Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2009

Puisi-Puisi Yosi M Giri

Kabut Yang Memataiku demi dingin yang menyertaiku pulang kampung, aku memoles malam dengan gemetaran hidup yang ditiupkan setiap jemari kuharap tak berhenti hanya karena jalanan ini sepi dan pengap tapi kerling itu, tak cukup menggangguku tidak juga kabut itu, aku hanya perlu menciumnya dan selebihnya kuhancurkan kugempur dan kau pun tahu, diam-diam mereka menyertaiku dan memataiku Bunga Pustaka, Maret 2009 --- Pada Sebuah Kata Di lorong-lorong hening Tiap pasang mata menjelma matahari Sinaran leluasa yang dikelabui kabut Jangan berharap kau dapat dekat mendekapnya erat Jika reruntuhan sesunyi itu telah meninggalkan riwayat Bakal api kembali debu Dan sesekali berteduh di rumah-rumah lebah Akankah kau percaya pada dinding Tempat dingin membentuk wajahmu Bersama surat-surat yang tak satu pun terbalas Walau hanya sebatas senyum dan angan Akhirnya, kata-kata menyembunyikan mereka Seperti pori-pori kulit dari kejauhan kau memandang Pendhapa Bunga Pustaka, 2009 --- Tuhan dan Semut Naka...

10 Puisi Binoto Hutabalian

Binoto Hutabalian (Binoto H Balian) lahir 13 Juli 1979 di Pardomuannauli Desa Harian Pulau Samosir – Sumatera Utara. Menulis sejak duduk di bangku SMA entah hingga kapan. Menulis Puisi, Cerpen, Cerbung, Opini dan Esai sastra di berbagai media seperti: Majalah Sastra Horison, Majalah Budaya Sagang, Harian Umum Riau Pos, Harian Batam Pos, Harian Riau Mandiri, Harian Global, Harian Medan Bisnis, Harian Analisa, Harian Waspada, Harian Lampung Pos dll. Sepuluh puisi yang terangkum dalam koleksi Puitika.Net kali ini adalah Kalender Tanpa Berahi ; Seikat Doa, dan Pulau Biru ; Kibas Purnama di Pesisir Parbaba ; Perempuan Penjaga Dermaga ; Sarang Para Malaikat ; Terowongan Sunyi ; Semburat Mu Di Pulauku ; Pulang ; Sebatang Rokok ; serta Replika Air Mata . Binoto Hutabalian.pdf

Di Semenanjung

Di Semenanjung arah kedatanganmu yang tak pernah kau beritahu kepadaku nasib berlarian, mengitari semesta semesta, meringkus nasib durjana engkau, kalimat puisi tertinggal. engkau, kesan yang tak dapat kutuliskan betapa cahaya terasa mengepung, melempar tombak-tombaknya ke punggungku, ke mataku. camar memanggil dari rentangan cahaya paruhnya mengais sejuta kengerian ikan “beri aku tanda, tentang arah kedatanganmu. kutunggu! meski tanggal gugur, satu-satu.” meski bulan-bulan menjadi basi dan tahun membusuk di dadaku datanglah! datanglah! akan kumaknai penantian sebagai kutub yang mengangan matahari peluh yang mengalir adalah pujian yang tak sampai kepadamu gelisahku, gemetar daun-daun datanglah! datanglah! tunjukan padaku, bahwa kaubenar ada, (2008)

Sajak-sajak Iqro' eL. Firdauz (2)

MENDEKATI GERAI :Yi di telinga ini secara kebetulan kita belai membelai merapat cepat dan terbang sejadi-jadi desahmu perlahan berbunyi rindu lucuti raut mimpiku aku terpukau hingga selengang bukit hijau kutimang segala pohon menggelegar semua burung jatuh terkesima sebentar aku pergi melepaskan diri lalu kembali cuaca tiba-tiba berangin udara begitu dingin tubuhku terasa sengal sebab udara nyaris anyir aku berlaga, tapi tidak main-main menghindari remang dan mencari temaram sebab aku begitu yakin kau adalah cahaya yang didera derita aku pun menunggu menunggu seperempat wajahmu untuk dicarai lalu menyimpulkan sepenuh daya bahwa kau adalah kejujuran tanpa ada yang menyebut kata itu termasuk dirimu Yogyakarta, 2008 --- MEMAHAMI LAUT DENGAN KEMUNGKINAN aku hanya ingin melihatnya dengan kengerian di batas ayat yang mengalir sebatas pesona keindahan yang berlebihan mungkin. mungkin laut adalah kebahagiaan tuhan tanpa harus bermasturbasi hingga langgeng aku mesti sedikait melukai perasaan de...

