Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2008

Menilik Sastrawangi: Membuka Tabir “Kehalusan” Perempuan

Pengantar Dewasa ini karya-karya sastrawangi menjadi fenomenal. Karya mereka sempat menguncang kesusasteraan Indonesia modern dan menjadi ajang perbincangan di berbagai forum sastra. Tidak dipungkiri lagi bahwa salah satu faktor masuknya karya sastrawangi di jagat kesusasteraan Indonesia berasal dari bestseleernya beberapa dari karya mereka. Sebut saja Saman dan Larungnya Ayu Utami, Mereka Bilang, Saya Monyet dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) Djenar Maesa Ayu, Supernovanya Dewi Lestari, Garis Tepi Seorang Lesbiannya Herlinaties, Ode untuk Leopold von Sacher Masochnya Dinar Rahayu dan berbagai nama yang penulis tidak bisa menyebutkannya satu persatu. Dan takpelak lagi jika perilaku sastrawangi ini memenuhi berbagai media massa. Surat kabar, jurnal-jurnal seni dan budaya, hingga televisi yang mengkaji sastrawangi ini habis-habisan. Karya sastrawangi yang fenomenal dan beberapa di antaranya menjadi bestseller tidak terlepas dari karya mereka yang ‘terlalu’ mengekspos unsur seksuali...

puisi kematian

NISAN pada barisan nisan kutemukan doa dan kutukan meruntuhkan langit keangkuhan Taman Kematian, 2008 M SEKITAR PEMAKAMANMU :Alm: KH. Moh. Tidjani Jauhari sekitar pemakaman beburung menabur fatihah rerumputan membaca yasin angin melukis keteduhan dirimu di taman keridloan Taman Kematian, 2008 M BEGINILAH KEHIDUPAN DIBARINGKAN beginilah kehidupan dibaringkan nisan-nisan menentukan pilihan dedaunan mengecup kening bumi hingga lupa kembali pada reranting pohon selalu memperindah sejarah sepanjang perjalanan Taman Kematian, 2008 M

tiga puisi hadiahku untuk indonesia

ANTARA MAWAR DAN CELURIT antara mawar dan celurit madura bangkit mengibarkan merah putih di atas bukit Taman Merdeka, 2008 M PEMUDA, PUISI INI UNTUKMU setelah puisi kutulis untukmu lantas kumengabu kau harus maju kalahkan mesiu kalahkan peluru jangan berhenti jangan berlari indonesia masih butuh suaramu Taman Merdeka, 2008 M MALAM 100 TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL malam ini semua rata tak ada lembah tak ada bukit semua satu nama semua satu bahasa indonesia malam ini semua merdeka tak ada budak tak ada boneka semua bebas bersuara semua bebas angkat senjata melawan penjajah airmata malam ini semua bangkit pahlawan bangkit rakyat bangkit purnama pun tersenyum di atas bukit indonesia jaya menembus langit

Sajak-sajak F. Rizal Alief*

Seperti Perjalanan seperti parjalanan, ketika kita harus sampai pada malam berikutnya dan dongeng pengantar tidur telah berkisah maka kuletakkan mimpi di dasar laut dan dingin biar lelapku tak terus mengutuk ombak seperti perjalanan, malam adalah dingin dan sabda Jogja,2008 Setelah Malam 1 setelah malam, tak kurasakan embun sebagai gerimis hujan di luar rumah masih dahaga dan aku tidak tahu besok pagi di mana kuletakkan matahari Jogja,2008 Setelah Malam 2 setelah malam, diam-diam matahari kecil malu pada air mata yang begitu rela menyimpan setia segala masih perjalanan dan aku ingin kembali malam Jogja,2008 *penulis adalah mahasiswa Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumnus PP. al Huda, NASA Sumenep Madura ini telah lama menulis fiksi di berbagai mass media. dan "Sowan ke Malaikat Ridlwan" adalah cerpennya yang terkumpul dalam www.sriti.com. kini tinggal di Jl.Gg Parahyangan Pengok P JKA Blok K GK I/748 Kost Rudal Demangan Gondokusuman Yogyakarta 55221 Hp 081804073...

