Pengantar
Dewasa ini karya-karya sastrawangi menjadi fenomenal. Karya mereka sempat menguncang kesusasteraan Indonesia modern dan menjadi ajang perbincangan di berbagai forum sastra. Tidak dipungkiri lagi bahwa salah satu faktor masuknya karya sastrawangi di jagat kesusasteraan Indonesia berasal dari bestseleernya beberapa dari karya mereka. Sebut saja Saman dan Larungnya Ayu Utami, Mereka Bilang, Saya Monyet dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) Djenar Maesa Ayu, Supernovanya Dewi Lestari, Garis Tepi Seorang Lesbiannya Herlinaties, Ode untuk Leopold von Sacher Masochnya Dinar Rahayu dan berbagai nama yang penulis tidak bisa menyebutkannya satu persatu. Dan takpelak lagi jika perilaku sastrawangi ini memenuhi berbagai media massa. Surat kabar, jurnal-jurnal seni dan budaya, hingga televisi yang mengkaji sastrawangi ini habis-habisan.
Karya sastrawangi yang fenomenal dan beberapa di antaranya menjadi bestseller tidak terlepas dari karya mereka yang ‘terlalu’ mengekspos unsur seksualitas. Tentu saja hal ini bukan di luar rencana atau terelepas dari penulisnya yang tidak lain adalah perempuan. Karena, munculnya karya sastra tidak terlepas dari unsur ekstrinsik yang melatarbelakanginya. Baik latar belakang penulis, sosial budaya, pendidikan, maupun lingkungan keluarganya. Posisi pengarang tetap menjadi pertimbangan dalam mengkaji karya sastra.
Mengapa Sastrawangi?
Sedikit ragu penulis menggunakan sebutan sastrawangi sebagai istilah penulis sastra yang ditulis oleh kaum hawa pada tulisan kali ini. Pasalnya, penggunaan istilah demikian masih kurang tepat. Penulis perempuan yang sebaiknya digunakan, bukan sastrawangi. Seperti penggunaan istilah yang digunakan oleh Medy Lukito untuk menunjuk pada penulis yang berjenis kelamin perempuan. Namun, untuk memberikan istilah sebagai penulis perempuan pun juga kurang dirasa tepat. Mengutip dari apa yang dikatakan oleh Nukila Amal dalam Jurnal Perempuan Srinth!1
“Saya hanya tidak nyaman dengan label “Sastrawangi” itu sendiri, dan lebih utama pada laku pelabelan itu sendiri. Mungkin kalau Anda memilih ajuk “Penulis Perempuan pun saya masih akan kirang nyaman, saya akan sangat nyaman dan lebih riang dengan isttilah “Penulis” saja, tanpa embel-embel gender apalagi wangi yang entah apa referensinya.” (hal:8).
Pendapat tersebut memang dirasa benar. Penggunaan istilah “wangi” maupun “perempuan” sudah mencerminkan gender. Padahal, pembahasan gender bukan lagi hal yang ditabukan. Atau boleh dibilang asing di telinga kita. Masalah gender sudah didengungkan oleh Kartini beberapa tahun lalu di negeri ini lewat pemikiran emansipasinya.
Kartini, dalam pemikiran emansipasinya menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sama kepada perempuan dalam mengeyam bangku sekolah. Karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan yang sama.
Itulah yang didengungkan Kartni lewat gerakan persamaan gender. Persamaan dalam menuntut pengenyaman pendidikan. Bukan hanya laki-laki saja yang boleh menikmati bangku sekolah. Perempuan pun juga bisa. Karena kemampuan perempuan tidak lagi sebatas pada kasur, sumur, dan dapur.
Dibalik pelaksaan emansiasi atau persamaan gender yang telah bertahun-tahun lalu telah ada, gejolak gender tersebut saat ini muncul kembali. Terutama sekali dalam masyarakat sastra kita masa kini. Pelabelan menjadi perdebatan yang tidak dapat terselesaikan.
Dalam komentarnya, seperti yang dikutip Srith1!, lebih lanjut Nukila Amal berpendapat tentang masalah pelabelan “sastrawangi” dan “penulis perempuan” ini:
mengapa para penulis itu harus dipersoalkan gendernya? Apakah ada bedanya bila mereka itu laki-laki atau perempuan? Dapatkan mereka dinilai dari bobot karya-karya yang dihasilkan alih-alih gender mereka?(hal:9).
Tampaknya pernyataan Nukila Amal ini bisa dinalarkan. Bahwa untuk menyebut penulis sastra yang nota benenya adalah perempuan tidak perlu lagi dipersoalkan. Hanya karyanya saja yang perlu kita perbincangkan. Benarkah demikian?
