Langsung ke konten utama

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN


kedukaan kini mesti diseberangi
dengan berat yang mungkin tak terimbangkan
antara aku dan keinginan, serta hati yang telah
tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik
tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk
dan garis bersinggungan tak-beraturan
tanpa pangkal
tanpa akhir
tanpa isi
tanpa tubuh
adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia
yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan
rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu
saja lupa dimana ditaruh sebelumnya
atau, mungkin telah lolos dari kantung
untuk ingkari kesetiaan janji
tentang bertanam benih di lahan yang baik

ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya
sementara galau telah sampai di puncak
tanpa purna-kepastian

bengkulu, oktober 2005


LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT


belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas
cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering
bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selembar surat kabar, dan sepotong kisah kering yang jadi dahaga.
aku, apalagi kau tak ‘kan ingin memikul gerigik* tua,
mengunjal air dari sungai yang pun telah pelit
dan miskin seperti urat-urat yang terlihat di lenganku
yang lelah meremas matahari jadi sepiring cita-cita

lalu kini hanya ada matahari.
telah terlalu banyak cita-cita.
telah terlalu banyak mimpi kita.
lalu tak ada piring kita yang cukup untuk itu

hingga kemarau berlalu di lima bulan.
peluh kita masihlah juga membandangkan mimpi.
entah yang keberapa di usia yang mulai berangan

kepahiang, 07 oktober 2006


*gerigik : alat pengangkut air tradisional rejang,
biasanya dari batangan bambu atau labu air yang
dikeringkan

RUMAH BERPILAR 5


rumah ditopang 5 tiang adalah titik-temu
di sebuah gurun tanpa lekukan dan lembah
tempat kasmaran para musafir lelah
yang singgah usai di separuh perjalanan
yang besok akan berjalan lagi lewati onak terik

pelayan-pelayan berdiri di masing-masing pilar
siap tuangkan teh manis ke gelas-gelas yang beragam
ukuran, sambil lantunkan syair-syair keniscayaan
agungkan cinta dan pesonanya dalam mabuk ke
perjalanan ribuan tahun cahaya

rehatlah di rumah berpilar 5 ini, wahai musafir
dengan penuh kecemburuan, dalam ketenangan
ombak yang mengintai dinding karang dengan sabar.
tanpa pernah ada putus asa
untuk kelak kirimkan badai

pejam dan lelaplah jagamu. simpan saja dulu kilat
matamu yang telah penuh dengan perhitungan itu


kepahiang, 17 oktober 2005


MAKA BERLABUHLAH RINDUKU

buat anakku: nayya

kudekap kau menyambut malam
bergerak lewati tiga usiamu sudah
sebagai jutaan puisi dalam antologi rindu
dan mimpi-mimpiku

maka berlabuhlah rinduku
saat matamu menikam-tuntaskan lelah

bernyanyilah, anakku
dalam komposisi tanpa nada minor
dan tanpa keriangan yang nyata
menangislah engkau, anakku
agar semesta tahu
gersang ‘lah sudah hatimu untuk kenestapaan
karena terus kau sirami
jadikan subur lahan jiwamu
dengan senyum yang memata-air

bernyanyilah, anakku
maka berlabuhlah rinduku

bengkulu, 01 nopember 2005



KETIKA TATA SURYA MULAI TERBENTUK


gugusan galaksi ada tanpa peristiwa big bang.
tapi karena gasing kulemparkan di masa kecil
dulu masih terus berpusing, pada hamparan debuan
tanah keras. jadi siklus dan mewaktu sebelum sejarah
dimulai, lalu menuju sebuah lubang hitam, yang
mengisap puisi-puisi kita ke dimensi rahim cinta dan
fana. lahirkan jajaran planet dan bumi-muda,
yang lalu dicabik-cabik elang.
dan menyebarkannya di angkasa.
jadi aku dan kau

tapi kenapa kau coba ganggu pohon pertama
di ladang?

