Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Yosi M Giri

Kabut Yang Memataiku

demi dingin yang menyertaiku pulang kampung,
aku memoles malam dengan gemetaran
hidup yang ditiupkan setiap jemari kuharap
tak berhenti hanya karena jalanan ini sepi dan pengap

tapi kerling itu, tak cukup menggangguku
tidak juga kabut itu, aku hanya perlu menciumnya
dan selebihnya kuhancurkan kugempur
dan kau pun tahu, diam-diam mereka menyertaiku
dan memataiku

Bunga Pustaka, Maret 2009

---

Pada Sebuah Kata

Di lorong-lorong hening
Tiap pasang mata menjelma matahari
Sinaran leluasa yang dikelabui kabut

Jangan berharap kau dapat dekat mendekapnya erat
Jika reruntuhan sesunyi itu telah meninggalkan riwayat
Bakal api kembali debu
Dan sesekali berteduh di rumah-rumah lebah

Akankah kau percaya pada dinding
Tempat dingin membentuk wajahmu
Bersama surat-surat yang tak satu pun terbalas
Walau hanya sebatas senyum dan angan

Akhirnya, kata-kata menyembunyikan mereka
Seperti pori-pori kulit dari kejauhan kau memandang

Pendhapa Bunga Pustaka, 2009

---

Tuhan dan Semut Nakal

Tuhan,
Semut itu mulai nakal,
Menggerogoti daging-dagingku yang lapar
Tak ada pembagian bagi mereka
Tak ada yang bisa kubanggakan dari mereka

Semut-semut itu makin liar
Makin lapar melebihi laparku
Tuhan,
Mengapa aku begitu ketakutan hanya
Karena sepotong roti itu mereka keroyok
Mereka pikir mereka bisa menghabiskannya?
Tidak, aku entah kenapa tak akan membiarkan mereka
Kenyang,
Mungkin karena mereka hanya semut
Semut yang bisa kulibas kapan saja
Semut yang bisa kulindas semauku
Semut yang…
Tapi, kenapa aku merasa begini
Bukankah itu hanya sepotong roti sisaku semalam?
Bukankah mereka juga punya perut yang lapar?!
Tuhan,
Ternyata aku yang nakal.

Bunga Pustaka, 2009

---

Aku Malu

Aku malu pada wajahku,
Sejak kutemukan diriku bukan lagi cokelat, sawo matang, rambut hitam.
Aku malu pada bukit buku-buku dan tropi di mejaku
Sejak kujumpai bocah kumal kepanasan di tepi-tepi jalan.
Sekitarku: doa menjadi harapan yang ditulis rapi
Dan dalam saku celanaku, janji dan bualan sekedar pemanis hidup
Sembari mengulang-ulang kemesraan di sudut kamar

Aku makin malu pada mereka,
Yang masih sempat tersenyum
Meski jiwa dan lolongan mereka melebihi derik jangkrik di kampungku
Meski tangisan mereka tak semerdu nyanyian burung pipit,
Barangkali sayap-sayap mereka yang rontok tak lebih berarti
Daripada perut yang menggelinjang kesakitan
Karena selama 24 jam, hanya sekali makan, itupun sisa jilatan anjing dan tikus-tikus got

Aku malu pada wajah negeriku,
Yang berabad-abad dijajah tapi berani berlapang dada
Begitulah, kiranya negeriku yang lapang kian jadi ladang bangga


Bunga Pustaka, 2009

---

Cahaya Membayang

bayang-bayang tubuhmu memancar
membiarkanku gemetaran dalam rindu-rindu api
aku tak bisa sembunyi lagi dari riuh kedalaman merahmu

aku menggambar hati di langit
di pintu hujan membawa kenangan
dan debu-debu meluncur dari ketinggian
menuju gelombang yang tak pernah kudengar gemuruhnya

semenjak itu, aku mencintai celah dari rangkaian rayumu
yang dingin dan melulu salju
sembari menimbang bagian dari tubuhmu
yang akan kukendurkan bersama bunga-bunga hujan

Pendhapa Bupus, 2009

---

Hujan Panah

Xerzes,
mungkin dewa yang darahnya terlalu dingin
butuh tanah dan air yang tak kan pernah diberikan Leonidas
padanya, hanya ujung tombak sekedar melewati bibir setebal gurun pasir

namun, hujan panah yang menutupi matahari
barangkali hanya sedikit dari celetuk Raja diraja,
sekedar ungkapan tirani yang mungil bagi pasukan budak seperti orang-orang Sparta

kau tahu,
tubuh yang melayang di atas altar-altar kesunyian dan melagukan pelangi
pun turut meniduri para bidadari,
ia tak lagi menatapmu seperti pahlawan di kelas-kelas yang penuh sarang laba-laba
menitahkan sedikit ucapan bangga bagi ribuan pulau
dan kau akan menemuiku dengan tubuh merunduk
menyalamiku dengan segenap rambu-rambu
tahukah kau arti rinduku pada rindumu


Bunga Pustaka, 2009

---

Sejumput Akal

Padaku,
Rumput-rumput itu tak sengaja menyapa
Dalam bahasanya yang paling absurd
Aku kira kau tahu cuaca tak lagi bisa ditebak
Bakal meleleh atau sebeku salju

Padaku,
Rumput-rumput itu tak sengaja bicara
Dalam subuh yang memberikan jeda bagi
Setiap mimpi dan doa yang sengaja kudenguskan
Dalam tiarap rinduku yang kepayang

Bunga Pustaka, Maret 2009

---

Yosi M Giri, bernama lengkap Yosi Muhaemin Giri ini lahir di Pemalang 4 Desember 1986. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Sastra Bunga Pustaka. Juara II Lomba Tulis Puisi Valentine 2007 versi Majalah GAUL, Juara I Lomba Cipta Puisi Se-Jawa Tengah tahun 2008 versi Komunitas Sastra Indonesia Cabang Semarang. Nominator Lomba Tulis Cerpen versi Buletin ALIS 2008 Surakarta.

Karya-karya berupa puisi, cerpen, esai dan artikel kebudayaan terpublikasi di beberapa media seperti: Wawasan, Minggu Pagi, Koran Rakyat, Radar Banyumas, Seputar Indonesia, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Buletin Sastra Pawon, Buletin Alis dan Buletin Budaya Cangkir. Buku antologi puisi: Syair-Syair Fajar (Penerbit MIMBAR semarang, 2007), Blues Mata Hati (Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas, 2008), dan Anak-Anak Peti (Penerbit KSI Semarang, 2008). Buku antologi cerpen: Seputar Pusar (Penerbit Alis, 2008) dan Hani In Memories (Penerbit Bupus Press, 2008).

Alamat : Pendhapa Bunga Pustaka Jl. Pondok Pesantren Roudhatul Tholibin, Dampit, Rt. 07/Rw.01 Kecamatan Kembaran – Banyumas 53182.
Email : yosi_gina@yahoo.com
Blog : http://www.yosimgiri.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...