Penulis ingin ikut ambil bagian dalam masalah pelabelan ini. Meskipun masalah gender bukan lagi masalah yang perlu diperbincangkan, namun persoalan penulis sastra yang bergender perempuan perlu mendapat perhatian. Alasannya adalah bahwa para penulis perempuan dewasa ini telah berhasil mendobrak gerbang patriaki yang ada di negeri ini.
Pernyataan penulis ini boleh dibilang ikut menegaskan dengan apa yang pernah dikemukaan oleh Gadis Arivia pada Jurnal Perempuan no.30 tahun 2003 yang dikutip Melani Budiman dalam Srinth1!.
Para penulis perempuan secara tradisional telah diposisikan sebagai yang liyan dan sekunder dari segi seksualitasnya. Kehadiran para penulis perempuan dalam sastra Indonesia masa kini memang perlu digarisbawahi karena mereka “berhasil mendobrak keterkungkungan nilai-nilai patriakis [sic] lewat ekspresi, bahasa, dan gaya mereka. Lebih jauh lagi, Gadis menegaskan bahawa karya-karya penulis tersebut punya nilai “penting dan bukan sekadar ‘sastrawangi’.” Dengan demikian, keperempuan mereka malahan harus dikedepankan. (hal:10)
Maka, mengedepankan masalah pelebelan yang identik dengan gender ini perlu mendapat perhatian. Penulis lebih suka mengambil istilah sastrawangi. Bukan merupakan tanpa alasan pengambilan istilah ini. Namun lebih didasari pada kenyataan yang ada bahwa penulis perempuan yang memiliki penjulan karya mereka yang best seller notabenenya adalah mereka yang memiliki paras yang cantik. Selain itu juga kehidupan yang glamor yang penuh wewangian juga mengintari di sekita kehidupan mereka. Sebut saja Dee Lestari yang memijakkajn kakinya di dunia keartisan lewat profesi yang dulu disandangnya sebagai penyanyi yang tergabung dalam RSD. Atau Ayu Utami, atau juga Djenar yang memasuki dunia glamor karena tidak lain dan tidak bukan memiliki garis keluarga dengan Alm. Usman Djaya. Sang sutradara kawakan di repulik ini.
Dunia Perempuan, Dunia Ketertindasan
Perempuan selama berabad-abad selalu menjadi objek kehidupan. Perempuan selalu dipandang sebagai makhluk yang polos, lemah, dan lembut. Salah satu faktor penyebab lemah posisi perempuan adalah latar belakang perkawinannya, diantaranya adalah bahwa perempuan dalam perkawinan didasarkan pada tindakan untuk memperlakukan perempuan sebagai objek seks bagi laki-laki dan penghasil keturunan (Parmin,2004:3).
Kenyataan bahwa prempuan sebagai seks dan penghasil keturuan tidak bisa dielakkan lagi. Karena memang, perempuan adalah penghasil keturunan yang secara tinjauan medis dapat dibenarkan. Sangat mustahil dan sangat imposibble sekali jika laki-laki didekonstruksikan sebagai penghasil keturunan dalam dunia realitas. Dan hanya mungkin sekali jika dekonstrusi laki-laki penghasil keturunan itu termuat dalam karya seni. Karya rekaan yang imajinatif. Seperti pada film yang penulis lupa judulnya, yang dibintangi oleh aktor kawakan Holyywod, Arnolt Sweseneger. Film yang menceritan bahwa laki-laki bisa melahirkan keturunan lewat proses banyi tabung. Namun itu semua hanya sekedar imajinatif.
Meskipun dunia rekaan, dunia yang berangkat dari imajinasi penciptanya seperti yang tergambarkan pada film tersebut, unsur kenyataannya pun tetap hadir dalam film tersebut. Karena takmungkin sebuah karya seni berangkat dari kekosongan.
Kenyatan yang mendasarinya adalah adanya unsur feminisme radikal yang ingin disampaikan. Feminisme radikal ingin mengupayakan adanya persamaan gender yang mutlak. Tiada lagi perbedaan laki-laki dan perempuan. Karena keduanya sama-sama penghasil keturunan. Dengan demikian, posisi feminisme radikal akan semakin terposisikan. Akan memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan. Karena perbedaan gender yang sering didengungkan oleh kelompok yang kontra dengan kelompok feminisme radikal ini akan musnah. Akan sirna dengan adanya pencitraan dari dunia rekaan kelompok ini. Rekaan yang ingin menciptakan imej bahawa laki-laki dan perempuan adalah sama saja. Demikianlah setidaknya pesan yang ingin disuarakan oleh kelompok feminisme radikal yang menginginkan adanya kesamaan gender dalam setiap kehidupan. Bukan hanya laki-laki saja yang boleh beristri lebih dari satu, tetapi perempuan pun juga boleh memiliki suami lebih dari satu.
