Langsung ke konten utama

Sajak-sajak Budi Saputra (2)

Pagi di Kampungmu

Serunai di halaman rumahmu
Masih menetaskan embun masa lampau
Dalam jejak kekanakan
Dalam timangan serumpun padi
Kita tumbuh seperti sejarah tertinggal

Satu dasawarsa mengalir di tanah ini
Lunyaikan jejalanan kabut
Yang dulu pernah menikamkan kenangan
Pada bocah-bocah seumuran kita

Serupa catatan musim di lembaran usia
Ceritakan secabik asal muasal kelahiran
Pengelana kecil di sepanjang kaki bukit
Berlari melerai tahun yang dulu datang menerjal

Dan meski kini ritme kekanakan itu berubah
Namun dalam pagi ini
Aku mencoba menyibak sesuatu tersembunyi
Diberanda depan di temani tetesan gerimis
Aku memungut jejak yang mati
Dalam sebabak lamunan sunyi

Pucuk pagi,5 juli 2008


Rumah Singgah 2

Di rumah singgah
Tempat dimana tiang sisa-sisa hidup berdiri
Mengeja tahun,belajar memahami hingar bingar kota

Disini kita tak pernah absen sekalipun
Melihat fajar muncrat
Dan bening embun yang jatuh dari dedaunan

Saban hari adalah permulaan
Dan jarum waktu bagai roalle coaster yang melaju cepat
Kita meski menimba sisa-sisa peluh di dinding bumi
Mencuci kaki hingga ke kerak pepuingan senja

Hikayat terkadang berubah
Menyudutkan kita di balik beribu wajah

Pucuk pagi,9 juli 2008


Mati Rasa

Lengking waktu selalu melawan
Tak terlerai musim
Kematian dan kelahiran berlalu lalang saja
Menciutkan nyali kekanakan kita di masa lalu
Ketika keranda kenangan tertelan bumi

Dan ibu juga pernah berkata
Bagaimana kaki ini berdiri
Digoreng mentari peradaban
Menjerit di celah-celah sempit
Sambil menyusui kita di balik deru gerbong

Seperti kota tua yang kita mukimi ini
Yang menyisakan sakit bertahun tahun
Meniggalkan cacat di comberan usia
Sulit bagi kita menapaki dunia
Untuk menyeret langkah-langkah yang lelah
Barangkali roh ini masih tetap juga terbeletak di ujung peron
Diselimuti debu-debu jalanan
Yang tlah mati rasa dan kehilangan makna


pucuk pagi,30 juni 2008



Menjilat Jejak Nama

lalu kami pun berangkat ke kota
meninggalkan peluh ipuh gorengan
sahutan suara ibu di pematang sawah
dan bau amis di teras rumah

selama ini
mata kami berkelahi saja dengan tivi
di malam hari
melihat lelaki berdasi
dengan mobil serba mewah
dan hotel-hotel berbintang

kini saatnya kami memuntahkan nasib
mengubah bau badan dan mencuci harga diri
dan bukan untuk mengeloksi bebotol vodka
ataupun menjual dan membeli kelamin

kami ke kota untuk menjilat jejak nama
yang telah harum di tanah samping rumah
bergelar profesor
dan tlah berkali ke tanah suci

Badai Pelabuhan,13 juli 2008


Secabik Riwayat Millenium

beginilah kita
berdiri di bawah kangkangan zaman
bersenggama anomali
dan mata kita dimanjakan saja
oleh kelahiran dan kematian
berlalu lalang

bau kehidupan begitu menyengat
darah-darah anyir poso
manusia kanibal
demontrasi BBM
ajaran-ajaran sesat
pun lumpur lapindo
O"almanakku tak lepas dari masa-masa suram

yang lebih menyanyat lagi,2004
wajah serambi mekah dikencingi gempa tsunami pembunuh
dikoyak-koyak hingga menjadi pepuing
tak ketinggalan belahan dunia ketiga lainnya
hanya sisa kota mati dan reribuan jasad
terbenam di tanah prahara

Aceh pun menjerit
Indonesia menangis
dan dunia berkabung

barangkali benih kiamat
telah mulai tersemai
di zaman yang masif

Denyut Zaman,14 juli 2008

Budi Saputra lahir di Padang 20 April 1990
Merupakan tamatan SMKN 1 Padang angkatan 2007/2008
Memaknai hidup dengan puisi kehidupan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...