Pagi di Kampungmu
Serunai di halaman rumahmu
Masih menetaskan embun masa lampau
Dalam jejak kekanakan
Dalam timangan serumpun padi
Kita tumbuh seperti sejarah tertinggal
Satu dasawarsa mengalir di tanah ini
Lunyaikan jejalanan kabut
Yang dulu pernah menikamkan kenangan
Pada bocah-bocah seumuran kita
Serupa catatan musim di lembaran usia
Ceritakan secabik asal muasal kelahiran
Pengelana kecil di sepanjang kaki bukit
Berlari melerai tahun yang dulu datang menerjal
Dan meski kini ritme kekanakan itu berubah
Namun dalam pagi ini
Aku mencoba menyibak sesuatu tersembunyi
Diberanda depan di temani tetesan gerimis
Aku memungut jejak yang mati
Dalam sebabak lamunan sunyi
Pucuk pagi,5 juli 2008
Rumah Singgah 2
Di rumah singgah
Tempat dimana tiang sisa-sisa hidup berdiri
Mengeja tahun,belajar memahami hingar bingar kota
Disini kita tak pernah absen sekalipun
Melihat fajar muncrat
Dan bening embun yang jatuh dari dedaunan
Saban hari adalah permulaan
Dan jarum waktu bagai roalle coaster yang melaju cepat
Kita meski menimba sisa-sisa peluh di dinding bumi
Mencuci kaki hingga ke kerak pepuingan senja
Hikayat terkadang berubah
Menyudutkan kita di balik beribu wajah
Pucuk pagi,9 juli 2008
Mati Rasa
Lengking waktu selalu melawan
Tak terlerai musim
Kematian dan kelahiran berlalu lalang saja
Menciutkan nyali kekanakan kita di masa lalu
Ketika keranda kenangan tertelan bumi
Dan ibu juga pernah berkata
Bagaimana kaki ini berdiri
Digoreng mentari peradaban
Menjerit di celah-celah sempit
Sambil menyusui kita di balik deru gerbong
Seperti kota tua yang kita mukimi ini
Yang menyisakan sakit bertahun tahun
Meniggalkan cacat di comberan usia
Sulit bagi kita menapaki dunia
Untuk menyeret langkah-langkah yang lelah
Barangkali roh ini masih tetap juga terbeletak di ujung peron
Diselimuti debu-debu jalanan
Yang tlah mati rasa dan kehilangan makna
pucuk pagi,30 juni 2008
Menjilat Jejak Nama
lalu kami pun berangkat ke kota
meninggalkan peluh ipuh gorengan
sahutan suara ibu di pematang sawah
dan bau amis di teras rumah
selama ini
mata kami berkelahi saja dengan tivi
di malam hari
melihat lelaki berdasi
dengan mobil serba mewah
dan hotel-hotel berbintang
kini saatnya kami memuntahkan nasib
mengubah bau badan dan mencuci harga diri
dan bukan untuk mengeloksi bebotol vodka
ataupun menjual dan membeli kelamin
kami ke kota untuk menjilat jejak nama
yang telah harum di tanah samping rumah
bergelar profesor
dan tlah berkali ke tanah suci
Badai Pelabuhan,13 juli 2008
Secabik Riwayat Millenium
beginilah kita
berdiri di bawah kangkangan zaman
bersenggama anomali
dan mata kita dimanjakan saja
oleh kelahiran dan kematian
berlalu lalang
bau kehidupan begitu menyengat
darah-darah anyir poso
manusia kanibal
demontrasi BBM
ajaran-ajaran sesat
pun lumpur lapindo
O"almanakku tak lepas dari masa-masa suram
yang lebih menyanyat lagi,2004
wajah serambi mekah dikencingi gempa tsunami pembunuh
dikoyak-koyak hingga menjadi pepuing
tak ketinggalan belahan dunia ketiga lainnya
hanya sisa kota mati dan reribuan jasad
terbenam di tanah prahara
Aceh pun menjerit
Indonesia menangis
dan dunia berkabung
barangkali benih kiamat
telah mulai tersemai
di zaman yang masif
Denyut Zaman,14 juli 2008
Budi Saputra lahir di Padang 20 April 1990
Merupakan tamatan SMKN 1 Padang angkatan 2007/2008
Memaknai hidup dengan puisi kehidupan
