Langsung ke konten utama

Puisi-puisi Moch Arif Makruf

DIALOG KEADILAN

Tentunya kamu sudah tahu
Dengan mata yang tertempel pada badanmu
Bahwa di sekelilingmu
:adalah bagian dari kamu

Jaraknya semakin jauh
Sudah pasti, kamulah pembuatnya

“Supaya ada bedanya”katamu
Ada sebuah kepastian
siapa kuli dan siapa juragan
:Dan kepastian:siapa pengelola negeri ini

Aku tahu, kini cita-citamu
:menjadikan kuli selamanya kuli

“itu sudah takdirnya”Katamu
Kalau itu benar,kejam benar Tuhan

Buktinya Tuhan tidak turun ke dunia
Berarti Dia tidak marah

Kalau Tuhan tidak turun ke dunia, apakah sudah pasti semua yang ada di dunia benar?

Apakah kamu percaya Tuhan itu ada?Katamu

Tentu !

Berati kekuasaan Tuhan di dunia dimana?

Tuhan telah serahkan pada kita.
“Tuhan di dunia hanya keyakinan, Tuhan sebenarnya hanya ada di akherat”**

Berarti apa yang saya lakukan, selama tidak melanggar aturan negeri ini akan selalu benar di mata Tuhan. Dan aku pasti masuk surgaNYA, seberapa besarnya melanggar perintah Tuhan.
Ha….ha….aku dapat dunia dan Akherat !!

Apa dasarnya?Kataku

Dunia terbatas, akherat tidak terbatas.Sehingga ketika umur dosaku di dunia telah habis,Tuhan tidak berhak menuntutku untuk sesuatu yang belum aku lakukan.


Ternyata,dasar inilah yang kamu pakai
Sehingga kamu tidak takut berbuat apapun.

Pakai aturanku, ini aturan terbaru !! Katamu

Bogor,2007
**di ambil dari Wahdat Al-Wujud Ibn-Arabi

---


PABRIK PUISI

Semenjak pintu gerbang ini terbuka untukku. Ada sebuah harapan besar yang terwujudkan. Tiga bulan yang lalu, aku mengetuknya lewat selembar surat. Pas Pos mengantarnya dengan selembar perangko sebagai pesuruhnya. Sungguh, aku tidak pernah mengenal satu pun mahkluk yang ada di dalamnya. Kamu harus percaya ! Tolong jangan ulangi pertanyaan yang serupa.

Aku datang pertama dengan mengetuk pintu gerbang ini, setelah dering telpon di HP-ku menyalak ketika aku sedang menulis puisi. Dan sepertinya, aku harus segera meremas-remas kertas puisi yang selalu mengajarkanku untuk bermimpi. Suara dari balik HP-ku jauh lebih penting dari sejuta puisi yang tidak pernah memberikan rejeki. Ah, pusi hanya tentang omong kosong di sudut impian dan koranpun enggan memuatnya.Koran juga sebuah kotak sabun yang hanya mamajang keharuman para sastrawan. Jadi, aku harus melempar harapan pada kedalaman puisi yang tidak mampu membeli sejumput nasi.

Aku datang! Pintu gerbang di geser.ada keriuhan di dalamnya.orang berlalu-lalang. Bunyi suara bel, adalah sebuah tanda mulai atau selesai. Dengan sebuah label visitor yang tersemat di dada kiri,aku di bimbing memasuki sebuah arena baru. Kesopanan yang tersimpan kini mulai aku keluarkan.Dengan tersenyum dan menunduk terhadap lalu-lalangnya orang.”Selamat pagi Bu Lili, saya Anu?”Dia tersenyum hambar, menjawab datar lalu menunjuk sebuah bangku.Tanganku bersalaman dengan angin. Aku hanya mengikutinya dengan senyum hambar,ketika dia menyorongkan sebuah kertas.Aku mengisinya menyerahkan dan pulang. Benar-benar hambar dan datar. Tapi,aku butuh ini sebab hal ini lebih berharga daripada membuat segepok puisi. Jangan bilang nilai, sebab harga di sini tidak bisa di ukur dengan nilai. Lebih berguna UMR dari pada segepok puisi.

Tanpa terasa pintu gerbang ini telah memasungku 3 bulan.Ah, selalu saja kita teraniaya tanpa bisa membela. Kertas segel yang aku tanda tangani sepertinya sebuah jendral yang menyuruh prajuritnya untuk bunuh diri”Diluar masih banyak yang menunggu”itu yang setiap hari selalu terdengar. Aku hanya bisa bersyukur pada penderitaan orang lain. Kini,aku berkumpul dengan mesin orang yang patuh terhadap bel. Kebebasan pada lembaran kertas pusi adalah mimpi dalam sebuah realita yang menuntut akan sebuah hidup. Tanpa pusi aku dapat hidup.

