Langsung ke konten utama

Sajak-sajak F. Giet Marta

HUJAN BERBILANG

Hujan malam ini adalah hujan terakhir yang ikut menyertaimu
Dikelinkingnya telah terselip kafan berwarna merah, kuning dan hitam
Merintik, mendingin, meluntur diikat hujan-hujan bulan Juli
Hujan malam ini, hujan penghabisankah ia ?
Agustus tersembunyi dikerudung hujan berbulan lalu
Disemua telunjuk kadang mengiang decak terhenti
Dan hujan kini telah reda
Hanya mengais sisa serdadu-serdadu untuk berlanjut.
Padang, 19 Agustus 2007

SENJA, HUJAN TERLELAP!

Senja akan telah kuketahui
Siaplah ku menjunjung hujan hingga dini nanti
Kan ku tengok rintiknya dengan senyum tertetes
Dan ku kan terbit di ufuk barat

Di denting menghadap timur menyelaksa berpijar, mengelilingi hujan
disisi jendela, yang tutupkan galau bertitip rindu ditelaga ujung jalan
Dentingnya menyeruak ketika ku berteduh
kemudian terdiam tertatap dibias yang ia bentuk sendiri,
Aku disamping menyeka ampas gundah ditautan tanpa senja
Ia kungkung segala bias senja dalam kantong-kantong bajunya

Tiada kan kulihat lagi ia tertidur dalam senja itu?
Disandaran kata ya atau tidak tak mungkin ia berbaring
Aku menengok ke jendela letih bersama lelapnya.
Tidurnya terlalu lelap,
Jika senja menjagakan, aku takut ia menjadi siluet yang tiba hanya di senja
Inginku membenci senja atau aku,
Ikut terlelap bersama lelapnya
Dan saat ia terbangun aku kan tetap bersama senja
Untuk terbaring selelap-lelapnya

Padang-Payakumbuh, 25 Juli 2007


TIADA NAPAS TAKUTKU

Kenapa ketakutan menjadikan hujan tak lagi membasahi
Saat wajah dihadapan langit mendung
semalaman menanti cahaya

Kenapa ketakutan menjadikan angin enggan beranjak
Saat dagu tertancap dibumi latah
Mendulang nafas biru


Kenapa ketakutan menjadikan kata pelak bermakna
Saat bibir berujar ke laut-laut tenang
Dan pernah tiada riak bernyanyi gurau

Hingga ketakutan yang membuat gundah
Tak mampu menerangi gelap sendiri
Hujan gerimis sendiri 06



RASA

Aku
Hingar senja
Hadirlah rasa
Aku
Bulir ombak
Jawablah riak
Aku
Rambat cahaya
Teriaklah langit
Aku
Kamu
Ada



DIKERATON BIRU SEORANG LELAKI MEMBACA MANTERA KEMATIAN

Ketika kau datang dengan tergesa-gesa tak menentu temuilah aku, dikeraton biru
agar kau mampu menyunting pelangi dihadapanku penuh harap, berjalan
dan belakangi bayanganmu sendiri, kan ku bacakan sepotong mantera
biar kembali kusinggahi segenggam rasa tak tercicipi
Taburkan semai-semai kamboja di malam kedua puluh empat ;rahasiakan padaku
keraton berwujud merah darah sambil menafsirkan tiap sandi angin,
berjalari kenaifanmu hingga keraton berwarna biru
sisi pelangi yang terjanji disunting sesaat sebelum kematian menjemputku.

suarasuara itu datang, Agustus 06

JARUM SEMUT

Para jarum berlarian ke arah perbukitan dengan benang di kepalanya
sejumlah semut menyeberang
tertusuklah lambung kiri semut itu
di atas bukit
pergelaran jarum
benang bernyanyi
semut menyeringai sakit, terduduki juga

Kau tiada pedulikan aku.



Awan gelap bergerak ke arahku dari segala sudut menyerupai sepi
Aku tertanya pada sepi-sepi masih membentangkah benua untuk bumi
Entah, kemana ia kan berlayar
Ia yang terbang tanpa sayap berani berkata “ indah bumi!”
Sekedar merajuk pada kesetiaan



SI BELIA

Si belia mengajari ku makan tempe
bersama disaji jus bingkuang manis sekali
deret tersenyum isyarat musim malam kan usai
berbenah untuk sepiring tempe pake sambal
sedang dikantong piring gelas itu aku tersendiri
menyaksi belia menghidang tempe

Ya, walau sekedar sepotong tempe
bisa juga ku membisik sebuah

Belia masih saja berdiri
menunggu orang suka tempe

Sekarang mencicip tempe ku terbiasa
dari tangan belia buat tiada biasa

ia tetap berdiri,
siapa suka tempe, tibalah

Padang, 30 Sept 07

SAJADAH UNTUK MAMA

Kemudian, hujan tiada teguh tak sungging senyumku
tertelungkup hujan serupa doa rintik-rintik terus
kepadanya tafsirlah rinduku malam ini

