Langsung ke konten utama

Sajak-sajak Syaifuddin Gani

Sajak Embun

rumput mengembun dingin mengapung
cahaya berkunjung embun berkabung
ambyar dalam regukan matahari

Kendari, 24 Agustus 2008
---

Rindu

memeras rindu di senja kala
memerah buih dikerumun cahaya
memendam rindu di jingga berlalu
memandang pisau malam membatu

merangkak rindu di pelipis karang
membuih di ombak mencadas di curam
mengguruh rindu di radang gelombang
mengguntur di langit membisu di karam

berlayar rindu dikemudi angin
menggumpal di awan menggigil di hujan
mengeras rindu diremas dingin
membentur udara lebur di lautan

beruntun rindu tersandung cadas
terkapar di luka terbanting di gelombang
berujung rindu sedusedan diaus cemas
tergolek di pasir dikubur liang kenangan

terkatung rindu ngilu nelayan
berlayar di lautan berlabuh di taufan

mengangkut rindu terdampar di labuhan
terkandung di buritan terlahir di karang
merendam rindu di asin lautan
menggelepar di gelombang menggaram di tepian

mendidih rindu di liang pusaran
membuhul di jangkar remuk di tuhan

Kendari, 23 Juni 2006
---

Sajak-sajak Patung Lulo

1
karena rindu matahari
malu dikutuk patung berdiri
sebuah patung berwarna pelangi
meremukkan lingkaran
meloncat dan cebur ke udara menjelma anaway ngguluri
2
tangan-tangan bergenggaman
menahan rampak luka yang tertanam
3
patung berwarna hitam
menahan getir di lambung
meletus di jantung
4
patung berwarna merah jambu
menarikan luka
meletup di ubun-ubun
5
patung berpunggung anaway
melepaskan selendang di leher
menanggalkan ikatan pinggang
terbang ke papan reklame
menjammmbak dan menumbangkan slogan kota bertakwa
lalu mengamen di pinggir jalan di warung jajan
sambil mengibas-ngibaskan kain tabere ia menari mondotambe
dan melolongkan nyanyian untuk putera konawe
oheo, oheo kau sungguh jalang!

Kendari, 11 April 2009
---

Ramadan Lagi

daun-daun ramadan berkedipan lagi
nafasnya mengaurkan gairah dan cahaya
alun-alun kampung digerayangi cengkerama
ibu-ibu dan bapak-bapak senjakala
katanya, alhamdulilah allah
memberikan izin memanen pahala
menggugurkan buahbuah dosa
sebelum meletus jadi nanah

dari kolong rumah, alu beradu
anak dara anak jejaka diguyur peluh
mengoyak bulirbulir padi dalam lesung gaharu
aku rindu pulang kampung memanggul kayu
puasa pertama dalam linangan airmata ibu

oi pohon-pohon ramadan merimbun lagi
tadarus dan tasyakur simponi malam hari
kakak dan adik berlomba tamatkan kitab suci
kafilah sarung berarak menggebuk panci
sahur sahur sahur sebelum subuh digedor matahari

ramadan tamu allah tamu hamba
jalan-jalan kampung seumpama purnama
gotong royong warga sebelum senja
menyambut handai taulan dari rantauan
melihat kerabat dan kampung halaman
sekalian membawa menantu dan ponakan

dan bedug digebuk bertalu-talu
hati berdegup penuh haru
anak-anak menari dan menyeru-nyeru
kampung salubulung digenangi doa dan rindu
kafilah ramadan datang

Kendari, 20 Agustus 2008
---

Hanya Hembusan dan Gigil

jalan lapuk seperti cat kapur mengabur
kala susut seperti rerambut terhuyung
langit ditopang kabut,masyrik dan magrib beberut
usia merambat limbung ke senjakala yang surut
menua dalam malam renta

suara bersahut
dari angin dan dingin
hanya hembusan dan gigil
mengembun dan menggigir
di daun-daun dan jantung-jantung
rapuh dan mengabuh, aduh!

jalan tersingkap
telah liwat hianat dan laknat
nikmat dan hikmat
hidup ringkas
hirup sesaat
duh ilahi!

