Langsung ke konten utama

Puisi : Untuk Semua, Milik Semua

Dihalte-halte, metro mini, mahal senyum
Udin kecil masih berlari diujung gerimis
Gerimis dari awan diujung kelam
Gerimis disudut mata dari nasib kaum urban
Bawa berdesir mungkin derita akan hilang
Sorot matanya masih menyiramkan sebuah semangat
Semangat berebutan recehan pengganjal muram
Puisi panjang yang tidak dimulai hari ini.

Butet kecil dan ucok bayi di gendongan
Masih termangu disudut stasiun kota
Sampai kereta tiba-tiba langsam distasiun
Diperon-peron, bangku tunggu, masih mahl senyum
Kaki-kaki kecil berebutan mengejar kereta
“Hanya kereta langsam distasiun?”
Dibotol-botol pelastik kereta ada secercah harapan
Agar ucok digendongan bisa jadi pejabat
Mimpi-mimpi yang melahirkan puisi tanpa aksara
Puisi panjang yang tidak dimulai hari ini

Diradio-radio, televisi, surat kabar, masih mahal senyum
Bukannya dibawah gerimis diujung kelam
Tidak berebutan recehan dan tidak mengejar kereta langsam
Ada kita yang mengejar makna
Merubah bahasa berebutan recehan pengakuan
Berebutan satu-satu senyum yang mahal
Hanya puisi pendek yang kita mulai hari ini

Derita masih saja berjalan
Seakan memintal seribu kesal
Sejuta rindu penuh penantian
Puisi……puisi……
Untuk semua yang kita mulai.


Siti Ambia, 2006.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007