Kegamangan kritik dan kecaman di forum-forum sastra di Facebook mau tidak mau harus digebrak demi perawatan sejumlah puisi yang lahir prematur

PUISI hari ini sepertinya sedang berpesta. Karya puisi memperolah ruang publikasi luas dan bebas di sebuah jejaring sosial yang bernama Facebook. Kalau sebelumnya republik sastra negeri ini mendapat ruang publikasi luas di milis-milis (mailing list) sastra, seiring perkembangan zaman, warga republik sastra milis pun boyongan ke grup-grup sastra di Facebook. Alhasil, milis kini menjadi seperti nektropolis yang ditinggalkan para penghuninya dan forum-forum sastra di Facebook menjadi menjamur. Publikasi puisi pun bisa dikatakan "merajalela" dalam artian yang positif.
Lalu-lintas karya puisi di Facebook menjadi riuh. Tak terbayangkan, tak terpetakan dan tak terkalkulasi, berapa ribu puisi milik orang Indonesia yang terposting di forum-forum sastra Facebook setiap harinya. Sayangnya, lagi-lagi harus diakui dengan jujur, kesemarakan dan kesemrawutan publikasi puisi di forum-forum sastra Facebook tidak dibarengi dengan kritik yang sebanding. Pada akhirnya, euforia publisitas puisi justru menyebabkan kesekaratan puisi.
Penulis kadang tersentak ketika melihat dan mengawati Facebooker yang dalam sehari bisa memposting lebih dari 10 karya puisi. Hanya dalam hitungan menit, Facebooker bisa mempublikasi puisi-puisi barunya. Saking seringnya, publikasi puisi lantas menjadi semacam penuangan kenangan atau gagasan di sebuah buku harian (sebelum ada internet) dan Facebook kini menjadi semacam "buku jam-jaman".
Meski ada yang bagus, tak dapat dipungkiri tidak sedikit pula puisi yang lahir prematur. Tragisnya, puisi-puisi prematur ini dibiarkan begitu saja. Puisi sebagai anak kandung penulisnya yang lahir prematur pun menempuh jalannya sendiri tanpa perawatan intensif. Padahal, keprematuran yang tidak dirawat secara intensif akan berakibat fatal. Jujur, tidak sedikit puisi prematur yang menempuh jalan sunyinya tanpa perawatan di berbagai forum sastra Facebook. Inkubator bagi bayi-bayi prematur yang dalam hal ini adalah forum-forum sastra Facebook pun acapkali abai dengan karya-karya semacam ini. Pengiat, moderator, admin, penanggungjawab serta warga forum sastra Facebook terkesan acuh tak acuh.
Bahkan, si penyair pun kadang malas merawatnya, dalam hal ini tidak mau merombak dan memperbaiki kembali puisi-puisi yang telah dilahirkannya. Tendensinya, selesai diposting, sepertinya habis perkara. Padahal, bisa jadi ada banyak salah ketik dan tanda baca, diksi yang kurang tepat, metafornya lemah dan lain sebagainya. Singkat kata, puisi yang lahir prematur itu dibiarkan sekarat begitu saja. Ia tidak estetis, harmonis, apalagi berjiwa. Bisa dihitung dengan jari jumlah penyair yang mau merombak puisi yang telah dilahirkannya, kemudian mempublikasikannya kembali.
Harus diakui, menjamurnya forum-forum sastra di Facebook pun tak menjamin berkembangnya kritik membangun yang argumentatif untuk puisi. Sehabis puisi dipublikasi, banyak penyair atau pencipta puisi yang hanya menanti acungan jempol (like) atau komentar pujian. Republik sastra Facebook sepertinya enggan, sungkan atau bahkan malas untuk berkata jujur bahwa suatu karya itu buruk. Apalagi diketahui, fitur dislike di Facebook sepertinya sengaja ditiadakan atas dasar antisipasi kericuhan di jejaring sosial. Padahal, demi kualitas atau puitisitas suatu karya puisi, atmosfer kritik atau yang “pembantaian" sangat dibutuhkan kehadirannya.
Berbicara soal pembantaian karya puisi, penulis lantas ingat dengan pengalaman Raudal Tanjung Buana ketika berada di Sanggar Minum Kopi Bali bersama Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira. Di Sanggar Minum Kopi ini ada tradisi kreatif yang dinamakan pembantaian karya berupa pembongkaran dan perombakan puisi. Raudal Tanjung Banua asal Padang dalam antologinya Gugusan Mata Ibu (Bentang, 2005) membenarkan bahwa puisi-puisi semua penyair di Sanggar Minum Kopi Bali sudah biasa dibongkar dan dirombak.