Sayangnya, konsep penyuaraan persamaan gender yang disuarakan lewat film ini kurang berhasil. Feminisme radikal kurang memahami bahwa rekaan yang berangkat dari dunia kenyataan bukan semacam ini wujudnya. Mereka terjebak pada hanya menampilkan sisi persuasif sebuah film. Mengopinikan bahwa laki-laki sama dengan perempuan dalam hal penghasil keturunan. Perilaku mereka dengan menampilkan karya seni dalam jenis film ini kurang berhasil. Karena memang, sekali lagi, kodrat perempuanlah yang hanya bisa melahirkan .
Kodrat perempuan yang semacam ini bukan berarti bahwa posisi perempuan semakin rendah. Malah sebaliknya, kodrat prempuan semakin dijunjung. Terlebih dalam norma agama. Takpelak lagi jika ungkapan surga di bawah telapak kaki ibu menjadi ikon bahwa wanita memiliki keistimewaan. Bukan sekadar penghasil keturunan. Tetapi lebih pada mahkluk yang suci dan yang memiliki keistimewaan tersensiri.
Salah satu faktor adanya “perlakukan paradigma” yang membuat perempuan menjadi rendah tidak lain adalah adanya lembaga perkawinan. Parmin (2004:2) mengatakan bahwa lembaga perkawinan – dalam sejumlah kisah – menjadi ilustarsi yang menunjukkan kuatnya superioritas laki-laki atas inferioritas perempuan. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa terdapat banyak perempuan yang menjadi lemah dan tidak berdaya dalam perkawinanya baik secara fisik maupun mental.
Mary Wollstonecraft dalam Parmin (2004:3) menjuluki perkawinan sebagai prostitusi yang dilegalkan karena semata-mata digunakan untuk mengkontrol dan melindungi perempuan dari ancaman seksualitas laki-laki. Keadaan semacam ini yang semakin mengkukuhkan wanita sebagai objek seksualitas. Sebagai makhluk yang mau tidak mau harus menerima untuk menghantarkan laki-laki agar merasa menjadi “makhluk laki-laki” (meminjam istilah Parmin). Melakukan perlawanan berarti tidak bertangungjawab dan tidak tahu terima kasih kepada laki-laki yang telah memberi kesempatan kaum perempuan memperbaiki kesalahan sebagai penembusan dosa masa lalu (Parmin,2004:2). Dosa Hawa menjatuhkan Adam dan kaum Hawa lainnya dari Surga. Maka terciptalah paradigma perempuan sebagai media panyalur hasrat seksual.
Paradigma seperti ini juga dikuatkan oleh Subiyantoro dalam Parmin (2004:2) yang mengungkapkan bahawa martabat dan harkat diri perempuan akan tecipta bilamana dia mmapu menghantarkan laki-laki dalam menunaikan kewajibannya sebagai makhluk laki-laki yang telah memetamorfosikan dirinya sebagai makhluk yang dominan.
Kenyaatan figur perempuan sebagai objek seks bagi laki-laki dan penghasil keturunan ini menjadi sesuatu tak bisa dipungkiri. Bahwa perempuan yang dijadikan objeks seks memang benar adanya. Bahwa perempuan sebagai penghasil keturunan (melahirkan) memang benar adanya. Bahwa beberapa perempuan merasa tertindas akibat hukum alam di dunianya sendiri, di dalam keperempuannya sendiri memang benar adanya. Namun dibalik itu semua, terdapat figur perempuan yang diagungkan. Surga berada dibawah telapak kaki ibu (perempuan). Keadaan ini yang bisa mengikis habis Tak ada Tempat bagi Perempuan di Surga, sebuah kumpulan cerpen dari penulis perempuan asal Mesir, Nawal el-Saadawi.
Pengungkapan Seksualitas sebagai Perlawanan
Keadaan perempuan yang merasa tertindas di alamnya sendiri memang tidak bisa dipungkiri. Lahirnya sastrawangi seakan mengiisaratkan keadaan demikan. Mereka seakan melawan eksistensinya sebagai perempuan. Lebih dari itu, perlawanan terhadap eksistensi laki-laki yang menjadikannya sebagai objek seksualitas juga turut dihadirkan.
