Langsung ke konten utama

8 PENYAIR MUDA BACA KARYA Di TUK

Publikasi acara dengan tajuk `8 Penyair Muda Baca Karya' yang berlangsung selama dua hari (9-10 November 2007) di Teater Utan Kayu (TUK) cukup gencar. Tak hanya di milis-milis sastra tapi juga di media cetak. Mengundang rasa penasaran, apalagi nama Hasan Aspahani (Batam), Inggit Putria Marga dan Lupita Lukman (Lampung), Fadjroel Rachman dan Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dina Oktaviani (Yogyakarta), S. Yoga (Nganjuk), dan Pranita Dewi (Bali) sudah tak asing lagi, karena karya mereka bertebaran di media cetak dan dunia cyber.

Barangkali istilah `Penyair Muda' bisa diperdebatkan, apakah dari segi usia atau pada jam terbang di dunia perpuisian yang baru sekian tahun lamanya. Toh jika dari segi umur, Fadjroel Rachman sendiri merasa dan mengakui bukan masuk di situ, seperti dikatakannya sebelum tampil di hari pertama `Seharusnya disebut 7 Penyair Muda dan 1 Penyair Setengah Tua'.

Tapi Sitok Srengenge sebagai wakil tuan rumah punya alasan tentang itu. "Tampilan para penyair pada November 2007 ini merupakan upaya TUK untuk melihat wajah perpuisian dengan tidak sekedar penampilan ramai-ramai dalam satu dua puisi masing-masing penyair, tapi adanya gambaran sejauh mana perkembangan mereka dalam tampilan selama 30 menit. Karena itu, lebih cepat jika disebut sebagai pengajian puisi."

Dan acara dimulai usai pidato singkat Sitok. Jumat malam yang dingin diisi dengan gelegar suara Hasan Aspahani, lembutnya suara Lupita Lukman, gaya orasi Fadjroel Rachaman dan cuek-nya Dina Octaviani. Sedang esoknya, saat sorenya air menggenang hampir selutut di depan TUK, tampil secara berurutan Pranita Dewi, S.Yoga, Inggit Putria Marga dan Binhad Nurohmat.

Penonton juga menyimak, sejauh mana perkembangan dari tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair itu. Dan Pranita Dewi dengan cerdiknya menyajikan 7 puisinya, yang empat merupakan puisi baru dan tiga dari bukunya `Pelacur Para Dewa'. Kesengajaan ini memberikan gambaran telah berkembangnya, dalam kedalaman isi dan kata, penyair Bali yang bernama lengkap Ni Wayan Eka Pranita Dewi ini.

Hasan Aspahani yang konon Desember depan akan meluncurkan bukunya di Jakarta, membawakan beberapa sajaknya yang pernah dimuat di Kompas dan sering dibawakan dalam aksinya seperti `Bibirku Bersujud Di Bibirmu' dan `Kamus Empat Kata Berawal I'. Penampilannya dengan suara ngerock ini sebagai pembuka langsung menghangatkan suasana. Tak beda dengan Fadjroel yang sempat meledek Binhad soal peluang mereka sebagai 10 besar finalis Khatulistiwa Literary Award 2007.

Sedang Lupita dan Dina memberi nuansa baru yang tak menggebu. Lupita tampil begitu kalem, Dina dengan gaya cuek tapi mampu menghadirkan sajaknya dengan emosi penuh. Hal serupa juga dari Pranita dan Inggit yang mampu menghadirkan ciri mereka masing-masing, meski Inggit seperti `keliru' memilih puisi terakhirnya yang terasa kurang bertenaga dibanding beberapa puisi yang telah dibawakannya.

Lain lagi dengan Binhad yang tampil paling akhir, dan banyak yang sudah menunggu puisi-puisi birahi dan orgasmenya. Gayanya yang jenaka dan sesekali meledek, membuat suasana meriah. Tapi terasa kurang maksimal pada pemilihan puisi-puisinya, setidaknya seperti yang pernah dimuat di Kompas atau media lainnya. Bisa jadi karena sakit perut yang mendadak mendatanginya beberapa menit sebelum acara dimulai.

S. Yoga sendiri, seperti penampilannya yang kalem tampil memukau dengan penguasaannya pada larik puisi-puisinya dengan nyaris tanpa melihat lembaran yang dibawanya. Warna budaya Jawa, terutama Jawa Timur dan Madura, terasa kental dalam setiap puisinya.

Sayangnya gambaran `sejauh mana perkembangan mereka' seperti kurang tampak dalam tampilan selama 30 menit bagi masing-masing penyair. Bisa jadi, tidak semua yang hadir punya pengenalan yang lengkap dengan para penyair itu, sehingga terasa sulit mencerna sejauh mana perkembangannya. Selain para penyair, yang larut dalam pertunjukan dua hari ini juga ada penggemar puisi, cerpenis dan lainnya. Mungkin akan lengkap referensinya jika disiapkan satu atau dua lembar foto kopi tentang perjalanan karier plus foto biar hitam putih saja dari 8 penyair muda yang tampil.

Setidaknya bisa mengurangi ketidaktahuan penonton, seperti dibisikkan oleh Donni Anggoro `Siapa dia', ketika para penyair di Sabtu kemarin satu per satu maju ke panggung. (Yo)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...