Bukannya kapok atau sakit hati, para penyair justru mengantrekan puisinya untuk dikeroyok, dicaci-maki dan dibongkar. Semangat pembantaian semacam ini yang sejujurnya tidak berkembang dengan baik di forum-forum sastra Facebook.
Proses kreatif berupa pembantaian karya juga dialami Dr. JJ Kusni yang tinggal di Paris ketika menikmati masa mudanya di Yogyakarta. Melalui korespondensi email, ketika penulis masih di Jerman, JJ Kusni mengisahkan bahwa seniman Yogya serta Republik Sastra-Seni Bringharjo memiliki tradisi pembantaian karya. Mereka menyebut tradisi pembantaian ini sebagai proses saling asih, saling asah dan saling asuh.
Tragisnya, lagi-lagi harus dikatakan, kebiasaan merombak dan menjungkirbalikkan puisi tidak berkembang secara efektif dan edukatif di forum-forum sastra Facebook. Padahal, tradisi kritik pada dasarnya bisa meningkatkan kualitas atau puitisitas puisi.
Berbicara soal kritik sastra, penulis ingin sejenak berpaling ke cikal-bakal tradisi kritik sastra Inggris yang mulai berkembang pada awal abad kedelapan belas. Kritik dan kecaman di ranah sastra pada abad itu ternyata sudah berkembang baik. Uniknya, para kritikus Inggris mampu menggunakan cemooh tanpa melecehkan. Orang boleh saja menegasi fakta bahwa kritik modern Inggris lahir dari konsesi politik. Namun, fakta konsesi tidak berarti tanpa pertentangan dan dendam. Untungnya, para kritikus mampu merumuskan batas-batas toleransi kata.
Harus diakui, secara historis konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat kaitannya dengan bangkitnya lingkup publik liberal Inggris pada awal abad kedelapan belas. Pada masa itu muncul ruang publik bernama warung-warung kopi yang oleh filsuf asal Jerman yang bernama Jürgen Habermas dikatakan menjadi tempat untuk berkumpul dan berdiskusi antar sesama secara bebas mengenai masalah-masalah yang serius, termasuk sastra. Di warung-warung kopi ini tradisi kritik sastra berkembang tanpa sekat-sekat kelas dan kasta. Padahal, borjuasi pada masa itu masih begitu kuat. Tapi untuk urusan diskusi dan kritik, kelas sosial tidak berpengaruh.
Kekritisan di warung-warung kopi secara khas bersifat konservatif, korektif serta memperbarui dan menyesuaikan fenomena khusus dengan gaya keras yang terkesan destruktif dalam diskusinya. Gaya keras dan destruktif memang sangat diperlukan karena kritik pada masa itu harus menjadi alat pembaru yang menghantam penyelewengan dan menekan seminim mungkin ide-ide dan karya-karya prematur.
Syarat yang berkembang untuk proses kreatif di warung-warung kopi masa itu adalah rasionalitas yang argumentatif. Artinya, kenalaran seseorang menjadi tolok ukurnya. Publik pun lantas menyadari bahwa tidak adanya identitas rasional yang diberikan melewati batas-batasnya sendiri, sebab apa yang diperhitungkan sebagai rasionalitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan di dalam batas-batasnya. Dengan demikian yang terjadi adalah diskusi dan kritik ideal dimana pertukaran ide dan gagasan mengalir tanpa dominasi. Membujuk tidak sama dengan mendominasi dan menyampaikan pendapat lebih sebagai tindakan kerjasama untuk kebaikan daripada saingan atau tindakan berdasarkan dendam pribadi untuk menjatuhkan pihak lain.
Atmosfer yang berkembang tentu saja formula kritik tanpa ekploitasi sebab pada dasarnya sudah tidak ada lagi kelas-kelas sosial subordinat di ruang publik warung-warung kopi ini. Yang dipertaruhkan di warung-warung kopi bukanlah kekuasaan, melainkan akal budi. Kebenaran bukanlah kekuasaan, melainkan dasar dan rasionalitas bukan juga dominasi, melainkan nilai tukar.