Perlawanan mereka dapat kita lihat misalkan saja dari cuplikan karya perdananya Dinar Rahayu berikut:
Penisku mereka gosok, buah zakarku mereka remas… Mereka menuang krim kocok di atasnya dan menjilatinya seperti kanak-kanak yang haus.(Dari Ode untuk Leopold von Sacher Masoch)
Pengungkapan perlawaan sastrawangi benar-benar “berani.” Pengungkapan tersebut sangat jelas sebagai media untuk merendahkan kodrat laki-laki. Diri (tubuh) laki-laki dibuka secara transparan. Tidak ditutup-tutupi lagi, bahkan dilecehkan dengan mengungkapkan pernyataan yang melemahkan dan merendahkan derajat laki-laki. Laki-laki digambarkan sebagai makhluk pasrah sekaligus menerima kepasrahan.
Juga perhatikan cuplikan lain dari karya Ayu Utami berikut:
Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaimana kantong semar. Namun ia tidak mengundang serangga, melainkan binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak bertulangbelakang, dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang diakukan burung bangkai. Sesungguhnya, bunga karnivora bukan memakan daging, melainkan menghisap cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga dibalik kelopak-kelopaknya yang hangat. Otot-ototnya yang kuat, rerelung dindingnya yang kedap, dan permukaan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina. Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin. (Dari Larung).
Perlawanan terhadap maskulin tercermin pada kalimat binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak bertulangbelakang. Sebuah ungkapan yang menghantam laki-laki sebagai manusia bodoh.
Sayangnya perlawanan yang dihadirkan lebih mengandalkan sisi seksualitas. Hal ini, seperti yang pernah diutarakan pengkaji feminieme lainnya, akan menghantam perlawanan perempuan itu sendiri. Penyetaraan gender bahwa laki-laki sama tingkatannya dengan perempuan akan terkikis. Malah sebaliknya, perempuan akan semakin lebih rendah dari laki-laki dan semakin memposisikan dirinya sebagai makhluk seks belaka.
Budiman (2005:24) mengungkapkan bahwa perempuan perlu menyensor dirinya sendiri ketika menulis agar tidak menjadi sama vulgarnya seperti laki-laki, meskipun patriaki lebih memberikan toleransi atas ‘vulgaritas’ kepada penulis laki-laki daripada kepada ‘penulis perempuan’ dalam arti bahwa, ketika perempuan mulai menulis tentang seksualitas tubuhnya, maka persamaan reduktif, perempuan=seks, pun terbangun.
Perlawanan yang dihadirkan oleh sastrawangi ini semakin membuka tabir “kehalusan” perempuan. Di tangan sastrawangi, yang notabenenya adalah perempuan juga, perempuan yang diidentikan sebagai makhluk yang polos, halus mulus, lemah lembut, santun, dan perasa, dinegasikan sebagai makhluk seksual belaka. Makhluk yang akan mempertahankan dirinya untuk melawan patriaki dengan mengungkapkan sisi seksual. Mengumbar seks dan memirkan seks. Di tangan sastrawangi, perempuan tidak lagi halus, tetapi menjadi liar dengan imaji-imaji seksualnya yang menentang norma dan agama.
Penutup
Kehadiran sastrawangi yang menjadi fenomena dalam perhelatan sastra di republik kita, tidak lain faktor seksualitas yang dihadirkan. Sayangnya pencerminan seksulitas ini tidak semakian memposisikan persamaan gender, namun lebih dari itu, semakin memposisikan perempuan dibawah laki-laki.
Kenyataan ini tidak lain juga karena sastrawangi mendobrak norma dan agama lewat eksploitasi seks dalam karya-karyanya. Tidak mengherankan jika di tangan sastrawangi, perempuan yang diidentikan sebagai makhluk yang polos, halus mulus, lemah lembut, santun, dan perasa, dinegasikan sebagai makhluk seksual belaka. Dan di tangan sastrawangi, perempuan tidak lagi halus, tetapi menjadi liar dengan imaji-imaji seksualnya yang menentang norma dan agama.
Daftar Pustaka
Budiman, Manneke. 2005. Ketika Perempuan Menulis, dalam Srinth!1 Media Perempuan Multikultural. Depok:Kajian Perempuan Desantara bekerjasama dengan The Ford Fondation.
Parmin, Jack. 2004. Potret Perlawanan Perempuan yang setengah Hati dalam Malam Jahanam-nya Montinngo Busye dalam Kumpulan Makalah Seminar Mimbar Ilmiah. Surabaya: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa
Rahayu, Dinar. 2002. Ode untuk Leopold von Sacher Masoch. Jakarta:Pustaka Jaya.