Dibingkai sajadah kutaruh
sujud bagi mama di pesakitan, ia sendiri
tanpa tatap paras lembut keharibaan maha paras
untuk mama

Mama berselimutlah disajadah kubentangkan
turun juga lah cinta-Mu berelung-relung ke nadi mama
tetap hangat mama, sajadah sujudku bagimu


Adalah mama
menjadikan sujud disajadah tetap lama
Adalah mama
menghadir tangan penghadap kuasa
Adalah mama
memberi hujan penuh kerinduan
Adalah mama
Membuat senja selalu semerbak
Padang, 1 Okt 07


CERITA PINTU DAPUR

Sejemputku bersua di pintu dapur kita
Mengulang cerita yang kupenggal sebelum pergi
tlah kutengok mama, sehat saja

dari angin kudengar mama demam
tiada lagi bisa wangi senja kukirim bersama peluk
pintu dapur temani mama minum teh, sekali ini
dengar kesah ia bercerita

bangunlah mama
besok aku segera pulang
tunggu palarai damam dipintu dapur
ada cerita tentang menantu mama




LORONG

lorong tak membias sesiapa dari sudut nafas bergema ngiang, itu juga
sabet terdengar mulut entah buat tidur hati kata
sebelah tubuh menyedu racun, tak ayal
tertawa menertawai
geli surut
dilorong

dibayangan belakang
hati ada sebenar tiada
berlari tungganglanggang

“gapai lorong secepatnya!”

Koto Alam 8 Des 05







LUKA ANTARA

hari berkecamuk
ada
tak utuh
mendua sungguh
aku tidak siapa-siapa hari ini

-mu
-ku
dunia

jalan jalan-jalan
sia
sia
dunia

hari membuta
tak ada
utuh
meragu tak
siapa aku hari ini,

bayang mengsamar
harap meluka
selam menyata
tak ku sentuh

ambil hikmah?

Padang 2005



AKU MAU HIDUP SERIBU TAHUN LAGI

Roh mengubun-ubun dihentak bermalaikat gaib. Meronta, meneriak, dan lain-lain
Izrail sedang sakit
Alhamdulillah.


UNTUK SAJAK

Lepaskan aku dari napasmu yang menerkam nadiku
Untukmu mengerang bergejolak


O,

Akhir cinta ku terbang dibawa senyum luka dihatiku, tak lagi mengecap sisimu.

BARANGKALI

Kematianku tertunda hujan yang tak reda-reda
Menunggu teduh mungkin tak rasanya

Hai penjaga tempatku datangilah mereka
Sebelum makamku dibongkar oleh penguasa kesunyian
Tanpa akhir saat hujan beringsut pergi

Saat kematian tersakiti
Hanya kita yang merahasiakan

Koto Alam, 14 Okt 06


NYANYIAN RUBAH

Rubah-rubah jalang meradang
temani di cahaya terang terbang
Bangun paginya ada pelangi
sisa rubah malam bernyanyi
nyanyian banyak-banyak cinta disekitar
melambungi harap rubah betina
Rubah jantan tertawa melirik-lirik
menangi sebuah permainan
“ Siapa yang menyanyikan banyak cinta?”
“ Kalau pelangi mungkin hati yang meradang.”
Tertipu diri tak ada terjawab
sebenar ada demi sedu-sedun para rubah-rubah

dan rubah-rubah jalang meradang.

Padang, 2006


KOTAK RETAK

Coba lihat tiap sudut kelas kita
Dan tidak lucu untuk ketawa, mungkin
Genitkan,

Otak kotak-kotak
Kepala kotak-kotak
Badan kotak-kotak
yang penting ini, kemaluan kotak-kotak
lho kok kotak-kotak?

Lama-lama,
Otak retak-retak
Kepala retak-retak
Badan retak-retak
akan bahaya ini, kemaluan retak-retak
emang sudah retak-retak?

Bingung juga antara kotak malah retak
atau harus dikotak-kotakkan

Iya, kelas kita kan berkotak-kotak
dan selamat mengotak-atik
serta siapkan untuk retak.

RA, 17 April 2006


PUISI LANGIT BIDADARI DAN KEMATIAN

Ingin puisi digantungkan berakar tiada tinta
Ingin langit dimendungkan berujung tiada hujan
Ingin bidadari dihiasi ternyata tiada tempat tuk berhias
Ingin kematian dijemput dini tiada asa dihati

Padang, April 2006


TETAP MEMBAJAK

Bajak laut merampas kardus-kardus berisi rindu
yang ia curi pagi ini
Bajak laut itu hitam, berbulu lebat hidungnya
mengindus bau-bau anyir mawar-mawar
Bajak laut iringilah kesadaranmu
yang tercium kamboja lahat

Ia masih harum,
jangan kau tusuk kan bangkai berlendir
mulut kotormu
Ia masih ingin,
Melihat orang berlalu lalang dibawah
jembatan sore kemaren.

