.


Namun pada tahun 1963, akhir dari cerita akibat penilaian dan pelabelan kesusastran kembali pada peradaban kerajaan: Terjadi pelarangan produk kesusastran dan penyerangan, juga peminggiran pada beberapa sastrawan. Suhu politik dimana Partai Komunis (PKI) Indonesia mengalami puncak kejayaan, bersama Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai organisasi turunannya menyerang beberapa sastrawan yang dinilai berlawanan dengan prinsipnya: Seni untuk seni. 17 agustus 1963 menorehkan awal tragedi kesusastraan modern Indonesia: Manifes Kebudayaan yang menempatkan otonomi seni dalam kehidupan dinilai melawan slogan politik sebagai panglima yang masif digulirkan oleh Lekra. Para sastrawan yang terlibat dalam manifes kebudayaan dilabelkan sebagai kontra revolusi. Sebuah cap kejahatan saat itu. Mereka tak boleh lagi menulis di penerbitan manapun. Bahkan bagi yang yang mempunyai posisi di perguruan tinggi dan kepegawaian negeri digeser.


Tahun 1965, tepatnya tanggal 1 Oktober seakan kemapanan kekuasaan berbalik. Bersama kegagalan PKI yang diasumsikan sampai kini sebagai dalang kudeta dan pembunuhan beberapa jenderal. Sastrawan yang dinilai pro komunis mengalami hal yang lebih buruk daripada yang dialami sastrawan yang terlibat Manifes Kebudayaan. Karya sastra mereka dilarang, beberapa diantaranya dibuang ke pulau Buru, juga pula bersamaan dengan hancurnya PKI yang keras dan berdarah mereka menjadi korban kematian. Dan kisah yang sarat dengan penilaian pelabelan inipun tak dimenangkan siapapun, kecuali traumatik sosial juga kemapanan kekuasaan yang tetap bertahta puluhan tahun kemudian di bawah kepemimpinan yang fasis.


Perdebatan akibat penilaian, pelabelan kesusastraan tetap berjalan di tengah kekuasaan fasis. Pada tahun 1984 berawal dari Sarasehan Kesenian di Solo. Timbul penilaian bahwa kesusastraan yang dilabelkan sebagai kesusatraan Universal telah mencapai zaman emasnya. Berjaya secara mapan, hampir-hampir tanpa saingan juga tandingan. Situasi ini kemudian yang dianggap oleh Arief Budiman; pencetus Sastra Kontekstual sekaligus salah satu penandatangan manifes kebudayaan diangap tidak sehat. Sastra kontekstual beranggapan bahwa kesusastraan mesti terlibat dalam persoalan bangsa dan ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat, hal ini dinilai oleh sekelompok orang memiliki kesesuaian dengan faham yang dianut sastrawan Lekra yang pernah mengguratkan traumatik sosial. Traumatik ini masih terlihat ketika Pramoedya Ananta Toer dianugerahi Hadiah Magsaysay pada tahun 1995. Beberapa protes dilakukan para sastrawan, salah satunya penyair Rendra. Ia mengemukakan: Ia tidak melakukan protes pada Pramoedya. Tetapi Protes itu ditujukan kepada The Ramon Magsaysay Foundation yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusi kok memberi hadiah kepada tokoh, yang betapapun istimewanya karya sastranya, toh dulu pernah terlibat dengan sangat tegas dan seru, dalam pelanggaran terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.