Waktu terus mengalir, harapan terus bergulir. Waktu semakin semakin tidak bisa di ukur dengan jam. Waktu hanya bisa di ukur dengan kerja lembur. Rumah dan puisi? Ah,kini tinggal mimpi. Aku sering bertemu lewat mimpi yang kadang-kadang menyelinap dalam sepi.

Saatnya untuk bermimpi membuat pusi. Koran milik siapa ya?Apa masih di miliki sekotak sabun wangi.

Bogor,November 2007

---

KORBAN

Gulungan ombak zaman
Mengantarkan kapal tanker kepantai

Orang-orang masih sibuk mengais butiran air laut yang tersengat sinar matahari

Perahu cadik,
Melambaikan salam perpisahan
Nelayan membalas
Dengan kesedihan

Sinar matahari esok
Akan bertambah terang
:Katanya

Besi-besi
Mulai datang tanpa permisi
Mulai terapung
Dengan harga yang membumbung

Keramaian semakin terasa
Menambah luka

Ikan-ikan tertumpuk di gudang
Menyebarkan bau menyengatkan

Kapal tanker
Merapat lagi kepantai
Membawa kotak besi pengawet ikan
:standart Luar Negeri

Tabungan luka
Kini menuai hasilnya
Tiada pilihan
Untuk tidak berjabat tangan

Bulan depan
Kabarnya,
Kapal tanker akan merapat lagi
Bawa apa?

Angin pagi
Diiringi suara Adzan
Siap-siap bertambah beban

Demak,April 2006

---

PENDERITAAN I

Membakar jerami
Untuk menandingi awan

Padi-padi
Tanpa bekas mengalir ke kota

Asap jerami
Menyebarkan tanda kemakmuran

Maukah kamu menerima semangat?

---

PENDERITAAN II


Jangan kuatir
Asap jerami disini
Akan berubah menjadi nasi

Bukankah sekarang buah jarak dapat mengganti minyak bumi?

Siapkah kamu berangkat?

Pupuk bersubsidi
Tidak merubah nasib pak tani

---

PENDERITAAN III


Kamu menggelengkan kepala
sebelum,
pemerintah sempat bertanya
--Selesai--

Demak,April 2006

---

MENUNGGU

Apakah yang terjadi di antara kita ?
Sehingga ada sesuatu yang tersisa
Untuk apa?

Garis yang saling bersilangan
Akan membentuk sebuah bingkai lukisan
Aku ingin kamu melukisnya
Dengan hati dan jiwa yang telah kamu rasakan

Sekarang,
Aku sedang terganjal sebuah harapan
Apakah aku dan kamu yang sangat berbeda
Dapat tiba di stasiun yang sama?

Jangan pernah menyimpan mimpi
Di balik bantal
:karena akan sesal

Jangan pernah menyulam
Dalam diam
:karena akan kelam

Jika malam telah melipat
Bersama angin yang berkelebat
Aku ingin hati kita merapat
Bukankah kita membutuhkan untuk bersepakat?

Telah lama rasa ini bersemayam di dada
Seperti matahari yang tidak sabar menyapa pagi

Tidak perlu kamu menyimpan ragu
Karena ragu,
:hanya akan membuat kita selalu di jajah waktu

Yogyakarta,1999
---

UNTUKMU

Sorot Matamu
Telah membawa hati ini
Melalui pintu,
Yang tanpa sengaja terbuka

Deret kata adalah nyawa
Aku mencoba menuangkan dalam kejernihan yang mendalam

Jika,Tidak melihatmu,Dik
Dari sebuah sudut pandangku
Terasa ada yang berbeda
Seperti,malam yang enggan menyampaikan salam kepada bulan

Semenjak sorot mata ,mendekam di hati
Aku merasa
Ada yang tertusuk pada hatiku

Kamu tahu,Dik?
Duri itu menancap begitu dalam

Setelah kamu juga merasakan nyeri
Aku ingin
:Detak jantungmu akan menggetarkan ujung nadiku

Peta telah aku gelar, Dik
Layar telah aku bentangkan
Kompas ada di tanganmu
Jika hatimu tergerak
:Pasti,kamu akan tahu dimana akan berpijak!

Yogya,1999
---


Moch Arif Makruf
ALUMNI FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA

Penggiat di SAINS,Sajogyo Inside Bogor
Anggota KMB(komunitas menulis Bogor)
Beberapa Puisi saya tergabung dalam antologi bersama penulis muda,yang terbit tanggal 7 agustus 2007
Beberapa tulisan saya baik berupa Opini,cerpen,puisi dan esai sastra pernah dimuat di harian suara Karya,surya(jawa Timur),Pakuan Raya(bogor),majalah anak orbit,Batam Pos dan lain-lain.)
Perumahan Bukit Mekar Wangi
Blok C8 No.6
Kec.Tanah Sareal,Ds.Mekar Wangi Bogor-Jawa Barat
Telepon : (0251)7536078/0815 6544964
Email:Endoetmembara@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...