Kendari, 11 April 2009
---

Nunukan

dermaga sendiri
angin mati
rumah-rumah digerogoti sunyi
matahari berkarat di dinding dermaga
hujan menjadi garam
bagi asin petualangan

Nunukan, 12 Maret 2009
---

Teluk Kendari

bulu-bulu gelombang menopang sampan
lidah-lidah cahaya mengarak petang
kaki-kaki angin bangun rebah di atas lautan
sayap-sayap camar gugurkan malam

Kendari, 11 Februari 2009
---

Butuni

rindu menua
teronggok sepanjang butuni
sesayap angin hunjamkan rangkulan
pada rusuk-rusuk keraton.

di sini, berabad-abad kabanti dan puisi
mempersunting matahari
menjelma barisan batu karang
rumah para raja menenun martabat tujuh.
o gerbang matahari diapit merim tua
memandang ke laut jauh ke bukit karang
untuk masa silam yang tak ‘kan pulang.

tiang bendera sebagai anak para raja
memanjang ke cakrawala
mana benderanya?
barangkali tertambat dan terlunta
di museum waktu.

tapak-tapak angin, pantun-pantun leluhur
mengabur di jantung wolio
dibelit belukar sepi dan rerantai hari.
menyelinap di rerapuh malige.

pada mata jangkar, airmata laut berkarat
menimbun berteluk-teluk jarak.

Buton, 18 September 2006
---

Istirah di Lembah Mowewe

perjalanan itu menderukan gemamu tandas
serupa raung mesin mengebor rahim mekongga
matamu pijar, puncak pinus memergoki cakrawala.

aku istirah di lembah mowewe
merenungi pertemuan merah di dermaga kolaka.
sambil meradang memandang nanah
di keruk baja dan raja

hidup seumpama perahu menjala
lalu kalah terdampar di tebing senja.
o, betapa merdeka gelombang
bergulung lalu berguling di dada-dada pantai
sementara kita membilang butir pasir
rekat di tubuh pendosa.

kau kenangkah isyarat dan tabiat
memborok di mayat waktu
sebagian seumpama lintah
yang lain, haus darah lapar daging?

lembah mowewe yang gaib, perawan tersalib
kupetik bunga sorume menancapkan di rambutmu nyala.
sebelum aus digerus gerigi, sebelum raib digasak hangus

aku istirah di lembah mowewe
di lembah matamu yang meleleh

Mowewe--Kendari, 13 Agustus 2007
---

Di Keraton Butuni

memanjat dinding-dinding keraton butuni
kerak-kerak prasasti mengeras dan berlepasan
ke lebam jalanan.
dan di sudut-sudut purbani, meriam-meriam tua
menghadang laut dan bukit-bukit batu
dengan mesiu yang beku, memandang matahari baru.

ribuan matahari ribuan fajar ribuan malam
bertandang dan pulang.
murhum, pantun, alun-alun rimbun
tertimbun guguran tahun.

gerbang-gerbang wolio mendebu
mengubur cerita dan petuah raja-raja
mengabur di jurang masa.
lebur bersama angin tenggara.

di wolio molagi:
rumah purbani
di museum sunyi:
lontar, sarung, dan keris putih
dikafani nasib yang berabu.
tinggal aroma apek tinggal udara tua
mengepung
mengapung
lalu terbentur
di batu popaua.

selamat jalan
almarhum.

Buton, September-November 2006
---

Mawar

kau teguk rekahnya
aku reguk merahnya

kau didihkan sengatan lebahnya
aku tikamkan duri-durinya

harum dan ranumnya
biarkan ditangisi udara

Kendari, 18 Juni 2006
---

Mata Sajak

bismillah

kutulis matapena
dengan matahati

kutulis matanyeri
dengan matahari

alhamdulillah

Kendari, 20 Juni 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...