Atmosfer ruang publik tanpa sekat di Sanggar Minum Kopi Bali, Republik Sastra-Seni Bringharjo dan Warung-warung Kopi Inggris kini terbuka luas di forum-forum sastra Facebook. Siapapun bisa menjadi kritikus karena seseorang pada dasarnya memiliki rasio atau akal budi yang menyebabkannya memiliki pertimbangan dasar. Kritik bukanlah privilese dari kelas sosial atau kelompok profesional tertentu. Kritikus, terang Terry Eagleton dalam bukunya yang bertajuk "The Function of Criticism" (New York:1994), bahkan yang profesional sekalipun, hanyalah seorang pembicara dari para pendengar biasa yang merumuskan ide-ide yang dapat dipikirkan oleh setiap orang.
Nah, mindset kritikus bagi warga republik sastra di forum-forum sastra Facebook dewasa ini adalah kaum profesional atau intelektual. Banyak dari mereka berpandangan bahwa seorang kritikus itu harus mereka yang benar-benar ahli, senior dan menguasai bidang kritik puisi yang mumpuni. Mindset semacam ini perlu diruntuhkan karena harapan akan datangnya ahli kritik senior yang mumpuni dan peduli puisi di forum-forum sastra Facebook sudah terlampau jauh dari realitas kepenuhannya.
Richard Rortry dalam bukunya The Consequences of Pragmatism (Minnesota: 1982) juga mengamini bahwa pengertian kritikus bukanlah seorang yang disebut kaum intelektual. Mereka adalah orang-orang yang bijak, orang-orang yang terpelajar dan orang-orang yang saleh, tetapi tidak ada cendekiawan.
Kegamangan kritik dan kecaman di forum-forum sastra di Facebook mau tidak mau harus digebrak demi perawatan sejumlah puisi yang lahir prematur. Warga republik sastra Facebook mendamba seorang martir atau "gentleman" sastra yang berani mulai mengorbankan dirinya untuk secara terbuka, bebas dan merdeka menggencarkan kritik atas puisi-puisi yang bertebaran di berbagai forum sastra Facebook dan pada saat yang bersamaan siap dicacimaki karena polahnya. Akhir kata, seorang kritikus bukanlah seorang yang disebut kaum intelektual, profesional, apalagi ahli kritik senior. Warga sastra republik Facebook menanti kritikus-kritikus semacam ini.[]
*Gendhotwukir, penyair dan jurnalis
Penulis pernah mengenyam pendidikan di PTH Sankt Augustin Jerman
sumber: atjehpost.com

PUISI hari ini sepertinya sedang berpesta. Karya puisi memperolah ruang publikasi luas dan bebas di sebuah jejaring sosial yang bernama Facebook. Kalau sebelumnya republik sastra negeri ini mendapat ruang publikasi luas di milis-milis (mailing list) sastra, seiring perkembangan zaman, warga republik sastra milis pun boyongan ke grup-grup sastra di Facebook. Alhasil, milis kini menjadi seperti nektropolis yang ditinggalkan para penghuninya dan forum-forum sastra di Facebook menjadi menjamur. Publikasi puisi pun bisa dikatakan "merajalela" dalam artian yang positif.
Lalu-lintas karya puisi di Facebook menjadi riuh. Tak terbayangkan, tak terpetakan dan tak terkalkulasi, berapa ribu puisi milik orang Indonesia yang terposting di forum-forum sastra Facebook setiap harinya. Sayangnya, lagi-lagi harus diakui dengan jujur, kesemarakan dan kesemrawutan publikasi puisi di forum-forum sastra Facebook tidak dibarengi dengan kritik yang sebanding. Pada akhirnya, euforia publisitas puisi justru menyebabkan kesekaratan puisi.
Penulis kadang tersentak ketika melihat dan mengawati Facebooker yang dalam sehari bisa memposting lebih dari 10 karya puisi. Hanya dalam hitungan menit, Facebooker bisa mempublikasi puisi-puisi barunya. Saking seringnya, publikasi puisi lantas menjadi semacam penuangan kenangan atau gagasan di sebuah buku harian (sebelum ada internet) dan Facebook kini menjadi semacam "buku jam-jaman".
Meski ada yang bagus, tak dapat dipungkiri tidak sedikit pula puisi yang lahir prematur. Tragisnya, puisi-puisi prematur ini dibiarkan begitu saja. Puisi sebagai anak kandung penulisnya yang lahir prematur pun menempuh jalannya sendiri tanpa perawatan intensif. Padahal, keprematuran yang tidak dirawat secara intensif akan berakibat fatal. Jujur, tidak sedikit puisi prematur yang menempuh jalan sunyinya tanpa perawatan di berbagai forum sastra Facebook. Inkubator bagi bayi-bayi prematur yang dalam hal ini adalah forum-forum sastra Facebook pun acapkali abai dengan karya-karya semacam ini. Pengiat, moderator, admin, penanggungjawab serta warga forum sastra Facebook terkesan acuh tak acuh.