awas, dilarang mati!
ingat, bumi takkan pernah mapan gravitasinya
paradoksal tak pernah temukan pasangannya
namun, jangan keburu menuju gerbang hidup!
andai tak ingin punah seperti kekasih kita yang purba.
hilang entah di mana
ketika tata surya mulai dibentuk


kepahiang, nopember 2005


TAK MERAH SENJA DI MUSIM HUJAN INI


tak merah senja di musim hujan ini
punggung bukit dijala mendung yang sepi
sedang matahari tanpa jawaban lagi
masihkah tergantung di ilalang para punai
atau telah tiba di lain belahan bumi
tapi yang pasti semakin jauhlah buat kita tunaikan janji
bahwa hujan tak akan pernah jadi jeruji
untuk bertemu dan bernyanyi
di sini, di bangkai petang yang tertambat di tepi langit

tak merah senja di musim hujan ini,
bahkan kelam telah datang
walau belum waktunya sampai
sia-sia romantisme matahari terbenam untuk dinanti

lihat,
suit-suit angin mulai menyapu suasana kita
dengan dingin dan hampa
lalu menggelar gulungan gerimis di hamparan lembab
dan menulis cerita bahwa semua telah usai
tak akan datang lagi seperti waktu lalu

pasti

nah, kembangkanlah payung
kemudian pulang

kini
kau harus percaya
tak merah senja di musim hujan ini

kepahiang, 07 nopember 2005


KINI KAU MASIH TETAP TAK DI SINI


pergilah
pergilah terbang burung-burung semusim
sampaikan salamku kepada matahari
di mana saja bertemu, lalu katakan:
“aku – penyair yang dulu sepi dan mati,
kini tak akan lagi tunduk pada pagi”

kini, di pintu pagar yang terkunci aku coba ulangi lagu
kita lagi, walau aku masih ingat tak sekalipun
pernah mau kau nyanyikannya dulu.
entah ‘kan siapa tahu, kau telah berubah
dan berkenan jadi pesan-pesan pasti.
karena aku sangat mengerti kalau kau pernah
berkata, bahwa kau adalah serpihan benih yang
berputar-balik dalam omong kosong evolusi lalu
saatnya kelak harus punya kepastian.
itu katamu. dulu

tapi entah ‘kan
siapa tahu

kepahiang, 12 nopember 2005


PASTI ADA KEPASTIAN


barisan pohon pinus menggagalkan aku untuk
menatap langit.
padahal aku harus menembusnya, karena panggilan
rindu yang bisa saja menghempaskanku seperti talas
yang diikat tiga-tiga tak berdaya.
lihat, daunannya menusuk-nusuk tirai pertahanan dari
segala sepi, lalu robek,
untuk menayangkan gambaran
di seberang benak kanan kita yang menyimpan
sembilu, ranting, alamat
dan nomor telepon kawan-kawan
serta cerita pendek tentang akrobat pramugari
peragakan cara hindari mati

belum, belum aku ‘kan pulang esok.
puisi yang kau pesan belum pula kutemukan
jadi?
ya,
jadi kau masih harus teruskan sabarmu
sampai pasti aku tiba di keengganan
bahwa aku benar-benar tak akan pulang


bogor, 23 november 2005

PENYELESAIAN


kau akan kubawa serta
tapi ingat!
kau
tak
boleh
ikut


jakarta, 27 november 2005

CERMINMU

sebuah cermin tak mampu lagi menangkap
bayang ketika berbincang dengan waktu,
yang tak akan pernah berikan batas pasti
antara masa lalu, hari ini dan masa depan.
semua jadi tiba-tiba.
semua bahkan jadi tak terasakan. tak beralasan
jadi!

bukankah telah dilakoni begitu lama pura-pura ini?
ataukah memang kita tak pernah beranjak dari
prasejarahnya, untuk terus hidup di zaman membatu
yang hanya dapat mengumpulkan dedaunan.
tanpa mampu bertanam.
tanpa mau menyusun rencana peralihan.
dan beranjak dari persembunyian yang panjang

bengkulu, 07 mei 2006


SUATU MALAM DI TAMAN BUNGAMU


well, tak ada yang menitipkan gelap pada daun,
karena sekarang menjumput awan t’lah begitu mudah.
pukul jatuh saja dengan galah bersembilu.
tapi ingat, aku tak mau kau berdiri di atas bahuku.
lalu, tangkap dengan keranjang seorang peri yang
berkhianat. yang hancurkan keinginan mawar untuk
mekar. taruhlah di dalam pot dan beri air,
maka tak lama kita bisa memetik sepi.
sedangkan daun bukan lagi milikmu.
atau bukan hanya milikmu lagi.
seribu ulat berjalan melengkung akan menjadikannya
selimut, untuk siap jadi kepompong,
untuk mungkin ‘kan lahiri bayi peri lagi.
tapi, yang tak mungkin ‘kan lanjuti inginnya kita lagi,
mengarang kemulukan jadi lagu yang sederhana.