Belati

Mata belati tikam bayangan sendiri pada tembok samar berlumut kusam. Kemudian erang perih pedih adalah lagu malam pengantar lelap bayi di ayunan api, belati patah membua sayatan luka. Senyaplah! karena air tak menentang riak karena tanah tak menolak retak.

Aku Bersekutu dengan Rindu

Aku bersekutu dengan rindu hingga di sisi ranjangpun kuterima segala siksanya seperti laut yang berserah pada sungai yang memuarainya. Mungkin saja rindu akan menyesatkanku pada labirin-labirin sunyi tanpa petunjuk. Mungkin pula rindu yang akan menyerahkanku pada kertas-kertas yang tersobek dari sebuah peta perjalanan. Tapi sungguh, hanya rindu yang sudi menemaniku mencari alamatmu.

Kutukan Efrosina

Waktu makin murung tua oleh masehi-masehi yang berlari seperti cahaya barat yang tinggal sepenggalan, Masih saja aku meringkuk di bawah jendela menanti malam yang mewabah. Tapi Efrosina seperti khianat pada debu kamar dan buku-buku tua, Matanya itu aku lupa dan akhirnya gila bersama kutuk yang terpenjara di sana.

Biasa

biasanya, setiap bangun pagi dari tidurku aku langsung masuk kamar mandi seperti biasa basahi rambutku dan tubuh dengan sabun yang biasa dan seselesainya pakai handuk biasa lalu berpakaian dengan baju dan celana yang biasa sudah itu menyiapkan sarapan yang biasa-biasa saja nasi putih dengan telor ceplok berikut kecap merek biasa dan masukkan makanan yang diangkut dengan sendok dari bahan biasa kunyah perlahan dengan irama yang biasa sayup lalu terdengar tukang koran meneriakkan koran yang biasa-biasa kemudian aku beranjak dari dudukku ke depan tivi biasa kutatap tekan tombol nyalakan tivi dengan jari telunjuk kanan seperti biasa setelah itu cari saluran tivi yang biasanya tak lama terlihat si Alfina Damayanti yang seperti biasa selalu segar di pagi hari dengan manis menyiarkan berita yang ditelinga sangat tidak biasa “Hari ini Amerika mulai menyerang Afghanistan dengan rudal yang luar biasa besarnya” tapi lucunya komentar Amerika biasa-biasa saja katanya, serangan ini merupakan hal ya...

Aku Melihat Gunung Hasrat di Awan

dari mereka yang memuja fana reruntuhan usang dibaiat sebagai suar pada awan memandu pelayaran hasrat tanpa singgahan dermaga-dermaga usang dengus mereka demikian deru, menyeruak kening dan ubun-ubun tak bisa ditapis debunya hingga menggunungi akal meninggikan seringai lupa berpaling, ikhwan tertinggal, terbiarkan dalam iba terbelenggu di hutan ganja dengan sisa kesumat Banda Aceh,280108

pada Malammu

Pada Malammu kueja bulubulu malam yang berjatuhan satusatu dari sayapmu dengan nadanada darah, walau dari sudutsudut bibir dan mataku tak mengalir lagulagu merdu. sebab doadoamu hanya sampai ke pucukpucuk ilalang tak menyentuh debudebu yang menari di piringpiring hampa. lalu pekik meja makan merobek kedap aorta, mewarnai hening atmosfer. kau patahkan juga tawa miris di sela pesta murung ini sementara nyala lilin membakar luka semesta tersembur dengus dari pekat jiwamu. tapi, tak memugar apaapa. hanya sepotong kecupan mengatupkan nganga rahang yang letih memagut doa. “esok, usiaku masai, tak sampai pula bahagia di tebing senja” (2007)