Bahkan, si penyair pun kadang malas merawatnya, dalam hal ini tidak mau merombak dan memperbaiki kembali puisi-puisi yang telah dilahirkannya. Tendensinya, selesai diposting, sepertinya habis perkara. Padahal, bisa jadi ada banyak salah ketik dan tanda baca, diksi yang kurang tepat, metafornya lemah dan lain sebagainya. Singkat kata, puisi yang lahir prematur itu dibiarkan sekarat begitu saja. Ia tidak estetis, harmonis, apalagi berjiwa. Bisa dihitung dengan jari jumlah penyair yang mau merombak puisi yang telah dilahirkannya, kemudian mempublikasikannya kembali.
Harus diakui, menjamurnya forum-forum sastra di Facebook pun tak menjamin berkembangnya kritik membangun yang argumentatif untuk puisi. Sehabis puisi dipublikasi, banyak penyair atau pencipta puisi yang hanya menanti acungan jempol (like) atau komentar pujian. Republik sastra Facebook sepertinya enggan, sungkan atau bahkan malas untuk berkata jujur bahwa suatu karya itu buruk. Apalagi diketahui, fitur dislike di Facebook sepertinya sengaja ditiadakan atas dasar antisipasi kericuhan di jejaring sosial. Padahal, demi kualitas atau puitisitas suatu karya puisi, atmosfer kritik atau yang “pembantaian" sangat dibutuhkan kehadirannya.
Berbicara soal pembantaian karya puisi, penulis lantas ingat dengan pengalaman Raudal Tanjung Buana ketika berada di Sanggar Minum Kopi Bali bersama Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira. Di Sanggar Minum Kopi ini ada tradisi kreatif yang dinamakan pembantaian karya berupa pembongkaran dan perombakan puisi. Raudal Tanjung Banua asal Padang dalam antologinya Gugusan Mata Ibu (Bentang, 2005) membenarkan bahwa puisi-puisi semua penyair di Sanggar Minum Kopi Bali sudah biasa dibongkar dan dirombak.
Bukannya kapok atau sakit hati, para penyair justru mengantrekan puisinya untuk dikeroyok, dicaci-maki dan dibongkar. Semangat pembantaian semacam ini yang sejujurnya tidak berkembang dengan baik di forum-forum sastra Facebook.
Proses kreatif berupa pembantaian karya juga dialami Dr. JJ Kusni yang tinggal di Paris ketika menikmati masa mudanya di Yogyakarta. Melalui korespondensi email, ketika penulis masih di Jerman, JJ Kusni mengisahkan bahwa seniman Yogya serta Republik Sastra-Seni Bringharjo memiliki tradisi pembantaian karya. Mereka menyebut tradisi pembantaian ini sebagai proses saling asih, saling asah dan saling asuh.
Tragisnya, lagi-lagi harus dikatakan, kebiasaan merombak dan menjungkirbalikkan puisi tidak berkembang secara efektif dan edukatif di forum-forum sastra Facebook. Padahal, tradisi kritik pada dasarnya bisa meningkatkan kualitas atau puitisitas puisi.
Berbicara soal kritik sastra, penulis ingin sejenak berpaling ke cikal-bakal tradisi kritik sastra Inggris yang mulai berkembang pada awal abad kedelapan belas. Kritik dan kecaman di ranah sastra pada abad itu ternyata sudah berkembang baik. Uniknya, para kritikus Inggris mampu menggunakan cemooh tanpa melecehkan. Orang boleh saja menegasi fakta bahwa kritik modern Inggris lahir dari konsesi politik. Namun, fakta konsesi tidak berarti tanpa pertentangan dan dendam. Untungnya, para kritikus mampu merumuskan batas-batas toleransi kata.
Harus diakui, secara historis konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat kaitannya dengan bangkitnya lingkup publik liberal Inggris pada awal abad kedelapan belas. Pada masa itu muncul ruang publik bernama warung-warung kopi yang oleh filsuf asal Jerman yang bernama Jürgen Habermas dikatakan menjadi tempat untuk berkumpul dan berdiskusi antar sesama secara bebas mengenai masalah-masalah yang serius, termasuk sastra. Di warung-warung kopi ini tradisi kritik sastra berkembang tanpa sekat-sekat kelas dan kasta. Padahal, borjuasi pada masa itu masih begitu kuat. Tapi untuk urusan diskusi dan kritik, kelas sosial tidak berpengaruh.