Serunai di halaman rumahmu
Masih menetaskan embun masa lampau
Dalam jejak kekanakan
Dalam timangan serumpun padi
Kita tumbuh seperti sejarah tertinggal
Satu dasawarsa mengalir di tanah ini
Lunyaikan jejalanan kabut
Yang dulu pernah menikamkan kenangan
Pada bocah-bocah seumuran kita
Serupa catatan musim di lembaran usia
Ceritakan secabik asal muasal kelahiran
Pengelana kecil di sepanjang kaki bukit
Berlari melerai tahun yang dulu datang menerjal
Dan meski kini ritme kekanakan itu berubah
Namun dalam pagi ini
Aku mencoba menyibak sesuatu tersembunyi
Diberanda depan di temani tetesan gerimis
Aku memungut jejak yang mati
Dalam sebabak lamunan sunyi
Pucuk pagi,5 juli 2008
Rumah Singgah 2
Di rumah singgah
Tempat dimana tiang sisa-sisa hidup berdiri
Mengeja tahun,belajar memahami hingar bingar kota
Disini kita tak pernah absen sekalipun
Melihat fajar muncrat
Dan bening embun yang jatuh dari dedaunan
Saban hari adalah permulaan
Dan jarum waktu bagai roalle coaster yang melaju cepat
Kita meski menimba sisa-sisa peluh di dinding bumi
Mencuci kaki hingga ke kerak pepuingan senja
Hikayat terkadang berubah
Menyudutkan kita di balik beribu wajah
Pucuk pagi,9 juli 2008
Mati Rasa
Lengking waktu selalu melawan
Tak terlerai musim
Kematian dan kelahiran berlalu lalang saja
Menciutkan nyali kekanakan kita di masa lalu
Ketika keranda kenangan tertelan bumi
Dan ibu juga pernah berkata
Bagaimana kaki ini berdiri
Digoreng mentari peradaban
Menjerit di celah-celah sempit
Sambil menyusui kita di balik deru gerbong
Seperti kota tua yang kita mukimi ini
Yang menyisakan sakit bertahun tahun
Meniggalkan cacat di comberan usia
Sulit bagi kita menapaki dunia
Untuk menyeret langkah-langkah yang lelah
Barangkali roh ini masih tetap juga terbeletak di ujung peron
Diselimuti debu-debu jalanan
Yang tlah mati rasa dan kehilangan makna
pucuk pagi,30 juni 2008
Menjilat Jejak Nama
lalu kami pun berangkat ke kota
meninggalkan peluh ipuh gorengan
sahutan suara ibu di pematang sawah
dan bau amis di teras rumah
selama ini
mata kami berkelahi saja dengan tivi
di malam hari
melihat lelaki berdasi
dengan mobil serba mewah
dan hotel-hotel berbintang
kini saatnya kami memuntahkan nasib
mengubah bau badan dan mencuci harga diri
dan bukan untuk mengeloksi bebotol vodka
ataupun menjual dan membeli kelamin
kami ke kota untuk menjilat jejak nama
yang telah harum di tanah samping rumah
bergelar profesor
dan tlah berkali ke tanah suci
Badai Pelabuhan,13 juli 2008
Secabik Riwayat Millenium
beginilah kita
berdiri di bawah kangkangan zaman
bersenggama anomali
dan mata kita dimanjakan saja
oleh kelahiran dan kematian
berlalu lalang
bau kehidupan begitu menyengat
darah-darah anyir poso
manusia kanibal
demontrasi BBM
ajaran-ajaran sesat
pun lumpur lapindo
O"almanakku tak lepas dari masa-masa suram
yang lebih menyanyat lagi,2004
wajah serambi mekah dikencingi gempa tsunami pembunuh
dikoyak-koyak hingga menjadi pepuing
tak ketinggalan belahan dunia ketiga lainnya
hanya sisa kota mati dan reribuan jasad
terbenam di tanah prahara
Aceh pun menjerit
Indonesia menangis
dan dunia berkabung
barangkali benih kiamat
telah mulai tersemai
di zaman yang masif
Denyut Zaman,14 juli 2008
Budi Saputra lahir di Padang 20 April 1990
Merupakan tamatan SMKN 1 Padang angkatan 2007/2008
Memaknai hidup dengan puisi kehidupan
Komentar
Posting Komentar