Sajak-sajak Iqro' eL. Firdauz

TEMAN DAN TAMAN teman dan taman seperti buah ranum di dada perawan mendekap dan teresap diemban dan tergenggam kemanapun ia melayang sampai dongeng sebelum tidur teman dan taman adalah rindu sungai pada ombak aliri paritparit dalam buku harian hingga celah-celah pada muara malam tapi tak pernah ada yang mengerti tentang ketenangan yang merobek-robek sunyi dan keramaian yang lebih nikmat dari hujan mengalir kencang dan penuh bahagia Pare, 5 juli 2008 --- MEANG seperti juga tubuh laut ia bahkan tak tahu kemana nafas akan dan telah terbawa menjadi ladang para nelayan kisah cinta entah siapa siapa yang dimiliki dan memiliki ataukah kematian dari nafsunya ia bahkan tak tahu seperti apa kejujuran yang terkadang pasang begitu surut Pare, 2008 --- SEBUAH JAWABAN :KEMATIAN hujan tak seperti biasa mengguyur kepala turun saat terik mata berlenggang tanpa aba-aba seperti mukjizat pada rasul-rasul menjelma diriku menggantikan ruah-riuh dinding kamar geremet gerak tangan dan bisikan suara terpancang...

Puisi-Puisi Yayan R. Triyansyah

PENIUP SERULING ILALANG kepada: Seruling Ilalang Dari rumah sunyi diperbukitan hening, tiba-tiba kaudatang menyapa mengetuk pintu dengan suara seruling dan tarian ilalang. Membangunkanku dari lelap tanpa kutahu, apasiapa rupa dan muka dirimu mungkinkah, dirimu peniup seruling ilalang ; rumah nada-nada dan gerak tari semesta ; racikan kemabukan beriburibu rindu lalu kubertanya, tentang perjalanan ruh adalah susur alir sungai, menyemai kerinduan di tiap arusnya, serupa angin yang tertiup lewat lobang jasad, seruling nada kehidupan dan kausebut itu "belum" lalu kaucerita "pada merdu nada seruling, ilalang di halaman rumah sunyiku menari... di puncak perbukitan hening semuanya bergeming.” maka pada merdu nadanya, sunyi lindap, sepi mengendap di puncak bukit hening, tempat pertapa sunyi tinggal, menyatupersatukan tetes di luas samudera... hilanglah kau, aku dan dia tanpa ada kata kita Semarang, 15 November 2009 --- MENGAPA KITA TAK MENGGANTINYA SAJA Karena sepi yang tinggal d...

SEPASANG TEROMPAH

Puisi: Hafney Maulana @ Lana esEs Sepasang terompah yang kau pakai dulu kini rapuh berdebu menunggu jejak kita yang ditinggal peziarah mengusung deritanya Sepasang terompah yang kau pakai dulu bagai remaja yang merenung gadisnya menemukan mimpi yang tak habis-habis membangun kemegahan yang tersengal dalam derita Sepasang terompah yang kau pakai dulu pucat bagai bibirmu - gelisah diusik dongeng yang mencemburui warna pada bingkai kaca. tempat kita berdarah di dalamnya.

Jejak Siapakah

Jejak siapakah yang menggeliat di angin. Jari-jarinya mengapung di langit memainkan piano bagai seorang ibu yang meraba dadanya dalam kesejukan etalase plaza ditengah ribuan impian. Walau mimpi orang-orang lusuh tersesat di selokan merebut tetesan darah yang dicetak tebal pada halaman muka surat-surat kabar Jejak siapakah yang menari di daun-daun mencari kumbang walau seribu kembang diam dengan seribu mata jadi danau menenggelamkan impian para budak yang mencari tawa di kantong-kantong majikan. Sehingga ribuan impian tumpah di jalan-jalan. Maka jejak siapakah yang menggeliat menari di dahi hingga mulut menumpahkan busa dan jiwa-jiwa kebanjiran tertimpa botol-botol, kaleng dan bungkus pel Jejak siapakah yang menangis di tali-tali gitar, ketika seorang tua dengan jemari gemetar memetik embun walau burung tak berkicau hingga matahari meneteskan keringatnya

Sujud

tersimpuh pada halaman suratmu lebur aku khusuk dalam tulisan cinta bertebaran pada rerumputan bulumata sampai tatapanmu, kekasih aku ikuti jejak malam penuh tasbih kausematkan purnama di langit sunyiku tersentuh dalam alunan ayat-ayat airmata berpendaran di celah-celah rakaat menerangi mihrab hingga subuhku kutanamkan doa-doa kuimpikan semerbaknya kusirami dengan embun sujudku terenyuh dalam kehangatan rumahmu kaubisikkan kehadiranmu, ampunan dan keimanan bersinaran lamat-lamat fajar jiwaku bersinaran tak henti-henti 2009