Padang, 2006










ENTAHLAH

Malam dingin kian mendekam telanjangi jiwaku ngigat dirimu, burung malam hilang sunyi alangkah asing menjamah diriku meronta terselimuti beku biru sendiri.
Tanpa keresahankah kau disana?

Padang, 2006

MASIH DULU

Akui rindu itu turun
dengan kusutku yang tiada pernah kau sentuh
sebelum angin-angin meneriaki
kapan semua bergumam lantang

Akui cinta itu datang
Dengan harum pagi ini

Padang, 2006


MARILAH

Aku ingin tidur
telah dekat mimpiku malam ini
biar ku sentuh
Eeok tersenyum kembali sunyi
menunggu malam tiba
dan aku kan terpejam untuk mendatangi

Ia kembali,
Lekaslah berbenah!
Padang, 2006


NYANYIAN TELAGA

Hingga petang ini telaga di tepi batu
Masih ingin berdendang lirik meringkikkan
Tiap bulu kuduk semak belukar sekitar

Ketika ia telah lebur
Dengan sulaman mimpi indah semalam lalu
Mengupas sayat-sayat air dan bintang waktu pagi

Dalam telaga beribu kata tanya
Bulir-bulir cemas terjawab
Diseonggok kayu bakar milik rayap-rayap kelaparan


Malam mendekat
Ia mereguk embun segar dari mahkota bunga
Sambil membisiki awan yang hendak menyetubuhinya

Tiba-tiba ia gemetar ketakutan menjalari kerisauan
Dindingnya sorang berlanjut
Dan terus tenang.

Padang, Agustus 2006


SEBUAH TULISAN

Aku ingin menulis
tapi aku tak tahu apa yang akan ku tulis
semuanya ada disini tapi sekalli lagi tak mampu ku tulis

Aku tak mengerti mengapa aku ingin menulis
sedang apa yang kan ku tulis, aku tak paham untuk apa aku menulis
dihati tertulis namun tak mau tertulis

Aku ingin menulis
yang dipikir ingin kutulis
darimana aku akan memulai
dan dimana harus diakhiri

Kegundaan itu harus ditulis
dimana kutulis
untuk siapa ku tulis
dan apa artinya ku menulis

ditulis dan menulis hanyalah untuk yang tertulis
tertulis dan menulis hanylah untuk yang ditulis
tertulis dan ditulis hanya untuk yang menulis
menulis, ditulis, dan tulislah apa yang tertulis
sebab apa yang tertulis telah ditulis oleh yang maha menulis

Merak, November 2005


MALAM LEBARAN 2

Kuburan diatas bulan

Padang, 2007







BALIKLAH RINDUKU

Aku terhunyuk menyaksi rinduku pergi berjalan sendirian, ingin ku turut menemani walau cuma hingga ujung jalan tapi aku serasa tersunyi ketika ia berjalan setapak demi setapak kemudian beranjak berlari bersama angin yang datang dari belakang bayanganku, aku tiada mampu berbuat sebuah. Telah kuteriaki “ Rinduku, tak usah kau tinggalkan aku sorang disini, aku pasti kehilangan benar jika kau tetap pergi, siapa yang kau tuju disana, rumahmu disini!!”
“ Aku akan mengurusmu lagi, baliklah rinduku, baliklah!”
Ia hanya menekur menyusul angin, senja yang membawanya membuat tak menolah barang sekejap pun, aku terjawab isak menengok rindu pergi. Mungkin ia sudah muak dan bosan, salahku mengurung dan mengikat dirumah hatiku, membiarkannya tertatih dan terlelap lama tiada sorang pun menemani dan menjaga.
Teringat aku bagaimana rinduku mengangkangi wajahku saat melompat dari mimpiku hingga mampu ia berjalan tanpa bisa kebenahi ia sebelum beranjak. Seandainya ia minta ijin, setidaknya aku bisa membekali dia dengan alamat yang sekurangnya ia kan tuju, seminimnya arah mata angin agar ia tak tersesat kemana-mana. Yang aku paling gamang, rinduku masih labil tak tahu apa-apa, ia tak pernah kuajari berbagi, menangis, tertawa apalagi mencintai sebab saat ia datang aku juga telah risau dengan rinduku sendiri.
Aku masih menatap rinduku itu pergi, entah kerumah siapa yang ia kan singgahi, entah siapa yang mampu memberinya sesejuk hati atau barangkali ia ingin kembali kerumahnya diakhir jalan ini, kembali kepada pemilik ia sesungguhnya.

Padang, 5 Januari 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...