oh, taman bunga macam apa ini?

ah, ah, jangan menitipkan gelap pada daun!
please, daun yang tersisa,
kupakai jadi alas mimpiku malam ini!
dan besok akan kupersembahkan padamu
tapi, barangkali juga bukan padamu
bukan padamu

kepahiang, 19 juli 2006

KEMUDIAN LEMBAYUNG PUN JADI BIRU


napas malam yang lukiskan lembayung telah jadi
birunya cintamu.
menggelegakkan sungai-sungai mendidih ke muara
dan melombakan seribu kasmaran berlari menuju
puncak, untuk menangkap kemenangan di lelah yang
tergantung di pinggang matahari.
tapi tetap waktu sempatkan untuk berteduh
lalu bertanam bunga yang akan selalu melayu
karena memang tak kita bolehkan buat mekarkarena memang kita hanya ingin bertanam
karena memang kita panen tak pernah ingin

menarilah,
lukisan lembayung telah jadi birunya cintamu,
hingga kita mereguk fajar untuk lalui jurang pagi.
ketika tiba usai pulang kelana

lembayung telah jadi biru
hingga fajar ketika kita pulang kelana

lembayung jadi biru
ketika kita pulang kelana


kepahiang, 24 september 2006

PEREMPUAN YANG MENCARI MALAM


perempuan itu kembali mencari malam
yang telah disembunyikan seorang lelaki pada
sebuah pohon, yang direbahkan badai nantinya.
dalam rimba tanpa angkasa buat lekatkan bintang,
hanya menampal pada jeritan akhir matahari.
pohon itu bersama sarang-sarang pipit kemudian mati
dan membusuk jadi kasut cerita baru di setiap lembar
humusnya. ratusan tahun yang lalu, bahkan ribuan tahun yang lalu.
pun malam yang lalu hilang

ia ingat.
dan ia sangat ingat.
malam t’lah menyimpan catatannya, tentang rindu,
nyanyian, puisi, kunci pintu rumah yang tertutup,
rumput-rumputan kering, dunia muram yang abstrak,
sisir, sapu tangan dan pemerah bibir,
serta seloki racun sepi yang merah jambu
untuk selesaikan hidup
dan akhiri pencariannya yang panjang

ia
pun
mati

kepahiang, 28 september 2006


MASIH MERAH DARAH


itu putih dinding, kanvas bercak darah seekor nyamuk.
tadi telah dipisahkan jiwa dan raganya dengan
sebuah buku puisi yang tebal.
aku telah begitu terganggu dengan dengingnya yang
menyakitkan hati. sementara kita habiskan banyak
waktu menata keheningan untuk perenungan.
itu darahnya yang memancar dari semua nadi
kini menyergap siang jadikan jalan, daunan
dan bunga bergelimang merah tua.
bahkan lalu membasahi puisi-puisi.
kata demi kata, bait demi bait.
sebelum diriku pun terkulai dalam lautan darah para
penyair yang telah gagal menggapai benua imajinasi.
mereka memang berhak terkubur,
dengan tenang di pusara putih.
kini jadi dinding,
tempat seekor nyamuk gagal elakkan kematiannya.
di bawah serpihan buku yang menghimpun huruf,
tanda baca dan kata;
bangkai sebuah puisi yang telah bunuh diri,
dengan menikamkan pena yang tumpul pada
jantungnya sendiri

kepahiang, 17 oktober 2006



JALAN


sebagai peta yang ditera, untuk arungi lautan suasana
garis tangan selalu ada persimpangan.
walau tanpa ada petunjuk kepastian arah.
maka langkah akan menuju sukanya membawa
paradoksal kehendak, tanpa waktu yang diberikan
untuk mengheningkan cipta.
memilih antara lima jari,
yang dapat mengayunkan tarian atau berubah
jadi kepalan lunglai untuk menggenggam


kepahiang, 19 oktober 2006

KETIKA PERJALANAN MEMANG HARUS DIUJUNGKAN
(surat untuk seorang penyair)