Kekritisan di warung-warung kopi secara khas bersifat konservatif, korektif serta memperbarui dan menyesuaikan fenomena khusus dengan gaya keras yang terkesan destruktif dalam diskusinya. Gaya keras dan destruktif memang sangat diperlukan karena kritik pada masa itu harus menjadi alat pembaru yang menghantam penyelewengan dan menekan seminim mungkin ide-ide dan karya-karya prematur.
Syarat yang berkembang untuk proses kreatif di warung-warung kopi masa itu adalah rasionalitas yang argumentatif. Artinya, kenalaran seseorang menjadi tolok ukurnya. Publik pun lantas menyadari bahwa tidak adanya identitas rasional yang diberikan melewati batas-batasnya sendiri, sebab apa yang diperhitungkan sebagai rasionalitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan di dalam batas-batasnya. Dengan demikian yang terjadi adalah diskusi dan kritik ideal dimana pertukaran ide dan gagasan mengalir tanpa dominasi. Membujuk tidak sama dengan mendominasi dan menyampaikan pendapat lebih sebagai tindakan kerjasama untuk kebaikan daripada saingan atau tindakan berdasarkan dendam pribadi untuk menjatuhkan pihak lain.
Atmosfer yang berkembang tentu saja formula kritik tanpa ekploitasi sebab pada dasarnya sudah tidak ada lagi kelas-kelas sosial subordinat di ruang publik warung-warung kopi ini. Yang dipertaruhkan di warung-warung kopi bukanlah kekuasaan, melainkan akal budi. Kebenaran bukanlah kekuasaan, melainkan dasar dan rasionalitas bukan juga dominasi, melainkan nilai tukar.
Atmosfer ruang publik tanpa sekat di Sanggar Minum Kopi Bali, Republik Sastra-Seni Bringharjo dan Warung-warung Kopi Inggris kini terbuka luas di forum-forum sastra Facebook. Siapapun bisa menjadi kritikus karena seseorang pada dasarnya memiliki rasio atau akal budi yang menyebabkannya memiliki pertimbangan dasar. Kritik bukanlah privilese dari kelas sosial atau kelompok profesional tertentu. Kritikus, terang Terry Eagleton dalam bukunya yang bertajuk "The Function of Criticism" (New York:1994), bahkan yang profesional sekalipun, hanyalah seorang pembicara dari para pendengar biasa yang merumuskan ide-ide yang dapat dipikirkan oleh setiap orang.
Nah, mindset kritikus bagi warga republik sastra di forum-forum sastra Facebook dewasa ini adalah kaum profesional atau intelektual. Banyak dari mereka berpandangan bahwa seorang kritikus itu harus mereka yang benar-benar ahli, senior dan menguasai bidang kritik puisi yang mumpuni. Mindset semacam ini perlu diruntuhkan karena harapan akan datangnya ahli kritik senior yang mumpuni dan peduli puisi di forum-forum sastra Facebook sudah terlampau jauh dari realitas kepenuhannya.
Richard Rortry dalam bukunya The Consequences of Pragmatism (Minnesota: 1982) juga mengamini bahwa pengertian kritikus bukanlah seorang yang disebut kaum intelektual. Mereka adalah orang-orang yang bijak, orang-orang yang terpelajar dan orang-orang yang saleh, tetapi tidak ada cendekiawan.
Kegamangan kritik dan kecaman di forum-forum sastra di Facebook mau tidak mau harus digebrak demi perawatan sejumlah puisi yang lahir prematur. Warga republik sastra Facebook mendamba seorang martir atau "gentleman" sastra yang berani mulai mengorbankan dirinya untuk secara terbuka, bebas dan merdeka menggencarkan kritik atas puisi-puisi yang bertebaran di berbagai forum sastra Facebook dan pada saat yang bersamaan siap dicacimaki karena polahnya. Akhir kata, seorang kritikus bukanlah seorang yang disebut kaum intelektual, profesional, apalagi ahli kritik senior. Warga sastra republik Facebook menanti kritikus-kritikus semacam ini.[]
*Gendhotwukir, penyair dan jurnalis
Penulis pernah mengenyam pendidikan di PTH Sankt Augustin Jerman
sumber: atjehpost.com
Komentar
Posting Komentar