Utami, Ayu. 2001. Larung. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Dewasa ini karya-karya sastrawangi menjadi fenomenal. Karya mereka sempat menguncang kesusasteraan Indonesia modern dan menjadi ajang perbincangan di berbagai forum sastra. Tidak dipungkiri lagi bahwa salah satu faktor masuknya karya sastrawangi di jagat kesusasteraan Indonesia berasal dari bestseleernya beberapa dari karya mereka. Sebut saja Saman dan Larungnya Ayu Utami, Mereka Bilang, Saya Monyet dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) Djenar Maesa Ayu, Supernovanya Dewi Lestari, Garis Tepi Seorang Lesbiannya Herlinaties, Ode untuk Leopold von Sacher Masochnya Dinar Rahayu dan berbagai nama yang penulis tidak bisa menyebutkannya satu persatu. Dan takpelak lagi jika perilaku sastrawangi ini memenuhi berbagai media massa. Surat kabar, jurnal-jurnal seni dan budaya, hingga televisi yang mengkaji sastrawangi ini habis-habisan.
Karya sastrawangi yang fenomenal dan beberapa di antaranya menjadi bestseller tidak terlepas dari karya mereka yang ‘terlalu’ mengekspos unsur seksualitas. Tentu saja hal ini bukan di luar rencana atau terelepas dari penulisnya yang tidak lain adalah perempuan. Karena, munculnya karya sastra tidak terlepas dari unsur ekstrinsik yang melatarbelakanginya. Baik latar belakang penulis, sosial budaya, pendidikan, maupun lingkungan keluarganya. Posisi pengarang tetap menjadi pertimbangan dalam mengkaji karya sastra.
Mengapa Sastrawangi?
Sedikit ragu penulis menggunakan sebutan sastrawangi sebagai istilah penulis sastra yang ditulis oleh kaum hawa pada tulisan kali ini. Pasalnya, penggunaan istilah demikian masih kurang tepat. Penulis perempuan yang sebaiknya digunakan, bukan sastrawangi. Seperti penggunaan istilah yang digunakan oleh Medy Lukito untuk menunjuk pada penulis yang berjenis kelamin perempuan. Namun, untuk memberikan istilah sebagai penulis perempuan pun juga kurang dirasa tepat. Mengutip dari apa yang dikatakan oleh Nukila Amal dalam Jurnal Perempuan Srinth!1
“Saya hanya tidak nyaman dengan label “Sastrawangi” itu sendiri, dan lebih utama pada laku pelabelan itu sendiri. Mungkin kalau Anda memilih ajuk “Penulis Perempuan pun saya masih akan kirang nyaman, saya akan sangat nyaman dan lebih riang dengan isttilah “Penulis” saja, tanpa embel-embel gender apalagi wangi yang entah apa referensinya.” (hal:8).
Pendapat tersebut memang dirasa benar. Penggunaan istilah “wangi” maupun “perempuan” sudah mencerminkan gender. Padahal, pembahasan gender bukan lagi hal yang ditabukan. Atau boleh dibilang asing di telinga kita. Masalah gender sudah didengungkan oleh Kartini beberapa tahun lalu di negeri ini lewat pemikiran emansipasinya.
Kartini, dalam pemikiran emansipasinya menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sama kepada perempuan dalam mengeyam bangku sekolah. Karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki kemampuan yang sama.
Itulah yang didengungkan Kartni lewat gerakan persamaan gender. Persamaan dalam menuntut pengenyaman pendidikan. Bukan hanya laki-laki saja yang boleh menikmati bangku sekolah. Perempuan pun juga bisa. Karena kemampuan perempuan tidak lagi sebatas pada kasur, sumur, dan dapur.
Dibalik pelaksaan emansiasi atau persamaan gender yang telah bertahun-tahun lalu telah ada, gejolak gender tersebut saat ini muncul kembali. Terutama sekali dalam masyarakat sastra kita masa kini. Pelabelan menjadi perdebatan yang tidak dapat terselesaikan.
Dalam komentarnya, seperti yang dikutip Srith1!, lebih lanjut Nukila Amal berpendapat tentang masalah pelabelan “sastrawangi” dan “penulis perempuan” ini:
mengapa para penulis itu harus dipersoalkan gendernya? Apakah ada bedanya bila mereka itu laki-laki atau perempuan? Dapatkan mereka dinilai dari bobot karya-karya yang dihasilkan alih-alih gender mereka?(hal:9).
Tampaknya pernyataan Nukila Amal ini bisa dinalarkan. Bahwa untuk menyebut penulis sastra yang nota benenya adalah perempuan tidak perlu lagi dipersoalkan. Hanya karyanya saja yang perlu kita perbincangkan. Benarkah demikian?
Penulis ingin ikut ambil bagian dalam masalah pelabelan ini. Meskipun masalah gender bukan lagi masalah yang perlu diperbincangkan, namun persoalan penulis sastra yang bergender perempuan perlu mendapat perhatian. Alasannya adalah bahwa para penulis perempuan dewasa ini telah berhasil mendobrak gerbang patriaki yang ada di negeri ini.