karang kini membisu tak suarakan gaung.
padahal nyanyi telah sepi lewati panjang tempuhan,
tanpa perhentian antara musim menukarkan kemarau
jadi berita tentang benih menggeliat.
hanya angin mengayun bersuit menahan jatuh sehelai
daun yang telah lama melayang dari masa lalu.
dia melukisi langit dengan garisan panjang, kemudian
tenggelam di ufuk cakrawala

lalu kemana lagu-lagumu tentang kepastian terbentur
agar kutangkap, walau jadi gema.
walau terserak, seperti rasi lampu-lampu malam
yang menggambarkan janji

aku terus menunggunya di bibir ngarai yang puas
menjarakkan keinginan ini. sementara penantian
melarangku untuk lelah di tepi karang ini.
dan di seberangnya kau berdiri

tinggallah aku, dengan kerinduan yang menutupi
persimpangan temuimu.
dan tidak akan pernah kuserahkan waktu pada dia.
biar malam datang, walau siang pun pergi.
biar diam tiba, walau suara pun berangkat.
tempuhan ini telah begitu panjang
kita lewati dengan nyanyi yang kini jadi sepi

karang itu selalu membisu
tak pernah lagi suarakan gaungmu

kepahiang, 23 november 2006


KEPAHIANG RENAH NAN LASAK

musi mengiris deras jadi luka di bawah petak-
petak lada. dan bukankah harus ada jembatan
antara kita. agar bertemu pada renah yang
menggeliat bangun, dari duduk yang bosan
waktu mengail di airmu.
saatnya kemudian menangguk asmara yang ratusan
tahun lalu telah dikawal gunung kelam dengan tiga
pintu mata air terjun.
kau tak boleh diam, jika berang adalah pilihan
buat hancurkan mimpi tak berbingkai.
lasaklah darahmu
memekat di langkah orang-orangmu.
lasak langkahmu
menerbang tari geloranya kencang.
telah kita miliki segalanya, bukan?
sungai yang tak pernah menangiskan
dan tanah yang tumbuhkan tawa
semaikan tatanan yang jangkaukan
ingin dan angan kita.
kotaku, kepahiang, rindu harum kembang kopi
lalu hancur batu gundah
kotaku, kepahiang, cinta tiap lalang yang subur
lalu hancur batu gundah
kotaku, kepahiang, kasih dibentang angkuh bukit barisan
lalu hancur batu gundah
lalu pecah karang bimbang

dan aku akan sangat berang, jika kau diam


kepahiang, 13 desember 2006

KEPADA ORANG-ORANG YANG MERENUNG LALU MENARUH HARAPNYA PADA MIMPI

orang-orang kalah.
tersisi dari gempuran ombak yang mempias-piaskan
cahaya bulan. kota-kota memperpendek malam.
matahari mereka yang dulu setia telah terikat di
tengah jalan yang selalu sibuk. peradaban ribut
telah memerangi lelap-tidur hingga gugur. mimpi
lalu mati, mimpi terserak.
seperti kembang dihancurkan kumbang lalu terkubur
di waktu.
padahal mimpi adalah tempat terakhir untuk bercinta
maka di kotaku tak ada saat lagi untuk mencipta puisi,
kala sudah membunuh segala sepi dengan terang
dan suara. hening jadi puing kenangan yang
kemudian dimonumenkan
tapi bukan sebagai pahlawan
hanya pecundang yang terelakkan dalam semua
kesempatan cerita

mari
lantaran luka jadi bersama
kita yang tersisa melangkah menuju hutan
sebelum senja. kita cari telaga yang dulu selalu
dikabarkan berpagar bunga bakung.
bawa sisa keinginan untuk menang atas nama
pencarian yang panjang. lalu bergegas membangun
gubuk perlindungan dari jurang dan lelah.
lalu tidur dan merebut lelap. agar mimpi tak lari lagi
yang masih sedikit tersedia di lembar-lembar daun

kepahiang, 15 desember 2006


PELAYAR YANG MEMBENCI PELABUHAN
(buat seorang yang menolak kubur karena tak ingin mati)

berlayarlah, berlayarlah
tinggalkan pulau anjing-anjing waktu
telah kukemaskan rindu untuk kau santap
kalau gelombang yang menangisi teka-teki
memukul dinding perahumu

jangan temui pantai yang membenci kenangan!
jangan singgahi dia yang tawarkan masa depan!

bukankah kita sepakat:
“tak ada persimpangan di lautan?”

kepahiang, 27 desember 2006

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...