Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2009

Simpan Airmatamu

jangan basahi malam ini dengan bening air yang jatuh dari hulu di sudut matamu. segumpal kesedihan yang membatu— biarkan perlahan terkikis waktu. sebuah pintu senantiasa menunggu terbuka oleh tanganmu. di luar, sepetak dunia dan sebentang jalan rela mengantarkan menuju ngarai kebahagiaan. bangun, beranjaklah segera, rita simpan airmatamu tak perlu terpaku merawat sendu demi setitik debu yang mudah berlalu Surabaya, 2008

Tiada Kupinang Engkau

tenanglah, tiada kupinang engkau di bawah hawa sore seaneh ini. hanya aku bermimpi jadi seekor enggang —menyusun sarang di dahan lengang, mencari ceruk persembunyian pada bentangan malam berawan pada rawan di ruang penantian. tiada akan aku lari, tapi hanya diam, geming sendiri—memagari miang diang seraya nyanyikan nina bobo bernada sungsang, separau risau, aku berlagu untukmu, untukmu saja duhai dara bermata hujan senja... namun, dengan puisi pun diri bisa terbantun sengungun daun, sebab seperti yang kuyakini: antara diri, sunyi, dan misteri sudah tak terbagi RS. Haji Surabaya, April 2008

Tahilalat di Bibirmu

setitik dunia berbisik ke sunyi lautku: ia sebangsa kenang, sebangsa padang yang menampung selaksa ruang yang kujelmakan harum bayang-bayang "engkau merangkum senyum pertanda hujan merapat ke sisi daun sebelum ranum" dan masih kupilih tahilalat di bibirmu sebagai titik api juga isyarat bagi kelasi memutar kemudi mencari sudut di cakrawala panjang meski masih ada sepenggal rasa hilang: tiada daratan ‘tuk arah pulang, segala merentang tualang sedang rasi bertutur pasi tak berkisah tentang cinta yang datang "engkau merangkum senyum tiada tiba reda, hujan terus bernafas —deras dan menggerum" maka kucari tambat pada tahilalat —ya, tahilalat di bibirmu, seperti temali yang erat mengikat sepi abadi dini hari, seperti jejak bintang yang tak lekang kubaca, seperti jalar beluntas di pagar-pagar. senyummu bangkit mengikut angin, mencari jalan-jalan sunyi yang bermimpi diberkati, lalu menjelma bahasa yang enggan dilupa "engkau pun tersenyum tahilalatmu hiasan yang bertahan...

Preludium Sederhana Bagi Rita, 3

sejak cuaca memerahkan cakrawala dengan puing cahaya warisan senja, lengan-lengan waktu seakan datang, hanya untuk melukis bilur lebam di dasar jiwa, selebihnya—dunia yang hampa oleh pagutan rahasia dari balik kata-kata. aku mengenalmu tatkala angsana meluruhkan bunga, sebelum tangis gerimis berduyun turun dari utara. kala itu, tiada percakapan atau kenangan yang mengundang hujan bernyayi tentang sepetak beranda yang lengang dan sunyi. ah, semenjak senja pergi, di udara menggenang rintih-ratap menggetarkan bulan lalu waktu menyerahkan jasad ke pangkuan malam. selaksa pertemuan hanya diam terbungkam, dan cinta senantiasa memabukkan meski tanpa kehadiran, ungkapan —tanpa percakapan. Surabaya, Juni 2007

Preludium Sederhana Bagi Rita, 2

sesempurna apa bila hati sunyi, lagi mengigau satu namamu. masih tak kumengerti, namun kurasai tanganku lantang tergerak menggali perigi, sendiri mengharap mata air ruah tercurah, dan kelak membawaku berperahu menuju muara di hatimu. debu-debu salju dari beludru sayu bola matamu mengajakku berdansa di bawah kubah cahaya lalu memaksaku beku, seraya menghayati musim yang tak kukenali namun selalu aku akrab senyum cuacanya, yang senantiasa membuat bunga di taman kota, membuka kelopak rindunya. duh rita, betapa singkat senja, betapa ringkas segala seperti sajakku yang sahaja —menyerah pada malam, terbenam beribu tafsir bisu, tentang diam seekor kupu, seekor kupu dari hulu senyummu. Surabaya, Februari 2007

mengapa aku tiba-tiba merasa benci bila kutuliskan judul untuk puisi yang tak puisi ini?

tak urung kau buka juga jendela kamarmu. ada sesuatu yang menunggumu. sesuatu yang kau enggan menyebutnya dalam jaga, tidur, bahkan hanya dalam angan. kau takut? kau takut bila suatu saat dia memilihmu menjadi kekasih? dia sungguh mengharapkan kehadiranmu, seperti seorang bocah menunggu uang jajan dari sang ibu. entah sejak kapan cintanya tertanam untukmu. dia tetaplah dia. dia adalah sesuatu yang menunggumu dari balik jendela. tapi kau enggan menyebutnya. mungkin ia merindu-dendam ingin menemuimu dalam sebuah kencan di bawah purnama bulan, di atas bangku taman, dalam sebuah kesempatan yang akan dia simpan di bilik kenangan. mengapa kau sungguh membencinya? mengapa hatimu gusar bila kusebut namanya? apa dia telah mengganggumu di setiap ruang dan waktu? ya, apa sebabnya kau sungguh membenci MAUT itu.... Surabaya, 23 Juli 2009

