kubisikan selepas kata yang menempel pada ujung lidah, halus-halus seperti merangkum doa dalam sanubari yang terjerat haus. rebahmu dalam pengakuan pasrah, melumerkan mata hati dan sanubari yang berang. emak, sampai kapan kamu tersesah begini? hambar bagaikan salju dipelosok jurang getir. empasakan empati palsu dalam jiwa mudaku yang angkuh, merogoh kedalam kecintaan perihal adaku atas ambisimu menerjang maut. emak, aku terjuntai disamping ranjang rebahmu mata kuyup dan lidah kelu merapal doa sungguh. hanya aku yang iringi kamu menuju kampiun malam, ihwal akhir perjalanan dari serpihan hidupmu yang karam emak, saat doa itu kau sambut. dimanakah engkau sesungguhnya? mengerang diatas lukakah? atau sudah dalam tajuk istirah? hati ini benar-benar hancur, Emak... lantas kau berlalu saja, sandarkan aku dalam elegi dan dilema akar pahang hidup kujelang, tanpa sejiwa seperti emak. lalu doa lewat saja tak digubris Tuhan. semua sirna dan perlahan hidupku juga, tanpa Emak... ya Bundaku... ya bint...