Rendra sangat populer sebagai salah satu sastrawan yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan fasis lewat puisi pamfletnya, sedang beberapa sastrawan lainnya adalah Wiji Thukul yang pernah melakukan penilaian bahwa seniman masih berorientasi pada tokoh. Persoalan kebudayaan hanya dikuasai oleh kekuasaan tertentu. Di kala itu, seniman menurutnya banyak yang berdiri sebagai seniman salon. Wiji Thukul yang terkenal dengan kata pendeknya: Hanya ada satu kata. Lawan! Menjadi salah satu korban praktik penghilangan orang ketika rezim Soeharto pada Mei 1998 lengser dari puncak kekuasaannya. Sastrawan yang lebih muda yang aktif melakukan perlawanan adalah M. Fadjroel Rachman. Sebuah tulisannya yang disebutnya esai puisi menegaskan sikap perlawananya dan penggambaran kekuasaan fasis yang menyengsarakan. Ia menuliskan: ingat jenderal besar (purn.) soeharto? selama 32 tahun lebih berkuasa, jutaan lawan politiknya harus masuk penjara, mati, atau hilang tak tentu rimbanya. Nasibnya lebih baik daripada korbannya: tidak pernah diadili dan di penjara. Ingin mendengar dalih pintarnya? dalam pikiran, ucapan dan tindakan saya,”...kita harus mengadakan treatmen, tindakan tegas. Tindakan tegas bagaimana? Yah, harus dengan kekerasan.” Seperti yang pernah dialami Rendra dan dtulisnya dalam esai puisi itu, M. Fadjroel Rachman merasakan pula sempitnya bui. Dipenjarakan selama tiga tahun di lima penjara di pulau jawa, termasuk Nusa Kambangan sebab dituduh menentang kehadiran Menteri Dalam Negeri waktu itu, untuk berpidato dalam kampus mereka. Dalam Catatan Pinggir 4, 20 November 1993 Goenawan menuliskan perhal yang berkaitan dengan Fadjroel dan kesusastraan: Apapun bentuknya, kesusastraan bisa menahan seseorang pejuang dari kemungkinan menjadi pahlawan, setelah penjara, institusi yang sia-sia itu, menganiayanya. Karena kesusastraan bukan sabda sesorang yang menjadi agung setelah melewati masa pertapaan, melainkan sebuah proses yang mengakui kebutuhan untuk sama-sama menemukan sejumlah makna, dan dengan demikian saling bicara.


Kini, penilaian dan pelabelan masih ramai diperdebatkan. Mulai dari penilaian antara hubungan keagaamaan dan kerja kesusatraan, ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa banyak sastrawan di masa kini yang menggarap karya-karya yang bertendensi Islam tidak hanya mengasumsikan kerja mengarang sebagai kerja kreatif dan sumber penghasilan an sich, melainkan juga mengusung semangat perjuangan menegakkan nilai-nilai Religiositas Islam. Sehingga Religiusitas Islam dalam kesusastraan kita sering dijadikan label: Laten maupun terang-terangan untuk menandai tolak pijak nilai-nilai utama yang menyusun serta menyosok dalam karya sastra. Namun berkaitan tentang mengusung semangat perjuangan menegakkan nilai-nilai Religiositas Islam dalam kesusastraan sebenarnya bukanlah hal baru. Di masa lalu Pakubuwana IV menulis puisi yang berjudul Serat Wulang Reh yang senyata-nyata dan sudah sejak awal dari tujuan penciptaannya diperuntukkan bagi pembinanan dunia pendidikan agama (Islam). Kita simak puisi tersebut:


Jroning Kuran nggoning rasa yekti, Nanging tah pilih ingkang uninga, Kajaba lawan tuduhe, Nora kena den awur, Ing satemah nora kepanggih, Mundhak katalanjukan, Temah sasar susur, Yen sira ayun waskita, Sampurnane ing badanira puniki, Sira anggugurua. (Dalam al-Qur’an terletak ilmu sejati, tetapi pilihlah orang yang memahami, jangan sampai menyimpang, tidak bisa dimengerti secara ngawur. Akibatnya tidak ketemu intinya. Malah bisa tersesat, jika ingin mengerti paripurna. Anda harus berguru).


