Langsung ke konten utama

Tahilalat di Bibirmu

setitik dunia berbisik ke sunyi lautku:
ia sebangsa kenang, sebangsa padang
yang menampung selaksa ruang
yang kujelmakan harum bayang-bayang

"engkau merangkum senyum
pertanda hujan merapat ke sisi daun
sebelum ranum"

dan masih kupilih tahilalat di bibirmu
sebagai titik api
juga isyarat bagi kelasi memutar kemudi
mencari sudut di cakrawala panjang
meski masih ada sepenggal rasa hilang:
tiada daratan ‘tuk arah pulang,
segala merentang tualang
sedang rasi bertutur pasi
tak berkisah tentang cinta yang datang

"engkau merangkum senyum
tiada tiba reda, hujan terus bernafas
—deras dan menggerum"

maka kucari tambat pada tahilalat
—ya, tahilalat di bibirmu, seperti temali
yang erat mengikat sepi abadi dini hari,
seperti jejak bintang yang tak lekang kubaca,
seperti jalar beluntas di pagar-pagar.
senyummu bangkit mengikut angin,
mencari jalan-jalan sunyi yang bermimpi diberkati,
lalu menjelma bahasa yang enggan dilupa

"engkau pun tersenyum
tahilalatmu hiasan yang bertahan
bahkan kekal diguyur hujan"

dengan tarian jarum
di lingkar kompas yang gelisah
telah kusapa segala tanda arah,
dan hanya termaktub dua kutub
namun tahilalatmu serupa rahim waktu—
dimana segala bermula, segala bergerak,
segala menua, segala membatu
—menjadi noktah yang menafsirkan
bahwa dunia bertumpu pada satu ibu

lalu kueja setiap gelombang
yang datang mengetuk rumah tanpa gerbang
dan masuk, berkabar tentang sisa kenang
juga rindu perindu yang mabuk

maka kusimpan saja senyummu
—juga tahilalat di bibirmu, ke dalam almanak
yang kelak bersuara selantang lautan,
menyihir ingatan dengan gerimis
yang selalu ritmis kau bisikkan
ya, kau bisikkan


Surabaya, 2007

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Tulisan yang Terhapus pada Kantung Infus

  Ada yang ingin ditulisnya pada setiap tetes cairan infus : semacam doa, mantra, atau sebuah gumam belaka 1/ Dia menduga bentuk sakitnya adalah sebuah kolam dan tiap tetes cairan infus akan membuat riak kecil di permukaannya, seperti butiran hujan yang pecah di atas patung batu Malin Kundang sesaat setelah dikutuk Ibunda diam-diam dia mulai menduga : inikah sakit anak perantauan? 2/ Ketika pada tangannya hendak dimasukkan sebentuk selang kecil ada rasa sakit, seperti jemari lentik Ibu mencubit masa kanak dia bergumam,” Ibu tetap tersenyum meski aku begitu nakal.” lalu dia memilih tertawa kecil, alih-alih mengaduh pelan 3/ Yang dia tahu, ada tulisan tangan Ibunda tersayang terhapus pada kantung infus. Menetes pelan-pelan, memasuki sebuah nadi dalam tubuhnya 2007