Pernyataan penulis ini boleh dibilang ikut menegaskan dengan apa yang pernah dikemukaan oleh Gadis Arivia pada Jurnal Perempuan no.30 tahun 2003 yang dikutip Melani Budiman dalam Srinth1!.
Para penulis perempuan secara tradisional telah diposisikan sebagai yang liyan dan sekunder dari segi seksualitasnya. Kehadiran para penulis perempuan dalam sastra Indonesia masa kini memang perlu digarisbawahi karena mereka “berhasil mendobrak keterkungkungan nilai-nilai patriakis [sic] lewat ekspresi, bahasa, dan gaya mereka. Lebih jauh lagi, Gadis menegaskan bahawa karya-karya penulis tersebut punya nilai “penting dan bukan sekadar ‘sastrawangi’.” Dengan demikian, keperempuan mereka malahan harus dikedepankan. (hal:10)
Maka, mengedepankan masalah pelebelan yang identik dengan gender ini perlu mendapat perhatian. Penulis lebih suka mengambil istilah sastrawangi. Bukan merupakan tanpa alasan pengambilan istilah ini. Namun lebih didasari pada kenyataan yang ada bahwa penulis perempuan yang memiliki penjulan karya mereka yang best seller notabenenya adalah mereka yang memiliki paras yang cantik. Selain itu juga kehidupan yang glamor yang penuh wewangian juga mengintari di sekita kehidupan mereka. Sebut saja Dee Lestari yang memijakkajn kakinya di dunia keartisan lewat profesi yang dulu disandangnya sebagai penyanyi yang tergabung dalam RSD. Atau Ayu Utami, atau juga Djenar yang memasuki dunia glamor karena tidak lain dan tidak bukan memiliki garis keluarga dengan Alm. Usman Djaya. Sang sutradara kawakan di repulik ini.
Dunia Perempuan, Dunia Ketertindasan
Perempuan selama berabad-abad selalu menjadi objek kehidupan. Perempuan selalu dipandang sebagai makhluk yang polos, lemah, dan lembut. Salah satu faktor penyebab lemah posisi perempuan adalah latar belakang perkawinannya, diantaranya adalah bahwa perempuan dalam perkawinan didasarkan pada tindakan untuk memperlakukan perempuan sebagai objek seks bagi laki-laki dan penghasil keturunan (Parmin,2004:3).
Kenyataan bahwa prempuan sebagai seks dan penghasil keturuan tidak bisa dielakkan lagi. Karena memang, perempuan adalah penghasil keturunan yang secara tinjauan medis dapat dibenarkan. Sangat mustahil dan sangat imposibble sekali jika laki-laki didekonstruksikan sebagai penghasil keturunan dalam dunia realitas. Dan hanya mungkin sekali jika dekonstrusi laki-laki penghasil keturunan itu termuat dalam karya seni. Karya rekaan yang imajinatif. Seperti pada film yang penulis lupa judulnya, yang dibintangi oleh aktor kawakan Holyywod, Arnolt Sweseneger. Film yang menceritan bahwa laki-laki bisa melahirkan keturunan lewat proses banyi tabung. Namun itu semua hanya sekedar imajinatif.
Meskipun dunia rekaan, dunia yang berangkat dari imajinasi penciptanya seperti yang tergambarkan pada film tersebut, unsur kenyataannya pun tetap hadir dalam film tersebut. Karena takmungkin sebuah karya seni berangkat dari kekosongan.
Kenyatan yang mendasarinya adalah adanya unsur feminisme radikal yang ingin disampaikan. Feminisme radikal ingin mengupayakan adanya persamaan gender yang mutlak. Tiada lagi perbedaan laki-laki dan perempuan. Karena keduanya sama-sama penghasil keturunan. Dengan demikian, posisi feminisme radikal akan semakin terposisikan. Akan memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan. Karena perbedaan gender yang sering didengungkan oleh kelompok yang kontra dengan kelompok feminisme radikal ini akan musnah. Akan sirna dengan adanya pencitraan dari dunia rekaan kelompok ini. Rekaan yang ingin menciptakan imej bahawa laki-laki dan perempuan adalah sama saja. Demikianlah setidaknya pesan yang ingin disuarakan oleh kelompok feminisme radikal yang menginginkan adanya kesamaan gender dalam setiap kehidupan. Bukan hanya laki-laki saja yang boleh beristri lebih dari satu, tetapi perempuan pun juga boleh memiliki suami lebih dari satu.
