Langsung ke konten utama

Sajak-sajak Iqro' eL. Firdauz

TEMAN DAN TAMAN

teman dan taman
seperti buah ranum di dada perawan
mendekap dan teresap
diemban dan tergenggam kemanapun ia melayang
sampai dongeng sebelum tidur

teman dan taman
adalah rindu sungai pada ombak
aliri paritparit dalam buku harian
hingga celah-celah pada muara malam

tapi tak pernah ada yang mengerti
tentang ketenangan yang merobek-robek sunyi
dan keramaian yang lebih nikmat dari hujan
mengalir kencang dan penuh bahagia

Pare, 5 juli 2008

---

MEANG

seperti juga tubuh laut
ia bahkan tak tahu
kemana nafas akan dan telah terbawa
menjadi ladang para nelayan
kisah cinta entah siapa
siapa yang dimiliki dan memiliki
ataukah kematian dari nafsunya

ia bahkan tak tahu
seperti apa kejujuran
yang terkadang pasang begitu surut

Pare, 2008

---

SEBUAH JAWABAN
:KEMATIAN


hujan tak seperti biasa mengguyur kepala
turun saat terik mata
berlenggang tanpa aba-aba
seperti mukjizat pada rasul-rasul
menjelma diriku
menggantikan ruah-riuh dinding kamar

geremet gerak tangan dan bisikan suara
terpancang ke selangkangan aliran sungai
menjadi gelombang membawa kapalku
ke arah yang amat tepi
entah kenapa mengantarku persis
seperti gelagat dan gereget gerak arah mata

dan ketika siang. Iapun menjelma lonceng
disamping bantalku
berdering saat diluar ada kematian
dan aku harus bergegas pergi
menulis siapa saja yang mati dan mati-matian

Pare, 2008

---

HIKAYAT SEPI

pada air yang tak bergemericik
diam dibiarkan terkulai
merindukan debur ombak di kamar itu

dalam ketenangan seperti itu
selalu ia terbiasa
atau entah membiasakan berlarut lanjut
menunggu hujan amat deras
aku tahu singgahnya hanya sebentar
secepat daun berbaring lalu mengering

Pare, 2008

---

28 : AKU MEMBACANYA

sebelum tumbuh menjadi angan
darahmu menulis sajak
serupa garis tertuju pada rusukku

aku baca warnamu
seperti menyuruhku menyibak air mata
melupakan gemuruh hujan

akupun baca matamu
seperti mengajakku mengeja kata
untuk mencipta suara

aku baca juga garis-garismu
seperti jerit jantung yang memanggilku
lalu aku menghampirimu
menyaksikan tarianmu
diantara tulang-tulang rusukku
:lekuk tubuhmu meledakkan isi kamarku
tempat aku menggali rindu

Yogyakarta, 2008

---

Iqro' eL. Firdauz, lahir di Sumenep Madura, 11 Mei 1988. Mahasiswa Komunikasi & Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain menulis puisi dan cerpen ia juga menulis skenario film. Puisi-puisinya telah dimuat di media lokal maupun nasional, seperti Seputar Indonesia, Banjarmasin Post, Radar Madura (Jawa Pos Group), Edukasi. Antologi puisinya terkumpul dalam Cinta Sepenggal (2004). Sekarang Bergiat di Komunitas Kosong, Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...