PENIUP SERULING ILALANG
kepada: Seruling Ilalang
Dari rumah sunyi diperbukitan hening, tiba-tiba
kaudatang menyapa mengetuk pintu
dengan suara seruling dan tarian ilalang.
Membangunkanku dari lelap tanpa kutahu, apasiapa
rupa dan muka dirimu
mungkinkah,
dirimu peniup seruling ilalang
; rumah nada-nada dan gerak tari semesta
; racikan kemabukan beriburibu rindu
lalu kubertanya, tentang
perjalanan ruh adalah susur alir sungai, menyemai
kerinduan di tiap arusnya, serupa
angin yang tertiup lewat lobang jasad, seruling
nada kehidupan dan kausebut itu "belum"
lalu kaucerita
"pada merdu nada seruling, ilalang di halaman rumah sunyiku menari...
di puncak perbukitan hening semuanya bergeming.”
maka pada merdu nadanya, sunyi lindap, sepi mengendap
di puncak bukit hening, tempat pertapa sunyi tinggal,
menyatupersatukan tetes di luas samudera...
hilanglah kau, aku dan dia tanpa ada kata kita
Semarang, 15 November 2009
---
MENGAPA KITA TAK MENGGANTINYA SAJA
Karena sepi yang tinggal di kepalamu sudah terlalu tua dan kita lupa menggantinya dengan sepi serupa yang berusia lebih mudausianya. Sayangnya kemudaan menjadikanmu beralasan bahwa usia meniadakan guguran daun yang penuhi sejarah nisan ayahmu. Bukankah sepi itu sama saja? Dimana-mana orang menyebutnya sebagai pintu kesunyian, sebuah harapan yang menyimpan keputus asaan laiknya kelebihan beban kehidupan, sehingga puncak kebisingan menjadi sebuah denging tiada henti.
Semarang 2009
---
PEREMPUANKU
seusai cerita malam itu, kau seduh candu di secangkir kopi dan menyelimutiku dengan bara ragamu, terbesit kata rancu tentang janji, hingga kubiarkan keraibanmu menelan rinduku, sekedar rupa kabar yang kau umbar pada lorong kenang yang tak sabar.
; semoga kau ingat, sengatan kesumat yang tinggalkan bercak hitam di tengkuk dan lenganku.
ketika itu, belum usai kulukis pemandangan indah di tubuhmu, namun kau keburu diserbu, dan aku hanya terkantuk menunggu giliran serdadu yang jilat peluhmu ;sungguh tragis, setitik tangis atau ringis tak kulihat di rautmu.
sementara hanya harap yang kudekap, seperti lantai usang yang berkerak. Setiup redup sayup ingatku, kusampaikan lewat toa masjid, musholla dan orkestra pada pesta perkawinan karibmu, agar sampai jua kabarmu pada goresan pallet dan kuas yang kulukiskan di tubuh dan kemukusmu serta mulutmu yang meracau ketika itu.
Rembang, 2008
---
REVISI PETISI PUISI
setelah menuliskannya sedikit dari yang tertangisi
sebentar saja bersepakat dengan sangsi atau saksi dalam tradisi.
Sekujur tubuh puisi tak pernah mati,
hanya ada tertinggali atau tiada meninggali.
"hey, ingatlah !sebuah petisi tak harus harga mati,
karena dari adalah ambisi dan untuk tak berarti sugesti"
begitulah sebuah konsepsi.
Logika mengganti logistik yang dicuri,
maka revisi pun elak dihindari.
begini ;coba kembali pada mimpi, atau
apa yang hadir dari hari, mungkin sadari inspirasi.
"tak apalah, jadikan ini sebuah prasasti, walau
sebatas mengaji diri"
Pondok Gede, 2009
---
TENTANG KATA DAN MATA
Di sana kita lihat banyak manusia, mengusung
kepala-kepala gaduh,
entah mengaduh atau sungguh.
Sementara teman-teman sunyi kita mulai terjaga
;dan dimulailah percakapan dari pasang mata kita,
muncul kata-kata tak terbaca ;tentang perjalanan duka suka.
Jangan lupa kawan, coretan yang
kita lukis di dinding tiap masing belum usai.
Sambut saja mereka, dan luapkan dalam rasa.
Hingga lahir kata yang tak sebatas.
Kita sama tahu, banyak kata yang menunggu,
Dan aku ;hanya bekal rindu yang tak tentu.
Pondok Gede, 2009
---
Yayan R. Triyansyah, lahir di Rembang 21 April 1989. Tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Semarang 2006, program studi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Beberapa puisinya dibukukan dalam Antologi pendapa 8 “SECANGKIR KOPI DAN PUISI” (TBJT, Juni 2009), Antologi bersama komunitas LEKAS(Jakarta, 2009), Antologi Penyair Nusantara “MUSIBAH GEMPA PADANG” (Malaysia, November 2009), bergiat di Komunitas Roda Gila, Komunitas Hysteria Semarang dan Komunitas Mata Aksara
kepada: Seruling Ilalang
Dari rumah sunyi diperbukitan hening, tiba-tiba
kaudatang menyapa mengetuk pintu
dengan suara seruling dan tarian ilalang.