Sayangnya, konsep penyuaraan persamaan gender yang disuarakan lewat film ini kurang berhasil. Feminisme radikal kurang memahami bahwa rekaan yang berangkat dari dunia kenyataan bukan semacam ini wujudnya. Mereka terjebak pada hanya menampilkan sisi persuasif sebuah film. Mengopinikan bahwa laki-laki sama dengan perempuan dalam hal penghasil keturunan. Perilaku mereka dengan menampilkan karya seni dalam jenis film ini kurang berhasil. Karena memang, sekali lagi, kodrat perempuanlah yang hanya bisa melahirkan .
Kodrat perempuan yang semacam ini bukan berarti bahwa posisi perempuan semakin rendah. Malah sebaliknya, kodrat prempuan semakin dijunjung. Terlebih dalam norma agama. Takpelak lagi jika ungkapan surga di bawah telapak kaki ibu menjadi ikon bahwa wanita memiliki keistimewaan. Bukan sekadar penghasil keturunan. Tetapi lebih pada mahkluk yang suci dan yang memiliki keistimewaan tersensiri.
Salah satu faktor adanya “perlakukan paradigma” yang membuat perempuan menjadi rendah tidak lain adalah adanya lembaga perkawinan. Parmin (2004:2) mengatakan bahwa lembaga perkawinan – dalam sejumlah kisah – menjadi ilustarsi yang menunjukkan kuatnya superioritas laki-laki atas inferioritas perempuan. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa terdapat banyak perempuan yang menjadi lemah dan tidak berdaya dalam perkawinanya baik secara fisik maupun mental.
Mary Wollstonecraft dalam Parmin (2004:3) menjuluki perkawinan sebagai prostitusi yang dilegalkan karena semata-mata digunakan untuk mengkontrol dan melindungi perempuan dari ancaman seksualitas laki-laki. Keadaan semacam ini yang semakin mengkukuhkan wanita sebagai objek seksualitas. Sebagai makhluk yang mau tidak mau harus menerima untuk menghantarkan laki-laki agar merasa menjadi “makhluk laki-laki” (meminjam istilah Parmin). Melakukan perlawanan berarti tidak bertangungjawab dan tidak tahu terima kasih kepada laki-laki yang telah memberi kesempatan kaum perempuan memperbaiki kesalahan sebagai penembusan dosa masa lalu (Parmin,2004:2). Dosa Hawa menjatuhkan Adam dan kaum Hawa lainnya dari Surga. Maka terciptalah paradigma perempuan sebagai media panyalur hasrat seksual.
Paradigma seperti ini juga dikuatkan oleh Subiyantoro dalam Parmin (2004:2) yang mengungkapkan bahawa martabat dan harkat diri perempuan akan tecipta bilamana dia mmapu menghantarkan laki-laki dalam menunaikan kewajibannya sebagai makhluk laki-laki yang telah memetamorfosikan dirinya sebagai makhluk yang dominan.
Kenyaatan figur perempuan sebagai objek seks bagi laki-laki dan penghasil keturunan ini menjadi sesuatu tak bisa dipungkiri. Bahwa perempuan yang dijadikan objeks seks memang benar adanya. Bahwa perempuan sebagai penghasil keturunan (melahirkan) memang benar adanya. Bahwa beberapa perempuan merasa tertindas akibat hukum alam di dunianya sendiri, di dalam keperempuannya sendiri memang benar adanya. Namun dibalik itu semua, terdapat figur perempuan yang diagungkan. Surga berada dibawah telapak kaki ibu (perempuan). Keadaan ini yang bisa mengikis habis Tak ada Tempat bagi Perempuan di Surga, sebuah kumpulan cerpen dari penulis perempuan asal Mesir, Nawal el-Saadawi.
Pengungkapan Seksualitas sebagai Perlawanan
Keadaan perempuan yang merasa tertindas di alamnya sendiri memang tidak bisa dipungkiri. Lahirnya sastrawangi seakan mengiisaratkan keadaan demikan. Mereka seakan melawan eksistensinya sebagai perempuan. Lebih dari itu, perlawanan terhadap eksistensi laki-laki yang menjadikannya sebagai objek seksualitas juga turut dihadirkan.
Perlawanan mereka dapat kita lihat misalkan saja dari cuplikan karya perdananya Dinar Rahayu berikut:
Penisku mereka gosok, buah zakarku mereka remas… Mereka menuang krim kocok di atasnya dan menjilatinya seperti kanak-kanak yang haus.(Dari Ode untuk Leopold von Sacher Masoch)
Pengungkapan perlawaan sastrawangi benar-benar “berani.” Pengungkapan tersebut sangat jelas sebagai media untuk merendahkan kodrat laki-laki. Diri (tubuh) laki-laki dibuka secara transparan. Tidak ditutup-tutupi lagi, bahkan dilecehkan dengan mengungkapkan pernyataan yang melemahkan dan merendahkan derajat laki-laki. Laki-laki digambarkan sebagai makhluk pasrah sekaligus menerima kepasrahan.