Kemudian penilaian kesusastran yang kini ramai dibicarakan, adalah isu tentang “perempuan dan seks”. Di tengah berbagai penilaian yang muncul tentang tulisan perempuan yang dianggap mendobrak tabu, terutama seputar seks dan sering pula disebut telah menciptakan gaya penulisan baru, pembebasan perempuan, beresensi feminisme. Esai-esai Katrin Bandel hadir untuk mempertanyakan lewat beberapa dasar teoritik keilmuan sehingga memberikan tandingan wacana yang mencerahkan. Namun yang sedikit membiaskan, apakah kritik ini pula merupakan embrio sebelum polemik sastra antar komunitas yang kini sedang semarak menjadi masif saling menyerang. Semisal Komunitas Boemipoetra yang secara terang-terangan menyerang Komunitas Utan Kayu, setidaknya lewat penerbitan Djoernal Sastra Boemipoetra yang berslogan Bukan Milik Antek Imperialis dimana dalam edisi Mei-Juni terdapat tulisan Mata-Mata Amerika dimana keterangan penulisnya adalah Babat Hutan kayu. Dalam terbitan itu Katrin Bandel juga mempersoal novel Saman karya Ayu Utami yang diterbitkan dalam terjemahan bahasa Jeman oleh penerbit Horlemann. Katrin merasa terganggu oleh representasi Ayu Utami yang dinilainya sangat tidak tepat, dimana pencitraan Ayu Utami dan novelnya Saman mengandung keterlibatan komunitas Utan Kayu dalam pembentukan kemasan pencitraan ganjil yang berunsur tipuan untuk menaikkan martabat.


Perihal kesusatraan yang berkaitan dengan keadaan sosial juga mengalami beberapa penilaian: Sutardji Calzhoum Bachri yang menerima Achmad Bakrie Award 2008 untuk bidang kesusastraan sebesar Rp.150.000.000,00 menimbulkan beberapa tanggapan. Ada pihak yang yang menyatakan, bahwa seharusnya Sutardji menolaknya. Karena Frededom Institut yang memberikan anugerah itu, merupakan anak perusahaan PT Lapindo Brantas yang seharusnya bertanggung jawab terlebih dahulu secara ekonomi pada korban bencana lumpur Sidoarjo yang berjumlah ribuan itu. Namun ada pula yang menganggap pemberian itu pantas diterima, berdasar pada kenyataan kehidupan sastrawan yang tidak dapat dikatakan mapan dalam soal ekonomi. Berkaitan dengan penganugerahan baru-baru ini. Pena Kencana Award dinilai sebagai bentuk Usaha Ekonomi Sastra, penilaian ini setidaknya pula yang dituliskan Faisal Komandobat salah satu penyair yang terpilih dalam surat pengunduran dirinya. Ia menuliskan: Usaha ekomomisasi sastra secara berlebihan akan menimbulkan dampak luas terhadap khazanah sastra kita, yaitu nilai ekonomi akan lebih menentukan kualitas sebuah karya sastra dibanding nilai estetik, ilmiah dan humanik, terlebih melihat tradisi tersebut belum sungguh-sungguh mapan dalam khazanah sastra kita.


***


Selepas tiga ratus tahun, di tengah keberbagaian kisah kesusastraan Indonesia yang didasarkan dari penilaian dan pelabelan. Masing-masing kisah itu berakhir dengan keberbagaian pula: Sekedar perdebatan yang berarus keilmuan, sedikit penghujatan, bahkan juga peminggiran dan pemberangusan atau pelarangan produk kebudayaan. Namun yang tak dapat dipungkiri adalah jatuhnya korban.


Selepas tiga ratus tahun, penilaian dan pelabelan kesusastraan juga tak dapat dipungkiri telah melahirkan kemajuan dan kematangan pada kesusastraan Indonesia. Penilaian dan pelabelan lahir dari pembacaan, penelitian terhadap situasi kesusastraan yang terjadi di tengah perkembangan zaman. Lalu hasil pembacaan, penelitian sesekali dijadikan dasar perlawanan pada kemapanan kekuasaan: Pemerintahan negara maupun genre atau komunitas kesusastraan. Tanggapan terhadap situasi yang tengah terjadi, telah mengantarkan beberapa sastrawan untuk melakukan eksperimentasi kesusastraan lewat bentuk baru dan cara ungkap baru bersama bahasa sebagai media karya sastra.


Selepas tiga ratus tahun: Kisah-kisah yang ditulis dalam bentuk karya sastra, entah esai, novel, roman, cerpen, lakon drama maupun puisi telah meninggalkan sesuatu yang berharga: Gambaran tentang suatu masa yang akan dibaca oleh siapa saja pada waktu yang akan datang, untuk digunakan sebagai petunjuk dan pelajaran.

Purwokerto, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...