Langsung ke konten utama

Buku Rumpun Sastra UNY Diluncurkan

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com - Rumpun Sastra Fakultas Bahasa dan Seni UNY yang terdiri atas sejumlah pengampu matakuliah sastra mengadakan acara peluncuran dan bedah buku, yakni dua buah antologi puisi berjudul ''Bangsal Sri Manganti'' dan ''Suara dari Balik Kabut''.

Masing-masing karya Prof Dr Suminto A Sayuti dan Dr Wiyatmi MHum, kebetulan keduanya adalah staf pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Acara dibuka oleh Dekan FBS Prof Dr Zamzani MPd di ruang seminar FBS UNY.

Kedua buku yang masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Pelajar dan Kanwa Publisher pada 2013 itu dibedah oleh Dr Pujiharto MHum (dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM) dan oleh Dr Widyastuti Purbani MA (dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris sekaligus Wakil Dekan I FBS UNY).

Sebelum diulas, beberapa puisi dari kedua antologi tersebut dibacakan oleh sejumlah mahasiswa, juga oleh masing-masing penulisnya. Dalam ulasannya, Pujiarto menyatakan puisi-puisi Suminto A Sayuti sangat kental dengan pengambaran nuansa cinta.

Rentang waktu sekitar 18 tahun yang menjadi cakupan penulisan puisi-puisi dalam antologi ''Bangsal Sri Manganti'' itu merupakan mozaik perjalanan hidupnya yang dipenuhi dengan deskripsi cinta yang sering dilukiskannya laksana seuntai bebungaan dan sekeranjang dedaunan. Di pihak lain, Widyastuti Purbani menyanjung Wiyatmi sebagai koleganya yang lengkap dengan sejumlah kepiawaian yang dimilikinya.

''Sebagai teman, baik dari sesama alumni UGM maupun sesama pengampu di FBS UNY, saya merasa iri dengan kelengkapan yang dimiliki Wiyatmi. Dia seorang pengajar yang mencintai mahasiswanya, peneliti yang sering mendapatkan dana-dana hibah, dosen yang mau belajar, dan seorang penulis puisi. Tidak banyak dosen yang memiliki kelebihan seperti Wiyatmi. Termasuk diri saya sendiri belum mencapai tataran semacam itu,'' paparnya.
( Bambang Unjianto / CN26 / SMNetwork )

sumber: suaramerdeka.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membincang Telimpuh Hasan Aspahani

Membaca puisi-puisi dalam Telimpuh, kumpulan puisi kedua Hasan Aspahani, ibarat menyimak percakapan yang digambar dengan berbagai teknik dan dipulas dengan warna-warna yang melimpah. Tengok saja: ”Lupakan aku,” ujarmu dengan suara pipih dan lembab di bingkai pertama, balon percakapan itu tiba-tiba pecah dan menjelma kabut, juga dingin dan kata-kata di dalamnya jadi percik rintik. Aku menggambar payung untukmu, tapi kau menolak dan meminta aku memelukmu: ”Biarkan aku basah dan hilang dalam sejarah ingatanmu.”

Puisi-Puisi Emong Soewandi

MOSAIK SEBUAH JEMBATAN KEDUKAAN kedukaan kini mesti diseberangi dengan berat yang mungkin tak terimbangkan antara aku dan keinginan, serta hati yang telah tertatih membimbing imajinasi ke puisi romantik tentang laut dan pelangi. maka jadilah bentuk dan garis bersinggungan tak-beraturan tanpa pangkal tanpa akhir tanpa isi tanpa tubuh adalah kegelisahan sebagai sandi-sandi rahasia yang memerlukan kunci pembuka diikat dengan rantai-rantai matahari ambang fajar. namun selalu saja lupa dimana ditaruh sebelumnya atau, mungkin telah lolos dari kantung untuk ingkari kesetiaan janji tentang bertanam benih di lahan yang baik ah, tentu butuh waktu untuk menemukannya sementara galau telah sampai di puncak tanpa purna-kepastian bengkulu, oktober 2005 LALU KEMARAU DI BULAN KEEMPAT belum ‘kan ada bunga kopi mekar, yang tegak di atas cadas. di antara daunan yang terkulai ditampar kering bumi. yang memang sulit tepati janji berikan mata air. maka jadilah pagi hari kita cukupkan saja dengan selemba...

Khusus Wawancara dengan Penyair

SANG wartawan itu akhirnya bisa juga mencuri kesempatan, bertemu dengan Penyair Pujaan. Sejumlah pertanyaan sudah lama dia persiapkan. Sudah lama mendesak, "kapan kami diajukan?" Tapi, maklum penyair sibuk, ada saja halangan. Wawancara pun berkali-kali harus dibatalkan. *** + Anda sibuk sekali, Penyair? Ya, saya harus melayani kemalasan, masih direcoki oleh khayalan, dan sesekali harus bersembunyi jauh keluar dari diri sendiri. Belum lagi omong kosong yang sering datang bertamu, tak tentu waktu. Jangan kira jadi penyair itu enak. Jangan kira penyair itu seorang penguasa kata-kata. Kau tahu? Penyair yang baik itu adalah pelayan kerisauan bahasa. Dia harus memperlapang, apabila ruang pemaknaan menyempit. Dia harus mengajak dolanan, jika bahasa dirudung kemurungan. Tapi, dia harus mengingatkan, pabila bahasa mulai gurau kelewatan. + Ngomong-ngomong, puisi Anda pada kemana nih? Kok sepi? Ya, belakangan ini saya memang tidak banyak melahirkan puisi. Saya hanya menyiapkan banyak se...