Membangunkanku dari lelap tanpa kutahu, apasiapa
rupa dan muka dirimu
mungkinkah,
dirimu peniup seruling ilalang
; rumah nada-nada dan gerak tari semesta
; racikan kemabukan beriburibu rindu
lalu kubertanya, tentang
perjalanan ruh adalah susur alir sungai, menyemai
kerinduan di tiap arusnya, serupa
angin yang tertiup lewat lobang jasad, seruling
nada kehidupan dan kausebut itu "belum"
lalu kaucerita
"pada merdu nada seruling, ilalang di halaman rumah sunyiku menari...
di puncak perbukitan hening semuanya bergeming.”
maka pada merdu nadanya, sunyi lindap, sepi mengendap
di puncak bukit hening, tempat pertapa sunyi tinggal,
menyatupersatukan tetes di luas samudera...
hilanglah kau, aku dan dia tanpa ada kata kita
Semarang, 15 November 2009
---
MENGAPA KITA TAK MENGGANTINYA SAJA
Karena sepi yang tinggal di kepalamu sudah terlalu tua dan kita lupa menggantinya dengan sepi serupa yang berusia lebih mudausianya. Sayangnya kemudaan menjadikanmu beralasan bahwa usia meniadakan guguran daun yang penuhi sejarah nisan ayahmu. Bukankah sepi itu sama saja? Dimana-mana orang menyebutnya sebagai pintu kesunyian, sebuah harapan yang menyimpan keputus asaan laiknya kelebihan beban kehidupan, sehingga puncak kebisingan menjadi sebuah denging tiada henti.
Semarang 2009
---
PEREMPUANKU
seusai cerita malam itu, kau seduh candu di secangkir kopi dan menyelimutiku dengan bara ragamu, terbesit kata rancu tentang janji, hingga kubiarkan keraibanmu menelan rinduku, sekedar rupa kabar yang kau umbar pada lorong kenang yang tak sabar.
; semoga kau ingat, sengatan kesumat yang tinggalkan bercak hitam di tengkuk dan lenganku.
ketika itu, belum usai kulukis pemandangan indah di tubuhmu, namun kau keburu diserbu, dan aku hanya terkantuk menunggu giliran serdadu yang jilat peluhmu ;sungguh tragis, setitik tangis atau ringis tak kulihat di rautmu.
sementara hanya harap yang kudekap, seperti lantai usang yang berkerak. Setiup redup sayup ingatku, kusampaikan lewat toa masjid, musholla dan orkestra pada pesta perkawinan karibmu, agar sampai jua kabarmu pada goresan pallet dan kuas yang kulukiskan di tubuh dan kemukusmu serta mulutmu yang meracau ketika itu.
Rembang, 2008
---
REVISI PETISI PUISI
setelah menuliskannya sedikit dari yang tertangisi
sebentar saja bersepakat dengan sangsi atau saksi dalam tradisi.
Sekujur tubuh puisi tak pernah mati,
hanya ada tertinggali atau tiada meninggali.
"hey, ingatlah !sebuah petisi tak harus harga mati,
karena dari adalah ambisi dan untuk tak berarti sugesti"
begitulah sebuah konsepsi.
Logika mengganti logistik yang dicuri,
maka revisi pun elak dihindari.
begini ;coba kembali pada mimpi, atau
apa yang hadir dari hari, mungkin sadari inspirasi.
"tak apalah, jadikan ini sebuah prasasti, walau
sebatas mengaji diri"
Pondok Gede, 2009
---
TENTANG KATA DAN MATA
Di sana kita lihat banyak manusia, mengusung
kepala-kepala gaduh,
entah mengaduh atau sungguh.
Sementara teman-teman sunyi kita mulai terjaga
;dan dimulailah percakapan dari pasang mata kita,
muncul kata-kata tak terbaca ;tentang perjalanan duka suka.
Jangan lupa kawan, coretan yang
kita lukis di dinding tiap masing belum usai.
Sambut saja mereka, dan luapkan dalam rasa.
Hingga lahir kata yang tak sebatas.
Kita sama tahu, banyak kata yang menunggu,
Dan aku ;hanya bekal rindu yang tak tentu.
Pondok Gede, 2009
---
Yayan R. Triyansyah, lahir di Rembang 21 April 1989. Tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Semarang 2006, program studi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Beberapa puisinya dibukukan dalam Antologi pendapa 8 “SECANGKIR KOPI DAN PUISI” (TBJT, Juni 2009), Antologi bersama komunitas LEKAS(Jakarta, 2009), Antologi Penyair Nusantara “MUSIBAH GEMPA PADANG” (Malaysia, November 2009), bergiat di Komunitas Roda Gila, Komunitas Hysteria Semarang dan Komunitas Mata Aksara
Komentar
Posting Komentar