Juga perhatikan cuplikan lain dari karya Ayu Utami berikut:
Sebab vagina adalah sejenis bunga karnivora sebagaimana kantong semar. Namun ia tidak mengundang serangga, melainkan binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak bertulangbelakang, dengan manipulasi aroma lendir sebagaimana yang diakukan burung bangkai. Sesungguhnya, bunga karnivora bukan memakan daging, melainkan menghisap cairan dari makhluk yang terjebak dalam rongga dibalik kelopak-kelopaknya yang hangat. Otot-ototnya yang kuat, rerelung dindingnya yang kedap, dan permukaan liangnya yang basah akan memeras binatang yang masuk, dalam gerakan berulang-ulang, hingga bunga ini memperoleh cairan yang ia hauskan. Nitrogen pada nepenthes. Sperma pada vagina. Tapi klitoris bunga ini tahu bagaimana menikmati dirinya dengan getaran yang disebabkan angin. (Dari Larung).
Perlawanan terhadap maskulin tercermin pada kalimat binatang yang lebih besar, bodoh, dan tak bertulangbelakang. Sebuah ungkapan yang menghantam laki-laki sebagai manusia bodoh.
Sayangnya perlawanan yang dihadirkan lebih mengandalkan sisi seksualitas. Hal ini, seperti yang pernah diutarakan pengkaji feminieme lainnya, akan menghantam perlawanan perempuan itu sendiri. Penyetaraan gender bahwa laki-laki sama tingkatannya dengan perempuan akan terkikis. Malah sebaliknya, perempuan akan semakin lebih rendah dari laki-laki dan semakin memposisikan dirinya sebagai makhluk seks belaka.
Budiman (2005:24) mengungkapkan bahwa perempuan perlu menyensor dirinya sendiri ketika menulis agar tidak menjadi sama vulgarnya seperti laki-laki, meskipun patriaki lebih memberikan toleransi atas ‘vulgaritas’ kepada penulis laki-laki daripada kepada ‘penulis perempuan’ dalam arti bahwa, ketika perempuan mulai menulis tentang seksualitas tubuhnya, maka persamaan reduktif, perempuan=seks, pun terbangun.
Perlawanan yang dihadirkan oleh sastrawangi ini semakin membuka tabir “kehalusan” perempuan. Di tangan sastrawangi, yang notabenenya adalah perempuan juga, perempuan yang diidentikan sebagai makhluk yang polos, halus mulus, lemah lembut, santun, dan perasa, dinegasikan sebagai makhluk seksual belaka. Makhluk yang akan mempertahankan dirinya untuk melawan patriaki dengan mengungkapkan sisi seksual. Mengumbar seks dan memirkan seks. Di tangan sastrawangi, perempuan tidak lagi halus, tetapi menjadi liar dengan imaji-imaji seksualnya yang menentang norma dan agama.
Penutup
Kehadiran sastrawangi yang menjadi fenomena dalam perhelatan sastra di republik kita, tidak lain faktor seksualitas yang dihadirkan. Sayangnya pencerminan seksulitas ini tidak semakian memposisikan persamaan gender, namun lebih dari itu, semakin memposisikan perempuan dibawah laki-laki.
Kenyataan ini tidak lain juga karena sastrawangi mendobrak norma dan agama lewat eksploitasi seks dalam karya-karyanya. Tidak mengherankan jika di tangan sastrawangi, perempuan yang diidentikan sebagai makhluk yang polos, halus mulus, lemah lembut, santun, dan perasa, dinegasikan sebagai makhluk seksual belaka. Dan di tangan sastrawangi, perempuan tidak lagi halus, tetapi menjadi liar dengan imaji-imaji seksualnya yang menentang norma dan agama.
Daftar Pustaka
Budiman, Manneke. 2005. Ketika Perempuan Menulis, dalam Srinth!1 Media Perempuan Multikultural. Depok:Kajian Perempuan Desantara bekerjasama dengan The Ford Fondation.
Parmin, Jack. 2004. Potret Perlawanan Perempuan yang setengah Hati dalam Malam Jahanam-nya Montinngo Busye dalam Kumpulan Makalah Seminar Mimbar Ilmiah. Surabaya: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unesa
Rahayu, Dinar. 2002. Ode untuk Leopold von Sacher Masoch. Jakarta:Pustaka Jaya.
Utami, Ayu. 2001. Larung. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.
Komentar
Posting Komentar