GADIS CANTIK MATAHARI BARU BERSINAR

Gadis cantik. Matahari baru bersinar … Berpendar di wajahnya Dialunkannya lagu dari mulutnya “Bangun…bangun…” Setelah malam menyanyi bulan “Tidur…tidur…” Waktu lelap telah dirapikan di ujung ranjang Gadis cantik menyapu mengepel lantai Merapikan berantakannya barang Demi sebuah pertemuan agung Kenyataan nyalang dan tantangan Kerancuan dan pembenaran Dilepaskannya matahari seperti kupu-kupu Yang terperangkap di kaca jendela Lalu sebersit cahaya ditangkap matanya Berdiri di pintu keluar ia dalam feminimitasnya Menarik urat-urat tubuhnya yang indah bersama senyuman terlontar “Ayo hadapi, kenyataan!” “Ayo lawan, kerancuan!” Januari 2007

CHEER !

Setiap kata tak sanggup lagi menuang setitik pun Air. Dan gelas pun terus kerontang … Aku hanya menempelkan dan menggeleng-gelengkannya di dada Aih… geliat jemari di rambut ini Gerak hati-hati pangkuan itu Dan semuanya dan semuanya… “Kubilang kata tak mampu menuang!” Sudah kubilang, “Sedikitpun!” Nafasku terus memburu waktu Aku harus mendapatimu segera! Aku harus merapat kepadamu! Menyatukan desah nafas dan rumit alunan degup jantung Di dada dan urat nadi Kini sekujur tubuh merindu gerak hidup Ku sebut namamu Ku sebut namamu Kusebut namamu Aku akan merangkulmu erat, mendekap…mendekap! Memecahkan gelas kehidupan kita Dan mari bercampur! 2005

Asmarandana Peronda

buat Maulida Isnaini is, biar kujaga mimpimu dengan cemasku ketika malam hablur, orang-orang sibuk mengulur lindur, aku memberimu kantuk di pelupuk sebagaimana kuyakini sebentuk ufuk akan jadi dinding yang keras membatas antara rindu penghujan dan musim panas, antara sunyi dan riuh yang lekas berkemas (aku pun bergegas menggamit asmara yang ganas mengeras...) malam ini, akulah peronda bagi kampung-kampung di hatimu yang hampa penanda jasadku mungkin sarang kelelawar namun selalu: rinduku taman berimbun mawar dan bila dalam rongga dunia hanya tersisa debar, sanggupkah kupenuhi rumahmu dengan pikat samar yang membakar? is, katupkan pelupukmu penuhi arah nujum garis tanganmu sebab malam bukan pembenci—seperti negeri yang sabar menanti mati dalam injakan kaki para pencuri Surakarta, Desember 2006

Ungu Umu

ada gumam cuaca gegas menimpa pucuk cemara. ada desir tak terpahami, di sini— siapa pun berjalan, membawa nyawa atau sekedar menjala suara dari jejak hampa dan gerak udara di sendu matamu, bulan getas melintas, trawas mengeras —dihantui nyanyi serangga musim panas. semua menjelma ruang di mana nafas mengenal sepintas risalah garis batas jauh di luar vila, lampu-lampu menyala walau kabut enggan melikat, gerimis tersumbat gigil yang pekat. bersama ungu senyummu, cuaca merabun, lalu turun, berjajar, dan terlantar di selasar pagar pudar membelukar namun, siapa pun terasa cela ‘tuk datang mencinta setelah udara sesak cerita tentang bunga angsana dan duri akasia yang kau simpan di selubung jiwa Trawas—surabaya, 2007—2008

Alifuru

pada mulanya alif menyatu dengan uru jadi yang pertama di Nunusaku mereka berahi lalu beranak cucu memenuhi bumi Nusa Ina makanan pokok mereka, pati sagu atap rumah mereka, daun sagu dinding rumah mereka, dahan sagu tas yang mereka jinjing, pelepah sagu biaya sekolah anak-cucu mereka, hasil menokok sagu hidup mereka, ibarat pohon sagu perangi kasar kalau berujar seperti sedang bertengkar tetapi, sesungguhnya nurani mereka sangat halus sehalus pati sagu yang mereka makan tiap hari Seram, Juni 2009

Senandung Lagu Petik Cengkih

lama sudah tak kudengar senandung lagu petik cengkih mengalun dari bukit-bukit hijau di negeri Seribu Pulau dari pucuk-pucuk cengkih yang kini layu dililit benalu lama sudah tak kunikmati senda-gurau jujaro-mungare gendong bakul-tagalaya, pawela di bawah pohon-pohon cengkih yang kini hampir mati dihimpit belukar lama sudah tak kusaksikan penduduk negeri, masohi pameri di ladang-ladang cengkih yang dahulunya ramai namun kini berubah sepih ditinggal pergi petani yang hampir mati dililit huntang lama sekali sejak angin gunung tak mau lagi menghembus wangi segar bunga cengkih pada kumbang yang banyak menghirup laba dari jatuhnya harga cengkih Ambon, Mei 2009

kenanga

Kuraut semua kenangan tentangmu kubebaskan jiwa berkalang ruang waktu meramu masa lalu mengukir gurat keriput dikulitmu ; ayu merayap temaram lentera tua meniti masuk dalam kerajaan kancil seperti lepas tanpa halang sukacita bersama purnama kini hati sendiri tak terbagi mengarungi zaman suara tak lagi kudengar jelas dalam tangis perekat rindu. kenanga, Aku rindu.